Berantas Korupsi, Liberalisasi Pengadaan Barang-Jasa

    485

    Pengadaan barang/jasa pemerintah memainkan peranan besar bukan hanya sebagai penggerak sektor ekonomi, namun juga berdampak dalam pencapaian kinerja organisasi. Tanpa pengadaan barang/jasa pemerintah yang kredibel mustahil penyelenggaraan tugas pemerintah akan berjalan lancar dan mencapai tujuan. Pengadaan barang/jasa pemerintah bersumber dari anggaran belanja pemerintah pusat dan daerah, dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Tulisan ini berdasarkan pengamatan langsung selama saya bekerja sebagai Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP).

    Sebagai stimulus, besaran nilai pengadaan barang sangat diharapkan dapat mendorong peningkatan Gross Domestic Product (GDP). Meskipun besaran GDP cenderung menurun beberapa tahun belakangan ini khususnya mulai tahun 2012, belanja pemerintah cenderung meningkat dan tetap memegang peranan besar. Dibandingkan dengan besaran belanja pemerintah pada tahun 2015 yang mencapai Rp.2.039,5 triliun, GDP Indonesia jika dikonversikan dengan menggunakan asumsi APBN, maka besarnya mencapai lebih dari Rp.10.250 triliun. Proporsi belanja pemerintah mendekati besaran 20% dibandingkan GDP berdasarkan data tersebut.

    Saat ini Sumber Pendanaan Pengadaan barang/jasa pemerintah berasal dari APBN dan Pinjaman/Hibah Luar Negeri (PHLN). Pengadaan barang/jasa pemerintah dari APBN harus mengikuti ketentuan Perpres 54/2010 dan Perubahannya yang artinya terdapat hambatan bagi penyedia asing untuk mengikuti tender. Sedangkan pengadaan yang sumber dananya berasal dari PHLN tidak mengikuti ketentuan Perpes 54/2010 dan Perubahannya, sehingga penyedia asing dapat mengikuti tender.

    Harus diakui bahwa pemberi pinjaman seperti World Bank maupun JICA (Jepang) memiliki kepentingannya masing-masing. Seperti JICA yang memberikan pinjaman untuk menjalankan proyek-proyek infrastruktur di Indonesia, JICA sendiri memiliki kepentingan dalam proyek tersebut.

    Seperti proyek MRT yang menggunakan penyedia jasa konstruksi dan barang-barang dari Jepang, karena proyek ini membutuhkan spesifikasi dengan keahlian yang rumit. Contohnya, mesin untuk mengebor tanah menggunakan teknologi Earth Pressure Balance (EPB) pertama di Indonesia yang diproduksi oleh perusahaan Jepang bernama JTSC (Japan Tunnel Systems Corporation).

    Pinjaman dari Jepang berasal dari Official Development Assistance (ODA), yaitu pinjaman jangka panjang berbunga rendah sebanyak 140 miliar yen. Sekadar informasi, selama ini Jepang adalah mitra utama Indonesia dalam kerja sama perdagangan dan investasi. Dibidang perdagangan, nilai perdagangan Jepang dan Indonesia tahun 2012 sebesar 52,9 miliar dolar AS. Sedangkan di bidang investasi, tahun 2012 Jepang merupakan investor terbesar ke-2 dengan nilai realisasi investasi sebesar 2,45 miliar dolar AS.

    Hasil proyek dari PHLN tersebut dengan bantuan penyedia jasa konstruksi dari Jepang terbukti sangat bagus dalam penyelesaian proyek. Proyek ini tentu saja melibatkan kontraktor dalam negeri seperti pada pengelolaan mesin bor pertama yang dijalankan melalui Joint Operation antara Joint Venture dari Shimizu-Obayashi Wijaya Karya-Jaya Konstruksi (SOW). Dengan adanya joint operation tersebut secara tidak langsung transfer teknologi dapat terjadi.

    Melihat contoh proyek MRT di atas ,maka sesungguhnya jika ingin proyek infrastruktur berjalan lancar gunakanlah penyedia yang memiliki kompetensi tanpa perlu melihat adanya unsur asing didalamnya. Perpres 54/2010 dan Perubahannya sudah seharusnya dirubah dengan memperbolehkan keterlibatan penyedia asing dan tidak memberikan hambatan-hambatan yang hanya mengurangi efisiensi.

