Masalah kebebasan pers hingga saat ini masih menjadi persoalan di negeri ini. Pers yang seyogyanya diberikan otoritas untuk mengakses dan memberikan informasi seluas-luasnya bagi masyarakat, kini masih mengalami beberapa kendala, seperti pembungkaman media, intimidasi pekerja pers, dan juga laporan-laporan hukum yang bertujuan untuk membungkam mulut pers.
Hingga saat ini, masih banyak kasus-kasus di lapangan yang secara nyata telah merugikan pers yang bertujuan untuk membungkam pers. Misalnya saja pemukulan salah seorang wartawan Tempo yang tengah meliput kasus korupsi, dan juga gugatan hukum kepada salah satu media karena memberitakan kekerasan yang dilakukan oleh penagih hutang yang berafiliasi pada sebuah lembaga koperasi di Jawa Tengah.
Masalah kebebasan pers inilah yang kemudian mendorong Suara Kebebasan menyelenggarakan diskusi webinar Forum Kebebasan (25/2) dengan tema “Kebebasan Pers di Indonesia”. Forum Kebebasan kali ini dipandu oleh Adinda Tenriangke Muchtar, Pemimpin Redaksi Suara Kebebasan, dengan narasumber Ade Wahyudin (Direktur Eksekutif LBH Pers) dan Citra Dyah Prastuti (Pemimpin Redaksi KBR 68H).
***
Dalam pemaparannya, Citra Dyah Prastuti mengatakan bahwa mengenai kekerasan yang dialami oleh para pekerja pers merupakan realitas yang harus diakui. Meskipun indeks kebasan pers menurut data naik, namun kekerasan dan intimidasi terhadap pekerja pers masih terjadi.
Citra juga mengatakan bahwa dalam kasus kekerasan terhadap pers, bahkan beberapa diantaranya juga dilakukan oleh aparat kepolisian, sehingga masalah kebebasan dan kekerasan pers menurut Citra tidak akan terjadi jika pihak aparat dan jurnalis saling mengerti dan memahami posisinya masing-masing.
Citra juga mengungkapkan adanya peran lain yang membuat kekerasan dan intimidasi menjadi begitu tinggi, salah satunya adalah perpindahan ekosistem media dari cetak menjadi digital, yang justru membuat pekerja pers rawan dikriminalisasi.
Munculnya berita hoaks, judul yang clickbait, dan juga beberapa berita yang viral di media sosial juga telah membuat netizen marah, serta menyebabkan industri pers rentan untuk mengalami kekerasan dan intimidasi dari pihak-pihak yang tidak menyukai pemberitaan tersebut.
Citra mengatakan bahwa beberapa upaya untuk menjaga kebebasan dan independensi pers telah dilakukan dengan membentuk lembaga-lembaga independen untuk membela pekerja pers, seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), AMSI, LBH Pers dan lain sebagainya yang bersama-sama melindungi pekerja pers dari intimidasi dan kekerasan dari pihak-pihak luar.
Sementara, Ade Wahyudin menjelaskan bahwa LBH Pers menaungi kasus-kasus hukum yang dialami oleh para pekerja pers. Ade juga membenarkan apa yang dipaparkan oleh Citra dan mengatakan bahwa dalam setahun ada sekitar 50 kasus mengenai kekerasan terhadap pekerja pers, namun hanya beberapa kasus saja yang ditindaklanjuti oleh penegak hukum.
Hal ini ditenggarai karena kebanyakan kasus kekerasan yang dialami oleh pekerja pers, rata-rata dilakukan oleh aparat kepolisian atau pejabat publik yang terkesan mendapat ‘imunitas’. Impunitas, dalam hal ini, juga membuat kasus-kasus hukum terkait pers terkendala dalam tindak lanjutnya. Misalnya, kekerasan yang terjadi saat terjadi demonstrasi, di mana pekerja pers yang meliput mendapatkan intimidasi bahkan ditangkap oleh aparat kepolisian. Karena kasusnya terkait dengan pihak aparat atau penegak hukum atau pejabat publik, beberapa kasus kekerasan terhadap pers menjadi mandek.
Selain itu, ada faktor lain yang membuat kasus kekerasan terhadap pekerja pers yang tidak dapat diproses, karena pihak pekerja pers itu sendiri enggan melaporkan kekerasan terhadap dirinya. Ini yang membuat proses penegakan hukum dan pembelaan terhadap pekerja pers menjadi terhambat. Kurangnya kesadaran dari pekerja pers, atau keengganan mereka untuk mengikuti proses hukum yang berlaku, membuat beberapa kasus tersebut terbengkalai bahkan tak masuk ke meja hijau.
