Body Shaming dan Hak Untuk Terbebas Dari Rasa Terhina

    435

    Kata-kata berupa olokan atau ejekan terhadap bentuk tubuh seseorang merupakan hal yang dapat dengan mudah kita jumpai di Internet, terutama di media sosial. Berbagai ungkapan seperti “kok kamu gendut banget sih” atau “ih kamu agak iteman ya kulitnya sekarang” merupakan beberapa contoh bentuk ekspresi dari sekian banyak ungkapan body shaming yang tak jarang dapat kita temui di dunia maya

    Body shaming sendiri dapat didefinisikan sebagai tindakan mempermalukan seseorang dengan membuat komentar mengejek atau mencela bentuk atau bagian tubuh yang dimiliki oleh orang tersebut.

    Indonesia sendiri memiliki hukum yang melarang tindakan body shaming di media sosial. Sebagaimana yang diutarakan oleh Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya yang dikutip oleh CNN Indonesia, bahwa pelaku body shaming, apabila mengandung unsur penghinaan dan menjatuhkan martabat, dapat dijerat dengan Pasal 27 Ayat 3 Juncto Pasal 45 Ayat 3 UU ITE. Ancaman pidana bagi pelaku body shaming juga tidak main-main, yakni penjara paling lama selama empat tahun dan denda/atau denda paling banyak sebesar 750 juta rupiah. (cnnindonesia.com Rabu, 21/11/2018)

    Adapun bunyi Pasal 27 ayat 3 Juncto Pasal 45 ayat 3 UU ITE adalah, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

    Sehubungan dengan hal tersebut, beberapa hari ini, topik mengenai body shaming juga menjadi topik bahasan yang muncul baik di media sosial maupun beberapa kanal media massa seperti televisi. Beberapa public figure, seperti Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan designer kondang Ivan Gunawan, juga turut ikut terlibat dalam kampanye anti body shaming, yang disertai juga dengan peringatan ancaman pidana bagi pelakunya.

    Lantas, apakah body shaming merupakan sesuatu yang layak untuk dipidanakan?

    *****

    Diskursus mengenai body shaming bukan hanya sesuatu yang dibicarakan di tanah air, namun juga di belahan bumi bagian lainnya. Di berbagai negara, tak sedikit muncul berbagai gerakan anti body shaming, atau yang dikenal dengan nama body positivity, yang mengkampanyekan bahwa tidak ada satu konsep absolut mengenai kecantikan dan tubuh yang ideal. Tak jarang aktivis anti body shaming mengadvokasi penggunaan jalur legislasi untuk melarang tindakan tersebut.

    Aktivis Hollywood kondang pemenang Oscar Jennifer Lawrence misalnya, dalam wawancaranya dengan Barbara Walters pada tahun 2013 menyatakan bahwa ia ingin tindakan body shaming menjadi ilegal. Jennifer Lawrence, yang memerankan tokoh utama dalam serial film The Hunger Games, Katniss Everdeen, tak jarang menerima kritik pedas dari fans fanatik serial ciptaan Suzanne Collins tersebut, yang menyatakan ia memiliki postur tubuh yang “terlalu kuat” dan oleh karena itu tidak cocok untuk memerankan Everdeen.

    Kembali ke pertanyaan di atas, lantas apakah body shaming layak menjadi sesuatu yang ilegal?

    Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya saya coba mengulang kembali definisi dari istilah body shaming yang saya gunakan dalam artikel ini. Body shaming merupakan tindakan memberi komentar terhadap tubuh seseorang dengan maksud menghina atau mempermalukan orang tersebut. Inilah definisi body shaming yang saya gunakan dalam artikel ini.

    Body shaming bukanlah ancaman langsung untuk menyerang fisik seseorang, atau ajakan untuk melukai tubuh individu lain. Body shaming bukanlah berbentuk ungkapan seperti “ayo kita bunuh orang-orang gendut!” atau “ayo kita habisi orang-orang pendek!” Kata-kata tersebut merupakan bentuk ancaman langsung dan tidak dapat disejajarkan dengan ungkapan yang berbentuk komentar atau opini.