    Dalam Perpres 54/2010 dan Perubahanya terdapat proteksi yang cenderung inefisien dan bertentangan dengan prinsip pengadaan menghasilkan value for money . Bentuk proteksi tersebut antara lain memberikan preferensi kepada penyedia dalam negeri apabila ada saingan penyedia asing dalam tender, adanya keharusan transfer teknologi, dan lain sebagainya.

    Argumen yang melawan liberalisasi pengadaan barang-jasa pemerintah (government procurement-GP) berasal dari argumen-argumen konservatif seperti industri dalam negeri belum siap dan hanya 0,002% dari keseluruhan industri nasional yang mampu untuk bersaing.  Tentu saja argumen kesiapan ini tidak akan pernah selesai selama Pemerintah sendiri belum membuka pasar GP nya. Faktanya Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yang menggunakan penyedia asing seringkali dilaksanakan seperti pada proyek MRT di atas, atau proyek-proyek lain yang sumber dananya berasal dari PHLN.

    Saat ini posisi Indonesia yang sedang mengikuti perundingan Regional Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) seringkali memungkinkan dibukanya pasar GP. Seperti dalam RCEPA ,terdapat chapter terkait GP. Regional Comprehensive Economic Partnership, disebut-sebut sebagai lawan terbesar Transpacific Partnership (TPP) karena berisikan 6 Negara besar dan ASEAN. Kita tahu Amerika Serikat sudah menarik diri dari TPP sehingga sebagai blok perdagangan tidak lagi menjanjikan. Posisi Indonesia dalam bernegosiasi seringkali diharuskan untuk membuka GP, seperti pada saat heboh-hebohnya TPP terdapat chapter terkait GP.

    Di WTO , Indonesia belum meratifikasi Government Procurement Agreement. Keengganan ini merupakan ciri khas negara yang mengadopsi State Capitalism, dimana negara terkesan protektif dan takut terhadap kompetisi. Kompetisi merupakan syarat kondisi untuk membuat sebuah pasar yang efisien. Dengan pasar yang efisien maka harga barang dan jasa akan semakin murah.

    Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah identik dengan korupsi. Hampir 80% korupsi berkaitan dengan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Korupsi pengadaan yang paling popular saat  ini yaitu proyek E-KTP dengan kerugian negara sebesar 2 Triliun Rupiah. Masih banyak proyek pemerintah lainnya yang pada akhirnya berujung pada korupsi. Liberalisasi pengadaan pemerintah akan meminimalisir potensi korupsi tersebut. Transparansi dalam pengadaan menjadi lebih optimal karena negara lain yang mengikuti GPA-WTO juga ikut mengawasi pengadaan di Indonesia.

    Korupsi sudah seharusnya diberantas dengan cara-cara yang extraordinary karena korupsi sendiri merupakan extraordinary crime. Bagi saya, liberalisasi Pengadaan Pemerintah mampu menjawab hal tersebut. Efisiensi, Transparansi serta Akuntabilitas sebuah proyek akan menjadi lebih optimal. Kita tidak perlu lagi melihat berita miris persengkokolan para cukong dengan DPR , atau cukong dengan PNS lagi.

    Praktek kapitalisme kroni harus kita lawan dengan sebuah pasar bebas yang transparan dan efisien. Sudah saatnya kita kembalikan demokrasi ekonomi untuk menciptakan keadilan yang sebesar-besarnya bagi rakyat  Indonesia . Melalui pasar bebas yang demokratis , harga barang akan menjadi lebih murah , jasa konsultan juga semakin murah, sehingga negara tidak perlu menderita kerugian struktrural dari sistem yang bobrok.

    Praktek pengadaan yang bobrok tentu saja inkonstitusional dengan Pasal 33 UUD NRI 1945, dimana perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip efisiensi berkeadilan. Aturan pengadaan pemerintah saat ini sudah cukup bagus, namun praktek pengadaan yang tidak transparan dan akuntabel selalu menjadi masalah utama didalam pengadaan.

    Untuk mewujudkan pengadaan bebas korupsi, diperlukan sebuah kondisi pasar bebas yang tidak diskriminastif. Praktek non-diskriminatif ini nantinya akan membuat harga barang dan jasa menjadi semakin murah, sehingga pemerintah dapat mengoptimalkan pembangunan.