Cerita Webinar Forum Kebebasan: BUMN, State Entrepreneurship, dan Pasar

476

Kewirausahaan adalah salah satu kunci dari negara maju, di mana seorang wirausaha mendorong peningkatan jumlah lapangan kerja, produk barang, dan juga sukses meningkatkan ekonomi negara. Namun, bagaimana dengan Indonesia? Jika kita merunut sejarah, kekuatan enterpreneurship individu memang belum terbangun secara baik (atau memang sengaja tak dibangun?).

Misalnya pada masa Orde Lama, Pemerintah lebih memusatkan pada industri yang digerakkan oleh negara, yang pada saat itu disebut sebagai Perusahaan Negara (PN). Baik perusahaan baja besar hingga peralatan kebutuhan rumah tangga, negara berusaha menjadi penyuplai dan memproduksinya. Namun, pada akhirnya negara gagal atau minimal tidak berjalan sesuai harapan.

Pun di masa Orde Baru, meski pemerintah cenderung pro terhadap pasar bebas, namun demi menegakkan “Ekonomi Pancasila” pemerintah tetap memegang kendali lewat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan anak perusahaannya. Mirisnya, perusahaan yang mendapat guyuran uang negara tersebut dikuasai oleh keluarga Soeharto dan kroninya.

Kemelut masalah negara yang menjadi ‘wirausaha’ ini mendorong Suara Kebebasan mengangkat topik ini dalam Forum Kebebasan (ForKes) daring, dengan pembicara Muhammad Rosyid  Jazuli (Peneliti Paramadina Public Policy Institute dan Kandidat Ph.D. University College London). ForKes kali ini dipandu oleh Editor Pelaksana Suara Kebebasan yang baru, Galang Taufani, pada hari Jumat, 21 Januari 2022.

Memang idealnya peran negara dalam sebuah pengembangan ekonomi harus dibatasi. Sebab dalam argumen pasar bebas, semakin mendalam campur tangan negara dalam mengatur pasar, maka semakin sulit pasar untuk berkembang. Apalagi jika negara berbisnis dan bisnis tersebut dijalankan bukan melalui mekanisme pasar yang kompetitif, melainkan mendominasi pasar alias monopoli.

Di Indonesia, untuk mewujudkan Pasal 33 UUD 1945 yaitu penguasaan sumber daya, air dan kekayaan alam oleh negara diimplementasikan dengan mendirikan perusahaan-perusahaan milik negara, meskipun Bung Hatta yang mengagas Pasal 33 tersebut mengatakan bahwa penguasaan oleh negara adalah penguasaan kolektif oleh masyarakat melalui pendirian koperasi, bukan PN atau BUMN. Namun, pandangan tersebut sudah menjamur dalam masyarakat kita sehingga banyak orang yang menginginkan negara membuka perusahaan baja, perusahaan mobil, perusahaan pesawat terbang, dan beraneka macam lainnya.

Di China sendiri  awalnya mengadopsi pemahaman serupa, di mana negara ikut berbisnis melalui perusahaan-perusahaan milik negara. Namun, setelah sadar bahwa cara tersebut tidak efektif, China kemudian mendorong agar rakyatnya berusaha dan bekerja sebagai wirausaha.

Dalam pembukaan diskusinya, Rosyid juga mengatakan bahwa perkembangan BUMN sebagai kepanjangan tangan bisnis negara melanjutkan sistem kolonial, di mana perusahaan diatur secara birokratis, dipilih secara politis. Ia melanjutkan paparannya bahwa ada usaha untuk merombak struktur BUMN yang awalnya sebagai lembaga birokrat menjadi berorientasi pasar yang lebih kompetitif. Usaha untuk merombak BUMN untuk menjadi lebih modern tengah diupayakan hingga hari ini, namun menurut Rosyid usaha itu tidak berhasil.

“Berbagai cara pemerintah untuk memodernisasi BUMN, namun sayangnya kurang berhasil,” kata Rosyid. Watak birokrat di BUMN memang sulit untuk dihilangkan. Label “milik negara” telah membuat para pekerja dan juga pengelola bersikap laiknya seorang birokrat tulen. Tak jarang jika banyak orang menyandingkan orang yang bekerja di perusahaan BUMN setara dengan ASN atau abdi sipil.

Padahal jika framework ini masih terus terpatri di pikiran banyak orang, khususnya para pekerja BUMN dan para pengelolanya, maka bisa dipastikan perusahaan milik negara tersebut tak akan maju dan mengeluarkan produk yang kompetitif.Besarnya dukungan pemerintah pada BUMN, pasar yang eksklusif untuk dikuasai oleh BUMN, serta wewenang yang besar pada BUMN untuk berkarya justru membuat BUMN menjadi ajang korupsi. Manajemen yang buruk dan kinerja yang tidak sesuai dengan pasar bebas justru membuat BUMN “melempem”.