    Dalam masyarakat bebas, secara legal, tidak boleh ada sesuatupun yang terbebas dari komentar atau opini, apapun hal tersebut, baik institusi negara, ajaran agama, gagasan filsafat atau politik, teori-teori sains, produk budaya seperti pakaian dan tarian tradisional, norma sosial, karya seni atau sastra, tokoh masyarakat, hingga tubuh dan kepribadian seseorang.

    Kebebasan mengeluarkan pendapat terhadap hal apapun dan dalam format apapun merupakan bentuk kebebasan berbicara dan berekspresi yang paling dasar, yang merupakan fondasi dari berbagai bentuk kebebasan berbicara dan berekspresi lainnya, dan wajib dijunjung tinggi dan dilindungi oleh hukum.

    Kebebasan berbicara dan berekspresi dan resiko menghina orang lain merupakan dua sisi mata koin yang berbeda dan tidak bisa dipisahkan, karena setiap individu memiliki pemikiran, gagasan, dan cara pandang terhadap dunia yang berbeda-beda.

    Setiap kali kita berupaya menwujudkan hasil buah pikiran kita melalui kata-kata, atau bentuk ekspresi lainnya, akan selalu ada resiko bahwa melalui hasil dari pikiran kita tersebut akan membuat orang lain yang berbeda pandangan dengan diri kita merasa terhina. Terlebih lagi, bila ekspresi yang kita keluarkan tersebut merupakan bentuk kritik atau komentar negatif terhadap suatu hal yang menurut pihak-pihak tertentu merupakan sesuatu yang sakral, suci, serta imun cela dan kesalahan, seperti ajaran agama bagi kalangan fundamentalis, ideologi negara bagi kaum nasionalis, gagasan kesetaraan gender bagi kelompok feminis, serta ide mengenai ada lebih dari satu konsep mengenai bentuk tubuh yang ideal bagi aktivis body positivity.

    Tidak ada seseorang pun yang memiliki “hak” legal untuk tidak dihina, karena perwujudan atas gagasan tersebut niscaya adalah dengan mengebiri hak kebebasan berbicara dan berekspresi orang lain. Selain itu, pertanyaan besar lain yang harus dijawab adalah, siapakah yang memiliki otoritas untuk menentukan apakah yang disebut dengan penghinaan dan yang tidak? Apakah kita benar-benar memiliki kepercayaan yang sangat tinggi kepada pemerintah, sehingga kita bisa dengan sukarela memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menentukan komentar serta opini apa yang boleh kita tuliskan dan ekspresikan dan yang tidak?

    Rasa terhina merupakan sesuatu yang sangat subjektif, sangat multitafsir dan setiap individu memiliki standard mereka masing-masing mengenai hal tersebut. Akan sangat berbahaya apabila aturan hukum, terlebih lagi pasal-pasal dalam hukum pidana, mengatur hal-hal yang bersifat subjektif karena hal tersebut berpotensi besar akan menjadi pasal karet yang akan dimanfaatkan oleh sebagian kelompok untuk mempersekusi orang-orang yang tidak mereka sukai.

    Sudah terlalu banyak orang-orang di negeri ini yang menjadi korban hukum pidana yang mengatasnamakan penghinaan, penodaan, serta pencemaran nama baik. Prita Mulyasari, Baiq Nuril Makmun, serta yang terbaru adalah ketua umum salah satu partai politik di Indonesia, Grace Natalie, merupakan sebagian kecil dari korban-korban berbagai pasal karet yang berlaku di Indonesia.

    Namun, kembali ke persoalan body shaming, bukan berarti lantas saya mendukung penuh seseorang mempermalukan orang lain berdasarkan bentuk tubuh mereka. Membela hak seseorang untuk berbicara dan berekspresi bukan berarti lantas saya juga harus menyetujui bentuk ekspresi yang dituliskan atau diungkapkan oleh orang tersebut.