Selain dari keengganan pekerja pers untuk melaporkan kekerasan yang dialami, faktor keengganan perusahaan pers untuk mendampingi proses hukum pekerjannya pun menjadi salah satu faktor kenapa banyak kasus kekerasan terhadap pers menjadi terhambat. Menurut Ade, dalam masalah ini, sangat penting bila si wartawan dan perusahaan yang menaunginya, bersama-sama memproses kasus kekerasan terhadap pers, sehingga kasus tersebut dapat diselesaikan secara adil dan tuntas.
Butuh sinergi antara pekerja pers, perusahaan pers, dan aparat penegak hukum untuk menyelesaikan kasus kekerasan terhadap wartawan secara objektif, sehingga kedepannya kasus-kasus yang menghambat kebebasan pers tidak terulang kembali. Ade juga mengatakan pentingnya revisi UU ITE dan juga penegakan hukum dengan perspektif HAM dan kebebasan pers dalam kasus-kasus terkait dengan pers.
***
Dalam sesi tanya jawab, ada pertanyaan mengenai apakah ada alternatif lain untuk menyelesaikan kasus hukum yang melibatkan pekerja pers dan aparat penegak hukum?
Menjawab pertanyaan ini Ade Wahyudin mengatakan bahwa penegakan hukum terhadap kekerasan terhadap pers harus dilakukan melalui proses hukum, termasuk lewat pengaduan kepada yang berwenang sesuai undang-undang. Jika seorang pekerja pers ingin menyelesaikan kasusnya secara tuntas, maka ia harus bersabar untuk melalui mekanisme hukum yang berlaku.
Selain itu, Ade juga menghimbau kepada para pekerja pers untuk mengumpulkan barang bukti baik video, foto atau visum yang berkaitan dengan kekerasan terhadap wartawan, baik dirinya atau rekannya sesama pekerja pers. Dengan adanya pengumpulaan bukti tersebut, maka akan membantu proses hukum berjalan.
Penanya lainnya juga mengajukan pertanyaan mengenai maraknya kriminalisasi terhadap produk pemberitaan media dan apa yang harus dilakukan oleh pekerja pers saat ini. Dalam menjawab pertanyaan ini, Citra Dyah Prastuti menjawab bahwa ekosistem media digital yang semakin pesat dan makin mudah diakses oleh masyarakat memang membuat beberapa pihak yang tidak menyukai produk pemberitaan tersebut, menggugat secara hukum.
Namun, hal ini bisa diatasi secara sederhana dengan syarat produk pemberitaan tersebut sudah sesuai dengan pedoman pemberitaan siber dan juga sudah sesuai dengan kode etik jurnalistik. Banyak para pekerja pers yang menulis berita dengan emosi dan opini, sehingga pihak-pihak yang disebut namanya merasa dirusak nama baiknya. Citra juga menambahkan pentingnya memahami dinamika pers saat ini, refleksi tentang cara kerja pers, serta kolaborasi dengan para pihak untuk menghadapi tantangan kebebasan pers dan menjalankan peran pers sesuai dengan kode etik jurnalistik.
Terkait dengan kode etik jurnalistik, Citra dan Ade sepakat bahwa ketika pekerja pers bahkan perusahaan media menghadapi persoalan hukum, maka mereka harus meneliti kembali produk pemberitaan mereka, apakah sudah sesuai dengan kode etik jurnalistik atau belum. Jika pemberitaan tersebut sudah sesuai dengan kode etik jurnalistik, maka pihak pers jangan takut untuk menghadapi kasus hukum tersebut.
Dewan Pers dan beberapa lembaga yang mendukung pers pasti akan berkoordinasi dengan pihak penegak hukum terkait kasus hukum yang dihadapi oleh pihak pers. Ade juga menambahkan, bahwa Dewan Pers dan pihak kepolisian sudah menandatangani MoU, di mana polisi harus berkoordinasi dengan Dewan Pers terkait kasus yang melibatkan pers.
Ade dan Citra mengatakan bahwa untuk menjamin dan melindungi kebebasan pers, kualitas pemberitaan juga harus diperhatikan oleh para pekerja pers. Jika mereka sudah bekerja sesuai dengan kode etik pemberitaan, maka tidak perlu takut dengan berbagai laporan atau intimidasi dari pihak-pihak tertentu.
*****

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com