Catatan Kelam Perbudakan: Kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia

    113
    Sumber gambar: https://www.google.co.id/.../sejarah-hari-penghapusan.../amp
    Kontak budaya dan sosial antara Timur dengan Barat telah terjalin sejak ribuan tahun silam, diwarnai dengan berbagai benturan kepentingan, permusuhan, hingga peperangan. Pada tahun 600-330 SM, perebutan kekuasaan antara Ancient Greek dan dinasti Achaemenid menjadi permulaan dari fenomena di mana masing-masing pihak untuk berusaha saling memahami satu sama lain. Kemudian, ada Yunani di bawah kepemimpinan Alexander the Great, yang melakukan invasi ke Mesir dan menerapkan kebudayaan Hellenisme (Rahim, 2010). Peristiwa-peristiwa ini semakin memperpanjang garis hubungan subordinat antara Barat dan Timur, di mana mayoritas negara Timur dipandang sebagai yang terbelakang dan harus tunduk pada peradaban Barat.
    Puncaknya, ada pada peristiwa Perang Salib yang berakhir dengan kekalahan umat Kristen. Peristiwa ini kemudian menjadi motivasi terutama yang melahirkan kajian orientalisme di kalangan intelektual Eropa. Barulah, pada abad ke-19, di mana orientalisme mencapai puncak kajian tertingginya. Secara menyeluruh, saat itu orientalisme mengkaji hampir semua aspek disiplin ilmu seperti ekonomi, historis, eksotika, dan teks politik budaya Timur. Periode kemajuan orientalisme ini juga beriringan dengan masa penjajahan Inggris dan Prancis terhadap negara-negara koloninya di dunia (Said, 2001). Lebih lanjut lagi, orientalisme berkembang menjadi tumpuan yang menjadi bagian signifikan dari peradaban dunia Barat, dimulai dari masa kolonialisme dan imperialisme ke negara-negara Timur hingga pandangan kontemporer masyarakat dalam melihat Islam secara totalitas.
    Pada tahun 1453, ketika Turki Utsmani berhasil menguasai Kota Konstantinopel dan menguasai perdagangan rempah-rempah di wilayah Timur Tengah, akses terhadap bangsa Eropa ditutup sehingga bangsa Eropa harus mencari ke wilayah lain. Salah satunya adalah Nusantara, yang kaya akan sumber rempah-rempah. Belanda menjadi salah satu bangsa Eropa yang datang ke wilayah Nusantara untuk melakukan perdagangan dengan penjual lokal. Namun, niat transaksi berdagang ini juga kemudian bertransformasi menjadi penjajahan. Tiba di kepulauan Maluku pada bulan Maret 1599, keberhasilan pelayaran tersebut mendorong keinginan berbagai perusahaan di Belanda untuk memberangkatkan kapalnya ke Indonesia. Berdasarkan catatan sejarah, ada 14 perusahaan yang akhirnya memberangkatkan 62 kapal (Bunari., et al, 2017).
    Di samping penjajahan, satu idiom yang paling melekat adalah perbudakan. Perbudakan kerap ditunjukkan sejarah melalui tindakan Belanda yang memperlakukan penduduk pribumi Nusantara (Indonesia sekarang) dengan sistem-sistem yang diterapkan, seperti sistem tanam paksa, pembangunan jalan raya maupun infrastruktur yang tidak memperhatikan kesejahteraan tenaga kerja, dan politik drainase yang juga memonopoli hasil perkebunan rakyat.
    Bukan cuma Indonesia saja yang menjadi korban dari sepak terjang perbudakan Belanda, lebih dari 600.000 orang dari Asia dan Afrika diperdagangkan oleh Belanda pada abad ke-17 hingga ke-19. Laki-laki, perempuan, dan anak-anak dipekerjakan secara paksa di perkebunan gula dan kopi, pertambangan, serta sebagai budak rumah tangga di “Dunia Baru” ketika mereka menjajah wilayah Amerika dan Karibia. Orang-orang yang diperbudak mengalami kekerasan fisik, mental dan seksual yang ekstrem. Hasil dari kerja paksa dan perbudakan itu telah memperkaya Kerajaan Belanda dan berkontribusi pada masa keemasan ekonomi Belanda pada abad ke-17, yang membuat Belanda sangat maju dalam bidang ilmu pengetahuan dan budaya (Holligan, 2022). Dalam jejaknya, perusahaan Dutch West India Company milik Belanda menjadi pedagang budak trans-Atlantik terbesar, dengan ratusan ribu orang dipaksa bekerja di perkebunan di Suriname dan koloni lainnya. Perbudakan Belanda berlanjut hingga tahun 1863.
