Dengan dalih menjaga ideologi negara, Pancasila, DPR belakangan ini mulai merumuskan sebuah produk undang-undang (RUU) yang menjadi landasan hukum bagi Pancasila sebagai ideologi resmi negara. Tetapi, ketika wacana perumusan UU tersebut diketahui oleh masyarakat, justru masyarakat malah beramai-ramai memprotes dan menolaknya.
Bagi kelompok pro demokrasi dan kebebasan (khususnya saya pribadi), tentu saja jika RUU yang mengatur ideologi Pancasila disahkan menjadi Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (UU HIP) dampaknya akan sangat berbahaya. Indoktrinasi dan pengekangan berpikir bagi setiap warga negara akan kembali seperti era Orde Baru yang memonopoli tafsir Pancasila lewat doktrin Eka Prasetya Panca Karsa lewat Indoktrinasi P4.
Jika RUU itu disahkan, maka tidak ada lagi kebebasan untuk menghayati dan memahami filosofi Pancasila sesuai dengan pemahaman nurani masing-masing. Setiap orang harus tunduk pada indoktrinasi yang didiktekan oleh para politisi.
Dari suara-suara penolakan masyarakat terhadap pengesahan RUU HIP, salah satu poin yang dikritik orang-orang pada RUU HIP (yang mungkin jadi alasan utama), yaitu pada Bab 2 Pasal 7 ayat 2, yang menyebut kata “ketuhanan yang berkebudayaan.” Banyak yang memahami bahwa ketuhanan yang berkebudayaan ini berarti menggantikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan kata lain, RUU HIP berarti meletakkan konteks Tuhan hanya sebagai bagian dari budaya buatan manusia. Ini yang kemudian membuat orang-menganggap bahwa RUU HIP itu sekuler dan harus ditolak.
Tentu saya agak sedikit kecewa. Orang-orang lebih fokus menolak RUU HIP hanya karena mereka membaca “Ketuhanan Yang Berkebudayaan” dengan penafsiran yang dangkal. Mereka menolak hanya karena salah pemahaman bukan dengan dasar menjaga kebebasan dan demokrasi yang merupakan spirit reformasi.
Menelisik relasi Ketuhanan dan Budaya
Harus dipahami sebelumnya bahwa, kata “ketuhanan” dan “kebudayaan” adalah dua hal yang berbeda. Kata “Ketuhanan” juga berbeda dengan kata “Tuhan”. Jika imbuhan ke-an disatukan dengan Tuhan, maka disini artinya bukan lagi mengenai person Tuhan, melainkan imbuhan ke-an bisa merubah dari benda menjadi kata sifat. Misalnya, keibuan atau kesayangan.
Dengan demikian, imbuhan ke-an dalam ketuhanan melukiskan kata sifat. Jadi, ketuhanan disini artinya adalah sifat-sifat Tuhan bukan Tuhan itu sendiri. Karena itu sifat-sifat ketuhanan diejawantahkan dengan pengamalan jalan agama, sekte kebatinan, dan aliran kepercayaan.
Lalu, apa arti “kebudayaan”? Budaya menurut Zoetmulder, adalah pengembangan dari kata majemuk “budi-daya”. Budi itu sendiri artinya akal dan arti budaya berarti daya akal, sedangkan kebudayaan itu sendiri adalah hasil daripada daya akal tersebut (Zoetmulder, 1951).
Antropolog Koentjaraningrat memahami kebudayaan sebagai hasil dari karya cipta karsa dan rasa budaya manusia dalam membentuk suatu kemajuan komunitasnya. Teknologi, norma, ritual, tradisi adalah hasil dari produk budaya. Budaya itu yang mengiringi peradaban manusia. Dapat disimpulkan bahwa kebudayaan disini berarti nilai-nilai budaya manusia (Koentjaraningrat, 2013).
****
Perenungan manusia terhadap alam sekitarnya dan kekaguman mereka terhadap kekuatan alam yang begitu dahsyat dan hebat akhirnya mencapai kesimpulan bahwa pada dasarnya, alam semesta yang besar dan luar biasa ini pasti digerakkan oleh kekuatan gaib yang menjaga keteraturan dan kestabilan alam. Maka, manusia kemudian menyadari adanya sosok maha gaib dan maha tinggi, yaitu Tuhan. Tuhan adalah pencipta dan menjadi penyebab dari semesta, sehingga untuk menyenangkan Yang Maha Kuasa, manusia menyembahnya (Smith, 2004).
