Cerita dari Asia Liberty Forum 2021

373

Pada tanggal 24-25 Juni 2021 lalu, Suara Kebebasan kembali mendapatkan kesempatan untuk menghadiri forum internasional, Asia Liberty Forum (ALF) 2021. ALF sendiri adalah acara forum tahunan yang diselenggarakan oleh mitra Suara Kebebasan, Atlas Network, untuk membicarakan mengenai isu-isu kebebasan sipil dan kebebasan ekonomi di negara-negara Asia.

Tahun ini, Nepal menjadi tuan rumah forum tersebut. Mitra Atlas Network, Bikalpa – an Alternative – For Freedom and Prosperity, menjadi co-host dari forum tersebut. Namun, karena pandemi COVID-19 yang masih terjadi, forum ini kembali dilakukan secara daring, sebagaimana ALF pada tahun 2020 lalu.

Acara ini dibuka oleh Basata Adhikari dari Bikalpa – An Alternative dan CEO Atlas Network, Brad Lips. Dalam pembukaannya, Adhikari mengatakan bahwa kita harus terus melawan berbagai gerakan populisme dan anti-kebebasan yang semakin meningkat di seluruh dunia, termasuk juga di Asia.

Sementara, Brad Lips mengatakan bahwa saat ini kita masih dilanda oleh krisis kesehatan publik, yakni karena pandemi COVID-19. Namun, krisis kesehatan publik ini bukan hanya berpengaruh pada kesehatan, namun juga mengancam kebebasan sipil dan juga kebebasan ekonomi negara-negara di dunia, khususnya di negara-negara Asia.

Pada sesi pertama di hari pertama, topik yang menjadi bahasan adalah mengenai dampak dari pandemi COVID-19 terhadap kebebasan personal dan juga kebebasan ekonomi. Menjadi pembicara dalam sesi ini adalah Lakshmi Sampath Goyal dari Centre for Civil Society, India, Gideon Rozner daei Institute for Public Affairs, Australia, dan Kristine Alcantara dari Foundation for Economic Freedom, Filipina.

Goyal memaparkan mengenai situasi di India pada saat COVID-19, dan orang-orang yang paling merasakan dampak tersebut adalah orang-orang miskin. Hal ini kian diperparah karena India merupakan masih negara berkembang. Alcantara mengatakan bahwa COVID-19 telah membawa banyak dampak negatif terkait kebebasan sipil di Filipina. Pemerintah Filipina dalam menangani pandemi ini menggunakan pendekatan keamanan dan bukan kesehatan publik. Rozner mengatakan bahwa pandemi ini juga membawa dampak negatif terkait kebebasan sipil di Australia, di mana Pemerintah Australia menutup berbagai badan usaha dan melarang warga Australia untuk menemui keluarga mereka.

Pada sesi kedua, topik yang dibahas adalah mengenai bagaimana mengatasi berbagai tantangan untuk memajukan kebebasan. Menjadi pembicara dalam sesi ini adalah Mohammad Khalid Ramizy dari Afghanistan Economic and Legal Studies Organization, Afghanistan, Dinh Tuan Minh dari Market Solutions Research Center for Social and Economic Issues, Vietnam, dan Sarwagya Raj Pandey dari Bikalpa – An Alternative, Nepal. Menjadi pembicara dalam diskusi ini adalah Dr. Sandesh Dass Shrestha dari Bikalpa – An Alternative.

Menjadi pembicara pertama dalam diskusi ini adalah Khalid Ramizy dan Afghanistan. Dalam presentasinya, Ramizy mengatakan bahwa menyebarkan gagasan kebebasan ekonomi dan kebebasan ekonomi di Afghanistan adalah pekerjaan yang sangat berat. Banyak warga Afghanistan yang memiliki pandangan bahwa mereka yang ingin menyebarkan kebebasan ingin mengubah keyakinan mereka.

