Berita Hoaks, Ujaran Kebencian, dan Regulasi Terhadap Media Sosial

    601

    Regulasi adalah salah satu cara yang digunakan untuk mengendalikan masyarakat melalui serangkaian aturan tertentu. Regulasi ditegakkan oleh badan pengatur yang diberi mandat untuk melaksanakan ketentuan undang-undang.

    Pemerintah sekarang sendiri memfokuskan regulasi pada dua tipe, yaitu regulasi sosial dan regulasi ekonomi. Regulasi sosial dimaksudkan untuk membatasi perilaku yang secara langsung mengancam kesehatan publik, keselamatan, kesejahteraan masyarakat, kontrol lingkungan, restriksi labelling, dan advertisement yang ditetapkan oleh pemerintah untuk mencegah terjadinya anomi di masyarakat. Sedangkan regulasi ekonomi didefinisikan sebagai bentuk regulasi pemerintah seperti menetapkan harga atau kondisi saat masuknya perusahaan ke suatu industri.

    Setelah maraknya kasus artis Korea papan atas, Sulli eks F(X), yang bunuh diri akibat depresi ditekan dengan berbagai komentar jahat dan kritik bertubi-tubi yang datang dari netizen, anggota Majelis Nasional Korea Selatan memprakarsai Rancangan Undang-undang (RUU) yang diberi nama “Sulli Law.” Salah satunya adalah ketat terhadap komentar jahat dari pengguna anonim.

    Selain itu, untuk memerangi konten berbahaya, Inggris baru-baru ini mengusulkan Undang-undang Keamanan Online yang akan memberikan sanksi bagi perusahaan media sosial dan perusahaan teknologi jika gagal melindungi penggunanya dari konten berbahaya. Dalam sebuah makalah kebijakan yang banyak mengekor media Inggris, pemerintah mengatakan akan mempertimbangkan penggunaan denda, memblokir akses ke situs web dan memaksa tanggung jawab manajemen perusahaan teknologi bila ada keliru (Mastel.id/20/02/18).

    Kritik terhadap ujaran kebencian, ekstremisme, berita palsu, dan konten lainnya yang melanggar standar komunitas telah membuat layanan media sosial memperkuat kebijakaannya dengan menambah pegawai dan mengatur ulang kinerja algoritma. Lantas, apa moderasi media sosial dengan cara seperti itu dapat dikatakan ampuh atau justru mengikis kebebasan individu dalam mengakses dunia maya?

    Dalam menjalani regulasi sosial dan ekonomi, tentu pemerintah perlu biaya. Begitupun dengan regulasi media sosial. Biaya regulasi berlaku dalam banyak cara. Salah satu aspek adalah berapa biaya yang dihabiskan individu atau perusahaan untuk mematuhi regulasi pemerintah dalam bentuk sertifikasi, uji kompetensi, dan lain-lain.

    Jauh lebih sulit untuk diukur adalah apa yang ‘tidak terjadi’ sebagai akibat dari aturan yang sewenang-wenang dan berbiaya mahal. Mulai dari komoditas yang tidak terjual, lapangan kerja yang tidak jadi tercipta, inovasi yang tidak jadi terwujud, perusahaan yang tidak jadi mulai, dan masih banyak lagi.

    Dengan sistem regulasi yang rumit dan biaya yang mahal, akan banyak wirausahawan yang malas untuk mengimplementasikan idenya ke dalam suatu hal yang nyata, pekerja yang enggan mengajukan tawaran kerja karena lamanya proses mendapat lisensi pekerjaan, dan perusahaan serta pelaku bisnis yang mengalami banyak kerugian karena eksekusi dari regulasi tersebut tidak sesederhana itu.

    Hal-hal tersebut akan berdampak buruk pada keberlangsungan kompetisi di pasar. Bagi pemerintah sendiri, moderasi terhadap media sosial ini bisa dianggap sebagai ajang untuk propaganda terselubung mereka dan ekstremisme. Bila ada yang melanggar ketentuan konten, perusahaan media sosial langsung kena sasarannya. Padahal, menurut saya perusahaan media sosial seharusnya tidak bertanggung jawab atas konten semacam itu.

    Perusahaan media sosial bertugas sebagai tempat penyedia layanan bagi orang-orang yang mengakses akun privasi mereka untuk berbagi informasi, video, berita, foto, dan lain-lain. Untuk konten-konten yang dibagikan dalam media sosial mempunyai hak cipta tersendiri yang merujuk pada si pembuat konten.

    Masalah hoaks, berita senonoh, dan kritik terhadap pemerintah (seperti majalah Tempo kemarin) menurut saya tidak cocok apabila diselesaikan dengan penambahan regulasi yang malah makin mempersulit kinerja perusahaan media sosial dan mengundang nafsu untuk berbuat inkonstitusional, contohnya saja sudah ada VPN yang dapat mengakses situs terlarang.

    Perbanyak edukasi dan literasi berita umum, terutama politik, yang kerap dijadikan bahan gorengan dalam media sosial agar terhindar dari hoaks. Selain itu, melalukan verifikasi mendalam terhadap berita yang dianggap dapat menggiring opini juga sangat penting. Intinya, penyuluhan bagaimana cara membentengi diri dari berita palsu itu dibutuhkan bagi masyarakat.

    Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa deregulasi dalam dunia media sosial dibutuhkan untuk meningkatkan bekal kreativitas anak muda dalam menghadapi tantangan globalisasi, menaikkan kompetisi yang sehat, menciptakan batasan longgar yang memudahkan segala ide masuk dengan bebas dan sukarela, serta memperbanyak pilihan inovasi.

     

    Referensi:

    Regulasi untuk Media Sosial, Perlukah? Atau Ada Cara Lain?