Budaya Kapitalisme Kroni di Asia Timur dan Indonesia

    1202

    Saat mendengar orang membicarakan kapitalisme, banyak dari masyarakat Korea dan Jepang justru malah menjabarkan definisi kapitalisme kroni. Kapitalisme kroni didefinisikan sebagai sistem ekonomi dimana konglomerat-konglomerat mendapat kesuksesan dalam bisnisnya dari kolaborasi dan hubungan erat dengan penguasa (pemerintah, birokrat, dan lain-lain). Hal ini jelas terlihat apabila elit tertentu memiliki hak istimewa dalam aktivitas ekonomi dan bisnisnya, dan hak ini diberikan oleh pemerintah dan negara.

    Hal ini tentu tidak sehat dalam iklim pasar dan bisnis, di mana individu atau kelompok lain tanpa privilege seperti ini ruang gerak bisnisnya lebih terbatas dan dikecilkan. Para kroni ini juga bisa memantik monopoli dan oligopoli dalam mendapat kesempatan absolut untuk terlibat dalam proyek besar pemerintah seperti pembangunan jalan tol beserta infrastruktur lain.

    Kapitalisme kroni di Asia Timur lebih dari sekadar fenomena ekonomi dan dunia bisnis, melainkan sebuah kultur. Dalam dekade 80-an, model-model kapitalisme kroni ini dianggap sebagai “model ekonomi Asia Timur” yang ideal dalam developmental state.

    Kultur konfusianisme sudah menjadi bagian dalam skema sosio-kultural Asia Timur dari dulu hingga saat ini. Terminologi ini tidak hanya merujuk pada ide-ide dari Konfusius itu sendiri melainkan dari ‘rù’ yang menggabungkan kultur tradisional Tiongkok dengan ajaran Konfusius (Kongzi) dan dikembangkan oleh Mensius (Mengzi). Tetapi, di sini saya akan menggunakan terminologi yang lebih umum dipakai sejak disebut dalam literatur dunia modern (Hartati, 2016).

    Penerapan prinsip kekeluargaan dalam konfusianisme juga dapat terlihat dalam relasi-relasi lain di luar keluarga inti, seperti kaisar yang bertindak sebagai figur ayah yang menyediakan pangan dan fungsi perlindungan untuk anak-anaknya (dalam hal ini rakyatnya). Sebagai gantinya, rakyat harus tunduk, patuh, dan menghormati kaisarnya secara utuh, persis relasi orang tua-anak pada kebanyakan keluarga Asia Timur, di mana hubungannya sangat kaku dan hierarkial. Selain itu, prinsip kekeluargaan ini juga diterapkan dalam bisnis kebanyakan pebisnis Asia Timur, baik bisnis kecil maupun besar. Contohnya, keluarga besar saya; dari om, tante, hingga ayah saya menganggap karyawan sebagai bagian dari keluarga, dan diperlakukan sedemikian rupa.

    Dalam kronisme, ada relasi patron-klien yang melibatkan give and take, di mana patron memiliki akses politik, ekonomi, administrasi atau birokrasi yang dibutuhkan klien. Dalam relasi ini, klien tidak mendapatkan akses tersebut melalui jalur birokrasi formal, melainkan dari manipulasi relasi personal dengan patron berdasarkan ‘resiprositas’. Relasi ini juga muncul dalam kultur konfusianisme yang kerap menekankan hubungan antar keluarga, interdependensi terhadap relasi sosial, juga mengenalkan konsep guanxi, sebuah produk dari konfusianisme di Tiongkok, dimana ada dua tipe guanxi(1) favor-seeking guanxi, dan (2) rent-seeking guanxi (Chenting & Littlefield, 2001).

    Di Korea Selatan sendiri, chaebol merupakan konglomerat dalam industri yang dikontrol oleh keluarga secara turun-temurun. Saat krisis ekonomi melanda Asia tahun 1997, banyak pihak menyalahkan sistem chaebol ini, di mana sebagian besar utang Korea Selatan terutang oleh chaebol, yang memiliki memiliki rasio utang terhadap ekuitas sebesar 400 hingga 1,000 persen (Ogle, 1990).

    Banyak yang beranggapan bahwa, penyebab utama krisis ini di Korea Selatan adalah kekurangan cadangan devisa yang dihisap oleh pinjaman berbunga rendah oleh pemerintah untuk para chaebol. Perusahaan-perusahaan chaebol menjalankan investasi beresiko dan program ekspansi, investasi chaebol ini banyak yang risky, karena mereka nantinya juga akan mendapat bailout dari pemerintah (Ogle, 1990).

    Soal bailout, ini mirip prinsip ‘privatisasi keuntungan, nasionalisasi kerugian,’ atau lemon socialism, atau ‘socialism for the rich, capitalism for the poor‘, di mana profitabilitas suatu perusahaan menjadi keuntungan bagi pemilik saham, tapi jika merugi menjadi beban masyarakat. Saat korporasi besar, seperti para chaebol ini merugi atau saat krisis, mereka bisa mendapat benefit dari subsidi pemerintah melalui pembayaran pajak dalam bentuk bailout. Justifikasi yang biasanya dipakai untuk membenarkan tindakan-tindakan ini adalah, too big to fail’perusahaan-perusahaan tersebut terlalu besar untuk gagal (Choong, 2012).

    Bagaimana dengan Indonesia? Ternyata negara-negara berkembang mendominasi daftar negara dengan potensi kapitalis kroni terbesar. Sebanyak enam puluh lima persen kekayaan para kroni miliarder justru berasal dari negara-negara tersebut. Sangat disayangkan, bahwa Indonesia menempati peringkat cukup tinggi pada daftar ini, yakni pada urutan ketujuh dengan proporsi kekayaan kroni kurang dari lima persen PDB (indonesiana.com, 27/04/2019).

    Salah satu instrumen politik utama yang digunakan para pengusaha kroni adalah dengan menguasai partai politik, memanfaatkan kesulitan pendanaan partai politik, dan pada akhirnya menguasai mayoritas kursi DPR. Selain itu, sistem penegakan hukum dan birokrasi di Indonesia yang relatif korup dan bias terhadap uang juga melancarkan budaya kapitalisme kroni ini.

    Mungkin akan amat sulit untuk merealisasikan reformasi yang benar-benar berubah, terstruktur, dan tentunya menyelesaikan masalah puluhan tahun ini, karena campur tangan dan kekuatan para pejabat yang melanggengkannya juga masih sangat besar. Hampir sama dengan budaya money politics dan sebagainya di Indonesia, dibutuhkan kesadaran akan penanaman sistem paradigma meritokrasi untuk bisa perlahan-lahan lepas dari cengkraman kapitalisme kroni.

     

    Referensi

    Jurnal

    Su, Chenting & James E. Littlefield. 2001. “Entering Guanxi: A Business Ethical Dilemma in Mainland China?” Journal of Business Ethics, 33, 199–210.

    Ogle, George. 1990. “South Korea: Dissent Within the Economic Miracle.” International Labor Rights Education and Research Fund.

    Choong, Gary K. G. 2012. “Counter-Cultural Paradigmatic Leadership: Ethical Use of Power in Confucian.” Wipf and Stock Publishers.

    Hartati, Dewi. 2016. “Konfusionisme dalam Kebudayaan China Modern.” Paradigma: Jurnal Kajian Budaya.

     

    Internet

    https://www.indonesiana.id/read/76201/dalam-cengkeraman-kapitalis-kroni Diakses pada 13 Juli 2020, pukul 12.00 WIB.