Jerman saat ini terkenal sebagai negara maju dan moderen. Kemajuan ilmu pengetahuan, kebudayaan, ekonomi dan industri, membuat Jerman menjadi negara impian bagi para pelajar atau pelancong yang ingin melihat romantisme Eropa. Namun, dibalik gedung-gedung dan kota yang indah, Jerman dahulu pernah mengalami musibah bencana yang maha dahsyat, dimana seluruh kemiskinan, kesedihan, kehancuran,kemelaratan dan kelaparan, menjadi hal yang biasa dialami rakyat Jerman.
Bencana itu adalah bencana Perang Dunia Kedua yang telah memporak-porandakan Jerman dan membuat rakyat Jerman masuk kedalam jurang neraka selama 10 tahun. Selama peperangan berlangsung, Jerman harus mengalami pil pahit, mereka kalah dari sekutu yang dahulu mereka remehkan dan harus rela kehilangan segalanya, bahkan kehilangan jutaan rakyatnya akibat perang.
Perang Dunia Kedua tidak semestinya terjadi dan musibah kehancuran Jerman bisa dihindari jika seyogyanya rakyat Jerman bisa berpegang pada akal sehatnya dan tidak termakan oleh propaganda omong kosong kelompok radikal ekstrim fasisme. Kelompok radikal Jerman memdeklarasikan bahwa kelompoknya membawa ideologi kemenangan bagi Jerman.
Kelompok radikal itu tak lain dan tak bukan adalah NAZI yaitu kelompok fasis yang terkenal sangat ultranasionalistik, rasis, dan fanatik terhadap kelompoknya. Pasca kekalahan Jerman diperang dunia pertama, Jerman mengalami “kematian akal sehat”, dimana ketidakstabilan politik dan krisis ekonomi telah merusak kecerdasan kolektif rakyat.
Nazisme adalah kelompok yang mendasarkan pahamnya pada kekuatan “otot”, fanatisme kelompok dan ras, mereka menggunakan kekerasan sebagai jalan untuk mencapai kekuasaan. Lewat pidato yang memukau, Hitler berhasil membius rakyat Jerman dengan janji-janji manis bahwa hanya Nazi-lah yang mampu untuk membuat Jerman menjadi bangsa yang besar.
Setelah Hitler mendapat jabatan sebagai Kanselir dan Nazi (secara curang) mendapat suara terbanyak pada tahun 1933. Ditangan Hitler dan kelompok radikal Nazi, Jerman diubah menjadi negara otoriter, tidak ada demokrasi, kebebasan berpikir dilarang, kebebasan ilmiah terbelenggu, sikap toleransi dan kasih sayang dianggap sebagai moralitas budak, dan hanya Hitler dan Nazi-lah yang memiliki otoritas untuk menentukan etika, moralitas, dan berpikir rakyat Jerman.
Selain di Jerman, Italia terjangkit “penyakit” serupa. Kelompok Fasis yang dipimpin oleh Mussolini juga menebarkan keresahan dan ancaman di Italia. Mereka pada awalnya adalah kelompok serikat buruh italia. Karena perekonomian yang kacau pasca perang dan rakyat panik karena kelaparan, maka muncullah Mussolini yang memobilisir kelompok buruh dan para veteran perang.
Mussolini merubah para buruh menjadi preman yang siap tempur. Sikap kaum fasis yang menebar teror, kekacauan dan mengancam ketertiban di masyarakat membuat Kaisar Vittorio Emanuele III terpaksa memberikan kursi pemimpin (Perdana Menteri) kepada Mussolini. Akhirnya Hitler dan Mussolini berduet menjadi diktator yang menyulap rakyat mereka menjadi mesin pembunuh dan menjadikan Eropa dan Afrika sebagai medan eksperimen biadab mereka.
Kekerasan rasial, teror, kebiadaban selalu mewarnai kelompok fasis ini. Kelompok fasis adalah mereka mereka yang ingin berkuasa lewat kekerasan dan melakukan pembenaran terhadap tindakan radikal mereka dengan dalih pembaruan dan kemajuan. Mewabahnya kemiskinan dan krisis kepemimpinan, membuat fasisme mendapat lahan subur untuk berkembang biak. Melalui propaganda dan omong kosong yang muluk, banyak rakyat Jerman dan Italia (yang sudah dapat berpikir rasional) jatuh hati dan menaruh harapan mereka kepada kelompok radikal ini. Kaum Intelektual atau golongan terpelajar yang seharusnya berkewajiban mencerdaskan bangsanya, justru malah “menjual” otak mereka untuk kaum radikal.
Bak virus yang menyebar dan menjadi wabah mematikan, fasisme telah menyulap negara-negara maju seperti Jerman, Italia dan Jepang seolah menjadi negara mati. Kematian, kemiskinan, kelaparan dan penyakit menjangkiti rakyat yang kalah perang. Rumah-rumah hancur, pabrik tutup, pertanian terbengkalai, dan mereka hanya bisa berdoa.
