Cap Kafir dan Diskriminasi Agama

    1214

    Istilah kafir umumnya telah diketahui banyak orang sebagai istilah dalam yang ditujukan kepada orang-orang yang tidak memeluk agama Islam. Istilah kafir dalam Bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab yaitu Kafr. Kafir adalah jamak dari kuffar yang memiliki makna mengingkari, menutup, atau menyembunyikan sesuatu.

    Kata kafir digunakan pada zaman daulah Islamiyah yang berdiri tegak di Timur Tengah. Kata kafir ditujukan untuk musuh-musuh Islam yang beragama non-Islam, sehingga dalam perpolitikan kekhalifahan Islam muncullah terminologi kafir harbi, kafir dzimmi, kafir mu’ahad, kafir mus’tamin, dan lain sebagainya. Istilah tersebut muncul ketika kekhalifahan Islam sudah menjadi negara dengan sistem politik yang kuat.

    Di Afrika Selatan pada masa sistem rasis, Aparthaied diberlakukan, kata kafir digunakan oleh orang kulit putih untuk menghina orang-orang kulit hitam. Ketika orang kulit putih hadir di benua Afrika untuk membentuk koloni, pribumi Afrika yang masih terbelakang mereka sebut sebagai “kafir”.  Dari sini jelas bahwa kata kafir itu sendiri berkonotasi negatif, yang ditujukan untuk merendahkan kelompok lain.

    Dalam   Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) pada bulan Februari yang lalu, NU merekomendasikan untuk tidak menyebut dengan istilah kafir pada kelompok non-muslim demi menjaga kerukunan dan persaudaraan antar anak bangsa.

    KH Abdul Moqsith Ghazali berkomentar, tujuan dari Munas NU untuk tidak menyebut non-muslim sebagai kafir bukan dalam artian teologis, tetapi istilah ini dihindari  agar tidak berdampak pada rusaknya persatuan bangsa. “Memberikan atribusi teologis yang diskriminatif dalam tanda petik kepada sekelompok warga negara lain, memberikan label kafir kepada warga Indonesia yang ikut merancang desain negara Indonesia, rasanya kurang bijaksana. Dengan begitu, maka status mereka setara dengan warga negara yang lain,” menurut KH Abdul Moqsith Ghazali (bangka.tribunnews.com, 1/3/2019).

    KH Ma’ruf Amin (sekarang menjadi wakil presiden) sepakat untuk tidak menggunakan istilah kafir kepada Non-muslim yang sebangsa dan senegara. Kata kafir berlaku dalam di zamannya ketika negara Islam berdiri dan agama dijadikan sebagai ideologi negara. Sementara, di Indonesia yang menganut sistem Pancasila dan menghargai kemajemukan, serta tidak menjadikan Islam sebagai ideologi politik, menggunakan kata kafir dikuatirkan akan memecah belah bangsa.

    Tentu saja polemik ini membuat kehebohan dan kegaduhan. NU dianggap inggin mengganti ayat-ayat Al-Quran tentang orang kafir dan mengganti surat al-kafirun menjadi “surat Non-muslim”. Ormas-ormas Islam seperti FPI dan juga beberapa ormas Islam lainnya tidak sepakat dengan penghapusan istilah kafir untuk menyebut orang non-Muslim  di Indonesia.

    Bagi mereka yang menolak, berpendapat bahwa Al-Quran telah menyebut atau mengulang kata kafir sebanyak 525 kali. Jika kata kafir dihapus, maka itu sama saja dengan menghapus dan merubah ayat-ayat Al-Quran. Kata kafir ini dalam beberapa waktu menjadi perdebatan hingga akhirnya pupus menjelang masa Pemilihan Presiden 2019.

    Cap Kafir dan Diskriminasi Agama

    Banyak yang gagal paham terhadap sikap NU mengenai penghapusan istilah kafir. Sekali lagi penggantian istilah kafir untuk menyebut orang-orang di luar Islam, hanya bertujuan politis atau maslahat umum, yaitu persatuan Indonesia. Dan menurut ulama salaf, Najmuddin At-Thufi, maslahah wajib dikedepankan untuk kebaikan bersama. Karena itulah, NU berani berijtihad untuk tidak menyebut kata kafir ketika seorang Muslim berinteraksi dengan orang Non-muslim.

    Yang menjadi pangkal masalah sebenarnya, penggunaan istilah kafir di Indonesia lebih ditujukan untuk menghina atau mendiskriminasi kelompok lain, khususnya dalam dunia politik saat pemilu. Orang-orang beretnis Tionghoa diejek sebagai kafir dan kemudian muncul propaganda anti kafir demi kepentingan politik kelompok tertentu. Begitu pula di dunia maya. Di media sosial, orang bisa seenaknya memanggil dan mencap orang lain kafir dengan tujuan mengolok-olok dan merendahkannya. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, efeknya akan  muncul permusuhan dan rasa kebencian antar anak bangsa.

    Hal ini yang ingin dicegah dan diantisipasi oleh para ulama yang setuju kata kafir tidak digunakan dalam pergaulan. Sayangnya, ormas-ormas dan kelompok Islam lainnya tidak paham atau kurang mengerti mengenai soal kebangsaan belakangan ini. Mereka tidak tahu bahwa Indonesia hampir berada di jurang perpecahan dan permusuhan hanya karena motif beda agama.