Pembicara kedua, Pandey mengatakan bahwa Nepal mendapatkan skor yang sangat rendah terkait dengan kebebasan ekonomi. Meskipun demikian, ada sedikit perbaikan terkait kebebasan ekonomi di Nepal. Salah satu tantangan terbesar di Nepal adalah iklim politik di Nepal yang cenderung mengarah ke sosialisme dan populisme. Sementara itu, Dinh Tuan Minh mengatakan bahwa salah satu permasalahan terbesar dalam mendorong kebebasan ekonomi di Vietnam adalah terkait dengan persoalan hukum, di mana perlindungan hak kepemilikan di Vietnam sangatlah buruk.

Pada sesi ketiga, topik yang dibahas adalah mengenai bagaimana memperbaiki pemerintahan untuk kebebasan dan kesejahteraan yang lebih besar. Menjadi pembicara dalam sesi ini adalah Deependra Chaulagain dari Samriddhi Foundation, Nepal, Dharmarajan Dhanuraj dari Centre for Public Policy Research, India, dan Ali Salman dari Prime, Pakistan. Menjadi moderator dalam diskusi ini adalah Tom G. Palmer dari Atlas Network.

Ali Salman mengatakan bahwa fokus dari organisasinya adalah aktivisme anti-korupsi dan meningkatkan kebebasan ekonomi untuk memperbaiki keadaaan di Pakistan. Sementara itu, Dhanuraj mengatakan bahwa pada awalnya, Perdana Menteri Narendra Modi mengatakan bahwa ia berjanji akan melakukan serangkaian reformasi di India, namun sayangnya tidak ada reformasi yang dilakukan. Pembicara ketiga, Chaulagain, mengatakan bahwa ia saat ini mencoba untuk mendekati pemerintah untuk mengikutsertakan pihak swasta dalam rangka membantu menangani pandemi COVID-19.

Pada sesi keempat, topik yang dibahas adalah mengenai perdagangan dan bantuan. Menjadi pembicara dalam sesi ini adalah Prashant Narang dari Centre for Civil Society, India, Dr. Sarath Rajapatirana dari Advocata Institute, Sri Lanka, dan Felippa Amanta dari Center for Indonesian Policy Studies, Indonesia.

Menjadi pembicara pertama adalah Dr. Rajapatirana dari Advocata Institute. Ia memiliki pandangan yang skeptis terhadap kemajuan perdagangan yang ada di Sri Lanka, karena berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Berbeda dengan Dr. Rajapatina, Felippa Amanta mengatakan bahwa ia lebih optimis Indonesia akan lebih menerima perdagangan bebas dan tidak anti impor. Sementara itu, Narang mengatakan bahwa ia juga optimis dengan liberalisme perdagangan di India, karena India sudah banyak menghapuskan banyak kebijakan proteksi dan semakin mengarah ke ekonomi pasar.

Sesi terakhir adalah diskusi mengenai kebebasan dengan penulis dan intelektual publik asal India, Tarun Vats. Salah satu kritik terhadap ekonomi pasar bebas adalah pasar bebas akan membuat ketimpangan sosial. Namun, Vats mengatakan bahwa ia tidak terlalu peduli pada ketimpangan, selama mereka yang kaya mendapatkan hartanya bukan dengan melanggar hak orang lain. Fokus kita, kata Vats, seharusnya adalah bagaimana menghapuskan kemiskinan, dan bukan pada kesenjangan. Dalam sesi tersebut, mitra Atlas dari India, Centre for Civil Society (CCS), mendapatkan penghargaan Asia Liberty Award 2021 atas upaya mereka dalam memperbaiki hukum pedagang kaki lima di India.

*****

Pada hari kedua, sebelum ALF dimulai, saya sebagai editor pelaksana Suara Kebebasan mendapatkan kesempatan untuk menghadiri cohort meeting bersama perwakilan mitra Atlas Network dari seluruh dunia. Mereka saling berbagi pengalaman mereka dalam mempromosikan kebebasan di negara mereka masing-masing.

Laksmi Goyal misalnya, dari Centre for Civil Society (CCS), India, berbagi pengalamannya dalam memperjuangkan hak para pedagang kaki lima di kota-kota di India. Ia menceritakan pengalamannya memperjuangkan agar para pedagang kaki lima tidak mendapatkan kekerasan dari aparat keamanan.