    Selain itu, memiliki hak kebebasan berbicara dan berekspresi bukan berarti lantas kita memiliki kewajiban untuk menggunakan hak tersebut dengan cara menghina orang lain atau mengeluarkan komentar yang mempermalukan individu tertentu. Mempermalukan seseorang berdasarkan bentuk tubuh mereka tentu berpotensi besar akan memiliki dampak negatif terhadap orang tersebut, seperti menurunnya tingkat kepercayaan diri.

    Saya pribadi menolak keras tindakan body shaming dan mendukung apabila ada pihak-pihak yang berupaya melawan praktik body shaming melalui kampanye untuk meningkatkan kesadaran publik akan hal tersebut, baik melalui edukasi maupun karya seni dan sastra.

    Selain itu, penolakan saya terhadap “hak” untuk terbebas dari rasa terhina bukan berarti lantas saya juga menolak hak orang lain untuk merasa terhina. Hal tersebut merupakan dua hal yang sangat berbeda.

    Tidak ada siapapun yang memiliki hak untuk memaksa orang lain agar mereka tidak merasa terhina oleh suatu gagasan, pemikiran, opini, atau komentar. Anda, saya, dan setiap individu memiliki hak untuk merasa terhina dan mengekspresikan rasa keterhinaan tersebut, baik dalam bentuk tulisan atau karya lainnya, dan hal tersebut wajib untuk dilindungi sebagai bagian dari kebebasan berbicara dan berekspresi.

    Seorang yang memiliki keyakinan agama yanng sangat kuat dan merasa terhina oleh suatu karya tulis yang dianggap melecehkan agamanya, memiliki hak untuk mengekspresikan rasa keterhinaannya melalui tulisan yang menyanggah atau mengkritik karya tulis tersebut. Seorang aktivis hak perempuan yang menghabiskan sebagian besar hidupnya memperjuangkan kesetaraan gender, dan ia merasa terhina oleh suatu artikel yang menyatakan bahwa perempuan memiliki kodrat dan derajat yang lebih rendah daripada laki-kali, memiliki hak untuk mengekspresikan rasa keterhinaannya dengan menulis artikel bantahan.

    Sama halnya dengan seorang pengguna media sosial yang merasa terhina karena menerima komentar negatif, ejekan, atau olok-olok terhadap bentuk atau bagian tubuh yang dimilikinya. Dia juga tetap memiliki hak untuk mengekspresikan rasa keterhinaannya dengan berbagai cara, seperti mencibir balik orang yang menghinanya, dengan menyebarkan tulisan hinaan yang dia terima di media sosial dengan tujuan untuk mempermalukan orang yang telah mengolok-olok tubuhnya, atau dengan melakukan kampanye di dunia maya demi meningkatkan kesadaran publik akan dampak dari body shaming. Semua hal tersebut juga merupakan bagian dari kebebasan berbicara dan berekspresi.

    Satu-satunya hal yang saya permasalahkan adalah ketika negara menjadikan perasaan terhina seorang individu atau sebagian kelompok, yang bersifat sangat subjektif, sebagai justifikasi untuk menentukan hal-hal apa yang boleh dikomentari serta opini apa yang boleh dituliskan oleh warganya. Ketika sebagian pihak tertentu, menggunakan alat negara untuk memaksakan keinginan subjektifnya untuk tidak merasa tersinggung dan terhina kepada masyarakat dengan cara merampas salah satu hak paling fundamental yang dimiliki oleh setiap individu, yakni hak kebebasan berbicara dan berekspresi.

    Kebebasan berbicara dan bereskpresi ada bukan dengan tujuan agar kita dapat membicarakan dan mendiskusikan topik-topik umum yang tidak sensitif dan telah disepakati oleh sebagian besar kalangan. Namun, kebebasan berbicara dan berekspresi hadir supaya kita dapat mengekspresikan dan memperdebatkan hal-hal serta isu-isu yang dianggap tabu dan kontroversial yang ditolak atau bahkan dibenci oleh mayoritas masyarakat.