Fasisme dan Nazisme telah menjatuhkan korban jiwa dan kerugian yang sangat besar dalam sejarah manusia. Akibat ulah kelompok radikal ini, rakyat harus menebus dengan jutaan nyawa dan kerugian finansial yang tak terhitung lagi jumlahnya. Seandainya perang dunia tak pernah terjadi dan kelompok fasis radikal tidak pernah ada, mungkin kemajuan tekhnologi dan perdamaian tetap kita rasakan sampai saat ini.
Dari apa yang dilakukan oleh kaum fasisme radikal, kita mendapat pelajaran bahwa kemakmuran dan kesejahteraan tidak bisa diwujudkan oleh kelompok radikal yang fanatik. Kaum Totaliterian, Nazisme, fasisme, dan ISIS tidak akan pernah benar-benar membawa perdamaian, persaudaraan, dan kemakmuran, apa yang mereka ciptakan adalah kehancuran dan omong kosong belaka.
Bagaimana dengan kita?
“Seorang fasis adalah orang yang bernafsu untuk mendapatkan uang atau kekuasaan dikombinasikan dengan intoleransi terhadap orang-orang yang berbeda pendapat, ras, kelas, agama, budaya, wilayah, atau negara lain. Dalam menyukseskan ambisinya dia menggunakan tipu daya atau kekerasan untuk mencapai tujuannya”
Ucapan yang berasal dari Henry Wallace (mantan Wakil Presiden USA) diatas, menjadi patokan bagi kita untuk mengenal apa itu fasisme dan sifat-sifatnya. Hasrat buta untuk berkuasa akan mendorong seseorang menjadi intoleran, fanatik, rasis, radikal, serta kriminal, dan inilah ciri-ciri seorang fasis menurut Wallance.
Memanasnya iklim politik di Indonesia yang menghadirkan dua kubu koalisi politik harus ditanggapi secara bijaksana dan rasional. Usaha untuk mencapai kekuasaan negara tidak boleh mengorbankan demokrasi dan persatuan. Sikap-sikap anarkis, rasis, dan ekstrim untuk mendukung salah satu paslon harus dihindari kedua belah pihak, sebab tindakan tersebut menyimpang dari semangat demokrasi kita.
Kita perlu kesadaran untuk mencegah agar perpolitikan Indonesia saat ini tidak melahirkan kelompok-kelompok radikal yang mengarah pada fasisme. Kampanye anti asing, aseng, non-pribumi, serta tendensi mayoritas yang dihembuskan oleh kelompok atau ormas tertentu demi membela salah satu pasangan Calon Presiden harus dihentikan.
Penggunaan isu SARA dalam berpolitik merupakan salah satu ciri dari kelompok fasis dan Nazisme yang bisa memecah belah persatuan NKRI. Dan munculnya isu SARA harus dihindari sama sekali agar tidak menimbulkan gejolak sosial yang mencederai pesta demokrasi bangsa kita. Isu SARA seperti Pri dan Non pribumi, sukuisme yang kemudian diikuti oleh merebaknya kekerasan bermotif agama justru mengancam eksistensi bangsa kita yang menjunjung falsafah Bhinneka Tunggal Ika.
Kita harus insyaf bahwa nasionalisme dan paham kebangsaan Indonesia TIDAK BERDIRI diatas tendensi yang pro kelompok mayoritas, agama, atau ras tertentu. Nasionalisme Indonesia berpijak pada persatuan manusia manusia yang bernaung pada sangsaka Merah Putih dan menjadikan Indonesia sebagai Tanah air mereka.
Fenomena kemunculan kelompok-kelompok garis keras di Indonesia yang membawa isu keagamaan dan tendensi rasial, merupakan gejala bahwa watak fasis dan Nazis mulai muncul di negeri kita. Kelompok tersebut biasanya menghembuskan isu SARA dan menjejalkan retorika perubahan, kemajuan, dan kemakmuran kepada rakyat agar mereka dapat meraih kekuasan.
Untuk menangkis setiap janji manis kelompok radikal tersebut, rakyat harus menggunakan akal sehat. Apakah benar kemakmuran dan kemajuan Indonesia akan lahir dari kelompok totaliter? Apakah benar perdamaian dan keharmonisan antar agama bisa tercipta dari kelompok yang anti persatuan, memberangus kebebasan beragama, pluralisme, dan juga hak-hak minoritas?
Sejarah Jerman telah memberi pelajaran berharga, bahwa kelompok Nazi yang menjunjung sikap fasis dan totaliter akhirnya membawa Jerman ke tepi jurang kehancuran. Propaganda kemakmuran, kemajuan, kesejahteraan dan perdamaian yang dibawa oleh kelompok radikal tersebut justru telah menciptakan kesengsaraan, kemiskinan, kesedihan, dan tentu saja kematian jutaan rakyat Jerman.
Memberi ruang bagi kelompok fasisme radikal untuk hidup dan berkembang dalam kancah perpolitikan bangsa adalah kesalahan terbesar dan distorsi dalam berdemokrasi di Indonesia! Dan jika kita terus berdiam diri serta memang menginginkan munculnya diktator fasis yang diharap bisa membawa perubahan positif, sama saja seperti menyerahkan tubuh dan negara untuk hancur secara konyol.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com