Halmie Azrie dari IDEAS Malaysia, berbagi pengalamannya dalam menyebarkan gagasan kebebasan di negaranya. Ia mengatakan, untuk membuatnya lebih termotivasi, ia bekerja sama dengan banyak kalangan, seperti para politisi muda dan tidak hanya berkutat pada isu-isu akademis belaka.

Saya sendiri mendapatkan kesempatan untuk saling berbagi pengalaman dengan berbagai mitra dalam sesi ini. Diantaranya adalah pengalaman saya di Suara Kebebasan, dan bagaimana Suara Kebebasan berupaya untuk memperkenalkan gagasan kebebasan sipil dan ekonomi pasar kepada masyarakat Indonesia.

Pada sesi ALF hari pertama, temanya adalah mengenai Think Tank Shark Tank Competition, yang merupakan acara tahunan Atlas di mana mitra Atlas Network berlomba untuk mendapatkan hadiah untuk organisasi mereka. Menjadi juri dalam kompetisi ini adalah Jeffrey Ng dari Cathay Land, Inc., Filipina, Rajesh Jain dari Netcore Solutions, India, dan Simmon Lee dari AdvB Public Affairs Consulting, Hong Kong.

Peserta pertama adalah Andree Surianta dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Indonesia. Ia menyampaikan mengenai program CIPS untuk membantu meningkatkan akses dan kesadaran vaksin serta melibatkan peran swasta yang lebih besar. Kampanye ini dilakukan melalui berbagai medium, salah satunya adalah melalui media sosial dan video.

Peserta selanjutnya adalah Nur Zulaikha Azmi dari IDEAS, Malaysia. Ia menceritakan mengenai salah satu proyek IDEAS bernama Pantau Kuasa untuk memantau para politisi yang dipilih pemerintah untuk menduduki jabatan di perusahaan milik negara, agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Peserta terakhir adalah Sathya Karunarathne dari Advocata Institute, Sri Lanka. Ia menyampaikan proyek Advocata untuk meningkatkan kesetaraan dan keadilan bagi perempuan di Sri Lanka, diantaranya terkait dengan hak kepemilikan properti dan ketenagakerjaan.

Sesi kedua di hari kedua ALF ini membahas mengenai perencanaan strategis bersama Atlas Network Academy. Menjadi fasilitator dalam sesi ini adalah Lindy Arsenault dari Atlas Network  dan Luis Miranda dari Centre for Civil Society (CCS), India. Dalam sesi tersebut dibahas setidaknya ada empat topik pertanyaan besar yang perlu untuk ditanyakan dan dijawab oleh berbaga organisasi think tank.

Topik pertanyaan tersebut adalah mengenai kekuatan, yakni apakah kekuatan yang dimiliki dari organisasi yang kita miliki. Topik kedua adalah mengenai kelemahan, yakni aktivitas apa yang tidak direspon oleh audiens dan aktivitas yang tidak kita kejar. Ketiga adalah mengenai kesempatan, yakni mencari tahu hal apa yang diinginkan oleh orang-orang untuk diperbaiki, dan organisasi atau mitra mana yang kira-kira memiliki simpati terhadap proyek yang sedang kita jalankan. Topik pertanyaan terakhir adalah terkait ancaman, salah satunya adalah proyek atau aktivitas apa yang saat ini sedang dikerjakan oleh kompetitor kita untuk melawan atau menghalangi proyek yang sedang kita lakukan, dan perubahan seperti apa yang kira-kira akan ditolak oleh masyarkat di sekitar kita.

Sesi ketiga di hari kedua ALF ini membahas mengenai liberalisme dan masyarakat bebas di tahun 2021, dan dampaknya terhadap Asia. Menjadi pembicara dalam diskusi ini dalah Arpita Nepal dari Samriddhi Foundation, Nepal, Rainer Heufers dari Center for Indonesian Policy Studies, Indonesia, dan Dr. Parth Shah dari Centre for Civil Society, India. Menjadi moderator dalam sesi ini adalah Brad Lips dari Atlas Network.