Hampir setiap peradaban besar di dunia ini mengakui adanya Tuhan sebagai Yang Maha Pencipta dan Maha Kuasa. Di setiap bangsa, manusia mendirikan agama dan mendeskripsikan Tuhan menurut perspektifnya. Ada bangsa yang melukiskan Tuhan sebagai seorang pria yang memiliki tangan yang banyak, sedang bangsa lain melukiskan Tuhan sebagai kaisar yang bertahta di langit. Bangsa lainnya, yaitu bangsa Israel dan Arab, mereka tidak melukiskan Tuhan mereka, namun mereka percaya bahwa Tuhan adalah penguasa jagad raya dan menjadi “Tuhan” hakiki bagi setiap bangsa-bangsa.
Di setiap bangsa, manusia menyembah Tuhan dengan cara komunitasnya masing-masing. Bangsa China menyembah Yang Maha Esa dengan adat dan budaya mereka. Begotu pula bangsa Yunani, bangsa India, dan orang-orang semitik atau keturunan Abraham (Ibrahim) yang mengamalkan agama dengan mengembangkan kebudayaan mereka sendiri.
Ada yang bersembahyang dengan menggunakan hio dan sesaji daging. Ada pula yang menyembah Tuhan dengan nyanyian tanpa dupa atau sesaji, pengorbanan hewan, menggunakan sarana api, dan lain sebagainya. Kesadaran kita pada Tuhan yang memberi ilham dan petunjuk pada kita, namun tidak menafikkan kebudayaan yang dikembangkan oleh manusia.
Agama dan budaya dalam keseharian manusia berpadu menciptakan tatanan sosial, adat, serta norma. Walau agama dipercaya bersumber dari wahyu ilahi yang bersifat transenden, namun agama dipraktikan oleh manusia. Manusia-manusia ini menciptakan sebuah budaya dan peradaban, karena itulah ketika agama diamalkan oleh manusia, maka ia akan berpadu dengan budaya manusia.
Dengan demikian, Ketuhanan Yang Berkebudayaan berarti manusia menyembah dan menghayati ketuhanan sesuai dengan budaya dan juga nilai-nilai kemanusiaan. Saya katakan, semua agama menyembah Tuhan dengan perangkat budaya, tidak bisa manusia menyembah Tuhan tanpa perangkat budaya manusia.
Contohnya di Arab, mereka shalat dengan kain sorban dan gamis. Kita mengetahui bahwa gamis dan sorban sudah digunakan dan dipakai oleh masyarakat pra-Islam. Di sini, sorban dan gamis yang menghiasi tubuh masyarakat Arab dalam beribadah adalah produk kebudayaan orang-orang Arab. Contoh lainnya, dalam kekristenan di Eropa, manusia menyembah Tuhan dengan melantunkan lagu pujian. Dari sini, alat-alat musik yang mengiringi atau pakaian jas yang dikenakan adalah produk dari budaya Barat (Eropa).
Kesimpulannya, kita menyembah Tuhan dengan produk-produk budaya manusia. Kita menghayati agama dengan menggunakan prangkat kebudayaan kita. Diakui atau tidak, semua atribut kebudayaan ada dalam agama yang kita amalkan. Tanpa disadari, mereka (orang yang nolak mencampurkan budaya dalam agama) telah beragama dengan kebudayaan mereka. Jadi, mengenai “Ketuhanan yang Berkebudayaan” tidak perlu dipersoalkan.
Perlu dicatat bahwa, “Ketuhanan Yang Berkebudayaan” bukan gagasan baru, melainkan gagasan founding father kita, yakni Sukarno. Beliau sendiri menjelaskan bahwa Ketuhanan Yang Berkebudayaan pada pidato 1 Juni 2020, di mana beliau berkata, “Hendaknya bertuhan secaraa kebudayaan, yakni tiada egoisme agama…Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? yaitu hormat menghormati satu sama lain” (Sukarno, 1964).
Referensi
Koentjaraningrat. 2013. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Smith, Huston. 2004. Agama-Agama Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Sukarno. 1964. Tjamkan Pantja Sila!: Pantja Sila Dasar Falsafah Negara. Jakarta: Pertjetakan Negara.
Zoetmulder, 1951. Cultuur, Oost en West. Amsterdam: C.P.J. Van Der Peet.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com