Bisakah Pancasila Melindungi Kebebasan?

    381

    Pemerintah menunjukkan kecemasan yang kuat akan isu intoleransi beragama dan keberagaman. Presiden bahkan mengutarakan kata “gebuk” kepada mereka yang dianggap bertentangan dengan ideologi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Presiden juga kemudian meresmikan Unit Kerja Pemantapan Ideologi Pancasila (UKP-PIP), sebagai upaya mencegah potensi disintegrasi dalam bernegara. Pancasila konon kembali akan dimantapkan lewat kekuatan unit kerja ini.

    Sebagian intelektual merasa ragu terhadap upaya pemerintah melakukan kembali penekanan Pancasila ini. Jangan-jangan, kata orang-orang yang ragu ini, Indonesia akan dibawa kembali seperti di jaman Orde Baru: menggunakan Pancasila sebagai alat menghukum oposisi.

    Di sini saya coba mempertimbangkan fenomena ini secara etis (yaitu perihal baik dan buruk), Pancasila dijadikan alat oleh pemerintah sebagai “ideologi kebenaran tunggal”, yang dalam dirinya termuat ideologi atas nama kebenaran tunggal itu sendiri. Pancasila yang pada dasarnya berisi anjuran-anjuran praktis diubah menjadi kebenaran teoritis (benar-salah).

    Apa akibatnya? Yang ada adalah tidak adanya kompromi. Logika 1+1 hanya bisa menghasilkan tunggal, benar atau salah. Alternatif lain, tidaklah pancasilais atau kurang pancasialis. “Gebuk” akan digunakan sebagai alat menghukum yang salah, dan penyeragaman atas bentuk-bentuk lain. Argumen ekonomi pasar – yang mungkin sering disalah artikan tidak sesuai dengan Pasal 5 Pancasila dan UUD 1945, tidka bisa diterima.

    Dengan pemerintah mengukuhkan tafsir Pancasila lewat legitimasi ideology (lewat kekuasaan), maka bolehkah saya mengambil tafsir dari bawah? (sebagai individu dan warga negara). Apakah kekuasaan mengizinkan ada tafsiran lain tentang Pancasila? Apakah misalnya, negara mengizinkan saya menafsirkan Pancasila sesuai dengan pasar bebas?

    Penting mengutip pernyataan Rocky Gerung dalam opininya di teropong (Pancasila bukan Panacea): “Pancasila itu sendiri bukan suatu ideologi yang koheren. Hermeneutiknya menyebar kemana-mana. Bahkan bisa paradoksal. Dengan begitu, kata Rocky Gerung, Pancasila harus membuka diri sebagai tempat bermukim bagi ideology apapun asalkan terbuka bagi kritik.” Pertanyaannya kemudian, apakah mungkin pasar bebas atau paham libertarianisme memiliki tempat di dalamnya?

    Bisa saja. Syaratnya, asalkan ideologi tidak dibuat oleh pemerintah menjadi ideologi kebenaran tunggal. Jika pemerintah membuatnya demikian, maka segala bentuk kebijakan pemerintah yang katanya selalu didasarkan pada jiwa Pancasila, termasuk model kebijakan ekonomi, pasti akan diklaim oleh mereka sesuai dengan Pancasila.  Kita sebagai warga negara harus membenarkan karena pembenaran absolut datang dari negara.

    Selain itu, kita juga mesti berdebat, misalnya tentang konsep keadilan sosial pada sila ke-5 supaya tidak diklaim oleh pemerintah sebagai (sepenuhnya) dalil distribusi pendapatan ala sosialisme/kolektivisme. Namun jika ini diklaim pemerintah sebagai kebenaran politis, maka sulit untuk menjangkau alternatif lain.

    Terlepas bahwa Pancasila adalah manifestasi dari nilai-nilai bangsa indonesia yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa, ia tetap merupakan sekumpulan ide-ide. Ada yang mengatakan Pancasila itu memiliki karakter sosialis, ada juga yang mengatakan liberal. Bahkan ada yang mengatakan Pancasila adalah keduanya. Tapi yang paling umum dikenal adalah, Pancasila sebagai landasan kehidupan bernegara dan berbudaya indonesia, yang mana bukan liberal, bukan juga sosialis-marxis.

    Tapi di mata kaum libertarian dan liberalisme klasik, berdasarkan prinsipnya, sulit memahami kombinasi seperti itu. Seseorang tidak mungkin bebas dan tidak bebas pada waktu bersamaan, demikian ungkap Bastiat. Sebab tak ada kebebasan jika kita berharap pada dua kekuatan itu sekaligus. Benar juga bahwa pancasila menjamin kebebasan kita dalam wilayah-wilayah tertentu, namun kita tak benar-benar bebas jika kita hanya bebas beragama tapi tak bebas dalam urusan ekonomi.

    Mengerikan jika karakter Pancasila – meminjam bahasa Rocky G, mengandung tafsir heurmenetik yang menyebar ke mana-mana – melegitimasi dirinya sebagai kebenaran absolut.Hal ini seperti dari gagasan yang diungkapkan oleh  Jean-Jacques Rousseau, menegenai kesucian dari apa yang ia sebut” kehendak yang benar” atau “general will”. Alih-alih selalu berurusan dengan hal-hal praktis, ia membuatnya menjadi persoalan teoritis yang absolut. Alhasil, kencenderungan ini bisa mengarah kepada totalitarisme.