Arpita Nepal menjadi pembicara pertama dalam sesi ini, Dia menggambarkan keadaan di negaranya, Nepal, di mana pemerintah semakin besar dan gerakan populisme semakin meningkat, terutama pada masa pandemi. Parth Shah mengatakan bahwa kita harus terus mengkampanyekan ide-ide kebebasan meskipun pada masa pandemi, Untuk itu, kita harus mampu mencari banyak mitra lain yang dapat membantu kita dalam menyebarkan gagasan tersebut. Shah also menyampaikan semakin meningkatnya tendensi otoritarianisme di India dengan adanya pandemi COVID-19.

Pembicara ketiga, Rainer Heufers, menyampaikan bahwa beberapa karakteristik dari liberalisme, salah satunya adalah liberalisme cenderung skeptis terhadap kekuasaan. Namun, hal ini semakin sulit, terutama pada masa pandemi saat ini di mana semakin banyak orang yang bergantung pada pemerintah.

Rainer juga mengatakan bahwa Liberalisme juga percaya pada kemajuan manusia (human progress), bahwa manusia mampu maju dan berkembang. Rainer mengatakan ide mengenai human progress dapat berjalan beriringan dengan nilai-nilai Asia, khususnya di era di mana teknologi semakin maju. Karakteristik liberalisme lain yang tidak kalah pentingnya adalah liberalisme menghormati orang lain, apapun latar belakangnya. Proyek CIPS yang terkait hal tersebut adalah membantu anak-anak di Indonesia dan perempuan agar mendapatkan kesempatan yang sama.

Di sesi terakhir ALF hari kedua, topik yang dibahas adalah mengenai bisnis perempuan di kawasan Asia. Di awal sesi ini, diinfokan bahwa yang menjadi pemenang Think Tank Shark Tank Competition adalah Sathya Karunarathne dari Advocata Institute atas proyeknya untuk meningkatkan hak dan kesetaraan perempuan di Sri Lanka. Menjadi pembicara dalam sesi ini adalah Charu Chadha dari Media 9 Pvt Ltd., Nepal, Bhuvana Anand dari Trayas Foundation, India, dan Tricia Yeoh dari Institute for Democracy and Economic Affairs, Malaysia. Menjadi moderator dalam sesi ini dalah Casey Pifer dari Atlas Network.

Menjadi pembicara pertama dalam sesi ini adalah Charu Chadha, dan ia memaparkan kondisi perempuan di Nepal sangat berbeda berdasarkan geografi di negara tersebut. Perempuan di Nepal sendiri tidak memiliki hak yang setara dengan laki-laki dan salah satu tantangan yang harus dihadapi perempuan adalah banyak perempuan yang harus mendapatkan izin dari keluarga mereka untuk melakukan sesuatu.

Bhuvana Anand, yang menjadi pembicara kedua, juga menyampaikan mengenai ketidakadilan yang dihadapi oleh perempuan di India. Salah satu diantaranya adalah, 26 dari 28 negara bagian di India melarang perempuan untuk bekerja di malam hari. Kondisi perempuan di India sendiri tidak bisa dipisahkan dari kondisi historis di India, di mana pada masa lalu perempuan tidak memiliki hak atas properti di negara tersebut.

Pembicara ketiga, Tricia Yeoh, memaparkan mengenai kondisi perempuan yang ada di Malaysia. Yeoh memaparkan bahwa sebagian besar perempuan Malaysia tidak bekerja kembali setelah menikah. Selain itu, terdapat juga diskriminasi di Malaysia, salah satunya adalah hukum perceraian dan juga hukum waris yang jauh lebih menguntungkan laki-laki dan merugikan perempuan.

Sebagai penutup, acara Asia Liberty Forum (ALF) 2021 berlangsung dengan sangat sukses dan lancar. Satu-satunya hambatan terbesar dari acara ini adalah pandemi COVID-19 yang masih terjadi. Semoga, pandemi ini akan segera berakhir, dan ALF bisa kembali diselenggarakan secara offline seperti tahun-tahun sebelumnya.