    Sejarah perbudakan ini seolah tidak pernah didengungkan lagi, sampai pada 19 Desember 2022 kemarin, Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, meminta maaf atas keterlibatan negaranya dalam perbudakan selama 250 tahun. Dalam pidatonya di Arsip Nasional Belanda, Mark Rutte mengatakan bahwa perbudakan harus secara tegas diakui sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (Makdori, 2022). “Hari ini saya minta maaf. Selama berabad-abad negara Belanda dan perwakilannya telah memungkinkan dan mendorong perbudakan dan mengambil keuntungan darinya”, ujar Mark Rutte.
    Permintaan maaf itu muncul di tengah pertimbangan ulang yang lebih luas tentang masa lalu kolonial negara itu, termasuk upaya untuk mengembalikan karya seni yang dijarah. Waktu permintaan yang dianggap tidak ’pas’ oleh sebagian orang akhirnya memicu kontra dari masyarakat Belanda itu sendiri. Para pengkritik mengeluhkan minimnya konsultasi Belanda terkait hal ini, bahkan mereka menilai bahwa cara pemerintah Belanda mengagendakan permintaan maaf ini memiliki ’kesan kolonial’. Enam yayasan di Suriname juga menuntut pengadilan agar permintaan maaf sebaiknya dilakukan pada 1 Juli 2023, yang bertepatan dengan peringatan 150 tahun berakhirnya perbudakan oleh kolonial Belanda (Holligan, 2022).
    Dalam melihat perbudakan masa kini, perbudakan dapat didefinisikan sebagai sistem segolongan manusia yang dirampas kebebasan hidupnya untuk bekerja guna kepentingan golongan manusia lain. Adapun, menurut Nugraha (2015:51) budak juga berarti ‘hamba’ atau ‘anak-anak’. Dengan kata lain, istilah “slavery” tidak hanya mempunyai kesan penindasan atau perbudakan, melainkan juga penghambaan dan ketergantungan. Penghambaan dan ketergantungan ini tercermin dari persepsi bahwa budak tidak memiliki hak, yang mereka miliki hanya kewajiban — mereka tidak memiliki kuasa atas hidupnya sendiri, hanya hidup demi perintah majikan (tuannya).
    Dengan berbagai latar belakang perbudakan yang sarat akan eksploitatif yang tidak memperhatikan aspek hak asasi setiap manusia, jelas bahwa perbudakan menjadi sejarah kelam yang seharusnya dapat menjadi alarm bagi setiap negara untuk terus menggalakkan narasi anti perbudakan, baik kesalahan di masa lalu maupun perbudakan era modern. Ditambah lagi, ratifikasi instrumen hukum HAM Internasional yang telah disepakati oleh banyak negara (seperti DUHAM atau Piagam PBB) juga sebagai indikasi bahwa hak-hak dasar manusia juga mencakup keterlepasan dari sistem perbudakan.
    Referensi
    Bunari., et al. (2017). “Sejarah Pemahaman 350 Tahun Indonesia Dijajah Belanda”. Jurnal UNRI, Vol. 4 (1). Diakses melalui https://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFKIP/article/view/12666. Diakses pada 22 Agustus 2023, pukul 12.56 WIB.
    Holligan, A. (2022, 20 Desember). “Pemerintah Belanda minta maaf atas perbudakan era kolonial, namun hampir separuh orang Belanda ‘tidak mendukungnya’”. Diakses melalui https://www.bbc.com/indonesia/articles/c881zzv2v5po, pada 22 Agustus 2023, pukul 10.19 WIB.
    Makdori, Y. (2022, 20 Desember). Belanda Minta Maaf Ratusan Tahun Lakukan Perbudakan. Diakses melalui https://asumsi.co/…/belanda-minta-maaf-ratusan-tahun…/, pada 22 Agustus 2023, pukul 15.16 WIB.
    Nugraha, M.T. (2015). “Perbudakan Modern (Modernslavery ) (Analisis Sejarah Dan Pendidikan)”. At-Turats. Vol. 9, Nomor 1, hal. 49—61.
    Rahim, A. (2010). “Sejarah Perkembangan Orientalisme”. HUNAFA: Jurnal Studia Islamika, 7(2), 179-192.
    Said, Edward W. (2001). “Orientalisme”. Bandung: Penerbit Pustaka.