BUMN yang Terus Merugi dan Privatisasi

1670

Permasalahan kerugian yang dialami oleh berbagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia sudah menjadi rahasia umum. Bukannya menjadi sumber pemasukan untuk membiayai negara, berbagai BUMN justru menjadi beban karena kerugian yang mereka alami ditambal oleh dana masyarakat.

Garuda Indonesia misalnya, pada tahun 2018 mengalami kerugian besar hingga 2,45 triliun rupiah (CNBC Indonesia, 2019). Begitu pula yang terjadi dengan Krakatau Steel yang mengalami kerugian hingga 2,9 triliun rupiah pada tahun 2019, dan PT Dirgantara Indonesia yang mengalami kerugian sebesar 1,4 triliun rupiah pada tahun 2012 dan 400 miliar rupiah tahun 2015 (Kompas, 2019).

Pihak yang paling dirugikan dari performa yang sangat buruk berbagai perusahaan BUMN tersebut tentu adalah masyarakat. Triliunan rupiah dana publik yang seharusnya bisa digunakan untuk pembagunan dan hal-hal lain yang dapat membawa manfaat dihabiskan begitu saja untuk badan-badan usaha yang tidak dikelola dengan baik.

Lantas mengapa banyak BUMN yang terus mengalami kegagalan? Mengapa perusahaan-perusahaan yang seharusnya bisa menjadi alat negara untuk mendapat pemasukan justru menjadi badan usaha yang membakar uang publik?

Setidaknya ada tiga penyebab utama yang menyebabkan terjadinya hal tersebut. Faktor pertama yang sangat signifikan adalah tidak ada pemilik yang jelas dari perusahaan-perusaahaan tesebut. BUMN diklaim sebagai badan usaha yang dimiliki oleh rakyat, namun yang mengelola adalah para pejabat publik yang mewakili masyarakat. Apabila ada perusahaan yang memiliki performa buruk, maka dampak kerugiannya tidak akan dirasakan oleh para pejabat yang mengelolanya.

Bayangkan bila Anda disuruh mengelola suatu badan usaha. Akan tetapi, badan usaha tersebut bukanlah milik Anda, dan Anda tidak akan mendapatkan dampak dari keuntungan atau kerugian yang dialami oleh usaha tersebut. Kira-kira, apakah Anda memiliki insentif untuk mengelola badan usaha tersebut dengan baik?

Faktor kedua adalah, ada pihak yang selalu menyelamatkan BUMN bila mengalami kerugian dan kegagalan, yakni negara. Menurut laporan Liputan 6, selama 4 tahun terakhir, negara sudah menyuntikkan 105 triliun untuk perusahaan-perusahaan BUMN (Liputan 6, 2019).

Adanya pihak yang selalu memberi dana penyelamatan untuk perusahaan tentu akan membuat para pengelolanya tidak memiliki insentif untuk menjalankan usahanya dengan sebaik mungkin sehingga dapat meraih keuntungan. Bila Anda mengelola suatu badan usaha, dan setiap mengalami kerugian selalu ditalangi oleh pihak tertentu, pasti Anda tidak akan peduli apakah usaha yang dijalankan menghasilkan profit atau tidak.

Penyebab ketiga adalah, perusahaan-perusahaan BUMN tidak memiliki tujuan jelas sebagaimana perusahaan swasta, apakah mencari profit atau memiliki tujuan yang lain. Oleh karena itu, setiap mengalami kerugian, para pengelola perusahaan-perusahaan milik negara tersebut bisa memberikan alasan bahwa tujuan dari BUMN adalah sebagai agen bagi pembangunan negara dan bukan untuk mencari keuntungan.

Menteri Bappenas misalnya, menyampaikan bahwa BUMN merupakan agen pembangunan (Akurat.co, 2019). BUMN dalam hal ini, juga harus bertanggung jawab untuk membantu menjalankan program-program pemerintah, seperti mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan.

Lantas, apakah ada solusi paling efektif dan efisien untuk mengatasi permasalahan tersebut? Apakah langkah yang bisa dilakukan untuk menghentikan penghamburan dana masyarakat untuk menutupi badan usaha milik negara yang terus merugi?

Solusi terbaik yang bisa dilakukan adalah dengan memberlakukan privatisasi atas berbagai badan usaha tersebut. Melalui privatisasi, maka perusahaan-perusahaan tersebut akan dipaksa untuk bersaing dan mengikuti mekanisme pasar. Apabila ada pengelola yang tidak menjalankan perusahaan dengan baik, maka akan dihukum langsung oleh pasar.

Ketika perusahaan swasta tidak mendapat keuntungan, maka pemilik dari perusahaan tersebut yang akan menanggung beban dari kerugian yang dihasilkan. Mereka tidak bisa merongrong negara untuk memberikan suntikan dana demi menutupi kesalahan pengelolaan yang mereka lakukan. Perusahaan yang tidak bisa berinovasi dan memiliki manajemen yang buruk pasti akan kalah bersaing dan digantikan oleh badan usaha lain yang lebih baik dan inovatif.

Salah satu contoh nyata dari dampak yang sangat positif dari perusahaan-perusahaan negara yang diprivatisasi adalah ketika Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher memberlakukan kebijakan tersebut pada dekade 1980-an.

Perusahaan British Airways misalnya, sebelum diprivatisasi selalu menjadi beban pemerintah dan mendapat dana dari uang pajak. Pada awal dekade 1980-an, perusahaan penerbangan tersebut mendapat kucuran hingga 189 juta pound dari dana publik. Berdasarkan laporan Center for Policy Studies, setelah diprivatisasi pada tahun 1987, pemasukan British Airways semakin meningkat, dan pada tahun 1996 bahkan dapat menyumbang pemasukan negara sampai 112 juta pound (Center for Policy Studies, 1996).

Kebijakan privatisasi di Britania Raya juga diteruskan oleh Perdana Menteri John Major yang juga berasal dari Partai Konservatif, setelah Thatcher turun jabatan tahun 1991. Major melakukan privatisasi besar terhadap Perusahaan Kereta Api di Britania Raya, yang dilakukan bertahap dari tahun 1994 hingga 1997. Sebelum diprivatisasi, Perusahaan Kereta Britania Raya terus mengalami kerugian hingga 2 milyar pound per tahun. Pada tahun 2015, Perusahaan-perusahaan kereta yang dikelola oleh swasta telah menyumbangkan 200 juta pound kepada pemerintah Britania Raya (Skynews, 2017).

Memberikan kuasa kepada para pejabat negara untuk mengelola usaha sama saja dengan menghambur-hamburkan uang masyarakat yang dapat digunakan untuk hal lain yang lebih bermanfaat. Sebagaimana yang dikatakan oleh ekonom tersohor Amerika Serikat, Thomas Sowell, “Tidak bisa dibayangkan cara yang lebih berbahaya untuk mengambil keputusan daripada menempatkan keputusan tersebut kepada orang-orang yang tidak akan terkena dampak apapun ketika mereka melakukan kesalahan.”