    Kasus politik SARA yang belakangan ini kembali mencuat, membuat Indonesia tenggelam dalam permusuhan antarsaudara. Misalnya, jenazah yang tidak bisa dikebumikan akibat Pilkada di Jakarta tahun 2018 lalu; perusakan kuburan komunitas Nasrani di  Yogyakarta; penyegelan dan pembubaran aktivitas keagamaan, bahkan permusuhan antar aliran seagama seperti Sunni dan Syiah, kelompok Kristiani (Katolik – Protestan) dengan komunitas Saksi Yehovah dan Gereja Mormon. Kejadian seperti ini sangat mengkhawatirkan dan menggangu keharmonisan antar anakbangsa.

    Permusuhan SARA yang sudah sedemikian gawatnya, memaksa kita untuk menahan diri untuk mencaci maki dan melontarkan istilah-istilah yang bernada provokatif. Istilah kafir di sini, yang sering diucapkan oleh kelompok radikal, sangat berpotensi untuk membuat jurang antar anak bangsa. Jangan hanya karena berbeda agama dan keyakinan, persaudaraan pun menjadi rusak.

    *****

    Dalam konteks teologis, kata kafir oleh sebagian besar Ulama dimaknai sebagai orang-orang yang tidak menerima kebenaran Islam, Al-Quran, Allah, dan kenabian Muhammad. Dengan demikian, orang-orang kafir dalam sejarah umat Islam selalu diletakkan sebagai suatu narasi yang negatif.

    Di masa kekepimpinan politik kekhalifahan, diberlakukan sistem tasyabuh atau pembeda yang membedakan cara penampilan kaum Muslim dan orang kafir. Selain itu, hak berbicara dan berpolitik mereka juga dibatasi dan harus mengikuti hukum yang diterapkan oleh khalifah.

    Menurut Jalaluddin Rahmat atau Kang Jalal, seorang cendekiawan Muslim, Al-Quran menyebut kata kafir kadangkala tidak menandakan suatu golongan, tetapi menujukkan sifat dan watak manusia. Contohnya: QS 14 ayat 7: ” la-in shakartum la-azidannakum wa la-in kafartum inna ‘adzabi la shadid. Jika kalian bersyukur, Aku (Tuhan) tambahkan lagi nikmat-Ku. Jika kalian “kafir” atas nikmat-Ku, maka azab-Ku sangat pedih. ”

    Kata “kafir” di atas tidak merujuk suatu agama atau organisasi tertentu, namun berbentuk ancaman pada individu yang mengingkari nikmat Allah. Karena itulah, kelompok Muslim Ibadhi (Sekte Ibadhiyyah) menyebut orang-orang di luar kelompoknya (baik Ahlusunah, Syiah, Alawite) sebagai kafir nikmat. Namun, tidak berarti kelompok-kelompok ini murtad atau keluar agama.

    Dalam Al-Quran, yang perlu diketahui, Allah menyebut orang-orang Nasrani, Kristen, Yahudi, Zoroaster, dengan istilah “ahlul kitab“. Secara umum, ahlul kitab bermakna orang-orang yang diberi kitab suci atau wahyu sebelum Islam. Namun,  Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Rasyid Ridh dalam Tafsir Quran “Al-Manar“, menjelaskan lebih jauh makna ahul kitab. Menurut mereka, ahlul kitab adalah agama-agama di luar Islam secara luas, baik Hindu, Buddha, Konghucu, Tao, Sikh, dan lain sebagainya. Terkait dengan kafir, istilah kafir digunakan untuk mengecam orang-orang jahiliyah, ingkar, dan “bandel” tidak dengan orang-orang Non-muslim yang berdamai dengan komunitas Islam.

    *****

    Banyak orang ragu untuk mengganti penggunaan kata kafir dengan ucapan Non-Muslim. Padahal suatu istilah atau bahasa adalah produk zaman, suatu istilah muncul dan tenggelam hilang di masyarakat sudah biasa. Seperti kata stunting sudah menggantikan kata cebol dan kontet yang berkonotasi negatif (tidak sopan untuk diucapkan), begitu juga kata Waria untuk menggantikan istilah bencong. Tuna rungu untuk tuli, dan lain-lain.

    Banyak sekali istilah yang berubah dan tergantikan oleh suatu istilah yang (disepakati) lebih sopan dan layak. Kata kafir yang berkonotasi negatif dan lebih sering digunakan ketika mengumbar kebencian dan mendiskriminasi minoritas juga sah saja tidak kita gunakan lagi dalam pergaulan. Kata Non-Muslim lebih sopan dan juga perlu dipakai untuk maslahat bersama.

     

    Referensi

    Bangka TribunNews.com. 1 Maret 2019. “Kiai NU Sepakat Tak Sebut Kafir kepada Non-Muslim di Indonesia”. Diakses dari http://bangka.tribunnews.com/2019/03/01/kiai-nu-sepakat-tak-sebut-kafir-kepada-non-muslim-di-indonesia.