Rosyid juga menyebut BUMN menjadi malas untuk bersaing dan berinovasi karena mereka merasa nyaman dengan dukungan pemerintah. Seandainya mereka merugi pun, APBN akan siap mengucurkan dana untuk kegiatan mereka. Ini yang membuat BUMN menjadi mandek, infesien, dan tidak berkembang. Lebih jauh, Rosyid mengatakan bahwa sikap BUMN di Indonesia sangat berlebihan. Berlebihan dalam hal ini adalah sikap nasionalistik, subsidi, dan juga kebijakan yang tidak melihat aspek ekonomi sehingga rentan ambruk. Sebut saja beberapa contoh seperti Jiwasraya dan BPJS yang sempat menghadapi masalah. Contoh lainnya kasus Garuda Indonesia yang tengah berada di ujung kehancuran.

Rosyid menganalisis ada beberapa catatan yang menjadi permasalahan untuk Garuda Indonesia, yaitu pengambilan keputusan dan kebijakan bukan dari orang-orang terpilih dan berintegritas. Biasanya orang yang menjabat di BUMN merupakan orang “titipan” dan bukan dipilih karena kemampuan dan integritasnya. Akibatnya, PT Garuda Indonesia tidak memiliki visi jangka panjang yang jelas. Keputusan jangka pendek dan populis selalu diambil hanya demi dapat untung cepat. Belum lagi para pengurus merasa aman karena setiap kerugian akan mendapat subsidi dari pemerintah.

Hal inilah yang membuat Garuda kolaps, toh ujung-ujungnya petinggi Garuda saling lempar tanggung jawab dan tuduh sana-sini ketika perusahaan yang mereka kelola di ambang kehancuran. Hal ini berbeda dengan perusahaan BUMN di Singapura seperti TEMASEK, di mana seluruh keputusan penting dipegang oleh orang-orang pilihan yang terbaik.

Jika BUMN di Indonesia berorientasi pada politik (orang yang dekat dengan penguasa bisa mengelola BUMN), di Singapura, mereka menerapkan seleksi ketat, siapa yang terbaik maka akan mendapatkan pekerjaan dan tanggung jawab terbaik. Hal ini yang membuat perusahaan TEMASEK di Singapura lebih kompetitif dan efisien.

Sebenarnya negara memiliki sebuah BUMN atau PN sama sekali tidak salah, realitas di negara mana pun, banyak negara yang memiliki perusahaan yang kepemilikannya dipegang oleh pemerintah. Namun yang harus digarisbawahi adalah, pemerintah harus tetap memperhatikan peran pasar, kompetisi dan juga memperhatikan dan menerapkan aspek bisnis. Jangan sampai BUMN hanya menjadi ‘bancakan’ yang berlandaskan kepentingan politik.

***

Dalam sesi tanya jawab beberapa audiens memberikan komentar dan pandangannya terkait tema wirausaha negara ini. Salah satunya adalah tentang mengapa di masa pandemi ini pemerintah tidak memberikan dukungan kepada orang-orang untuk tumbuh berwirausaha, sedangkan BUMN yang tidak menguntungkan justru diberikan subsidi dan bantuan mati-matian.

Pemateri memberi komentar bahwa di masa pandemi ini memang banyak sekali orang yang terkena PHK dan kemudian beralih membuka usaha untuk menyambung hidup. Sayangnya, wirausaha itu adalah sebuah skill atau kecakapan, dan banyak orang Indonesia tidak memiliki mentalitas dan skill untuk menjadi pengusaha wajar jika banyak orang yang membuka usaha kemudian ambruk.

Di satu sisi, memang penting bagi negara menciptakan beberapa regulasi yang pada pokoknya adalah menciptakan iklim usaha yang kondusif. Namun sayangnya mentalitas sebagian orang kita jarang ada yang ‘out the box’ menjadi seorang pengusaha, sehingga butuh waktu lama untuk mengubah mindset demikian.

Sedangkan masalah mempertahankan BUMN, banyak motif politik yang berada di balik BUMN sehingga mau tak mau pemerintah tetap mempertahankannya, terlebih dengan adanya tendensi nasionalisme yang kuat di masyarakat kita.

Pertanyaan selanjutnya dari audiens, adalah apakah masalah ideologi politik dalam pemerintahan tentu akan mempengaruhi kinerja BUMN. Lantas, bagaimana caranya agar pengaruh politik ideologi tersebut tidak mempengaruhi independensi BUMN dalam bekerja? Mengenai masalah ini, Rosyid mengatakan bahwa hal ini akan terkait dengan integritas kita semua. Apakah dalam hal ini kita bisa bersikap profesional, menempatkan sesuatu secara bijak, dan juga bekerja tanpa memandang latar belakang, atasan, dan mitra kita.

Seperti yang sudah diutarakan oleh Rosyid di atas, bahwa tidak ada salahnya jika negara memberi subsidi pada perusahaan swasta atau memiliki perusahaan milik negara, namun syaratnya, negara tidak boleh memanjakan perusahaan tersebut dengan berbagai fasilitas eksklusif. Hal ini sangat penting agar BUMN bukan jadi ‘sapi perah’ dan korban kepentingan birokrat maupun ekonomi dan politik pihak-pihak tertentu yang tidak berintegritas.

 

*****