Benang Merah Antara Narasi Populisme dengan Erosi Demokrasi

    147
    Sumber gambar: https://fee.org/articles/how-democracy-is-undermining-the-constitution-and-civil-liberties/

    Mengenai konsep demokrasi, Adam (2004) mengidentifikasi bagaimana demokrasi lebih dimungkinkan untuk muncul ketika negara-negara mengalami perkembangan ekonomi, tetapi akan lebih mungkin bertahan hidup di negara-negara maju. Di dalam konteks negara berkembang, demokrasi kerap menjumpai tantangannya sendiri. Pluralisme, salah satu konsep yang tercakup dalam demokrasi, menjadi tantangan terutama bagi integrasi demokrasi Indonesia. Ada banyak sekali wacana tentang kerentanan Indonesia terhadap identitas berbasis agama; konflik antar Islam-Kristen, kerusuhan terhadap etnis Tionghoa pada tahun 1998, gerakan radikal yang bernuansa agama, dan lain sebagainya.

    Di tengah keterpurukan narasi demokrasi, populisme hadir sebagai ‘obat’. Seorang pemimpin populis dapat mengajukan banding atas frustrasi seperti itu, dengan menawarkan satu solusi yang cocok untuk semua pihak atas masalah yang ditimbulkan oleh aturan elit yang korup yang sudah “menculik kehendak mayoritas” (De la Torre 2019, 1). Populisme menjadi semakin melonjak ketika demokrasi mengalami defisit kepercayaan dari rakyat dan semakin populer belakangan ini.

    Semakin dekat ke Pilpres, headline berita utama mengenai lobi-melobi para aktor politik atau wacana-wacana dari kedua calon yang akan maju menjadi lebih akrab di sekitar kita. Sebuah kata yang kerap menghiasi baliho-baliho calon legislatif maupun presiden di jalanan, “Pro-rakyat”, sebuah kalimat yang tidak asing diucapkan dalam pidato-pidato politisi, “Demi rakyat”, “Untuk wong cilik”, “Anti elite global”, dan lain sebagainya yang selalu menempatkan rakyat sebagai protagonis dalam berbagai ranah perpolitikan. Mungkin, tambahan, ‘Bangkitnya perekonomian dan hidup rakyat setelah pandemi” juga menjadi jargon terutama yang dipakai saat ini.

    Begitulah narasi populisme terus menjamur dan selalu menjadi jualan yang laris, di Indonesia, salah satunya. Kajian fenomena populisme di Indonesia sendiri telah disorot terutama ketika pemilu  di Indonesia tahun 2014 lalu. Narasi reformasi birokratis yang disebut oleh Joko Widodo untuk membantu rakyat biasa yang kerap kesulitan dalam mendapatkan akses di bidang pendidikan, kesehatan, serta fasilitas publik lainnya. Sedangkan, narasi yang dibangun Prabowo Subianto menitikberatkan pada narasi anti-elit atau anti-asing (Budiman, 2021).

    Apa yang membuat narasi populisme dapat laku di masyarakat Indonesia? Ketika satu atau dua keluarga yang sedang menonton televisi, dengan keadaan ekonomi sulit, hutang  yang menunggak, dan biaya sekolah empat anak yang tidak jelas ingin dibayar pakai apa, narasi bernada ‘keberpihakan’ pada mereka tentu membuat mereka tergugah untuk mengikuti kata setiap kata yang disampaikan oleh pidato politisi tersebut. Ditambah lagi, dengan janji-janji meyakinkan—tanpa celah—yang akan dilaksanakan ketika dirinya terpilih.

    Dengan kondisi ekonomi dan politik yang tidak stabil, setelah pandemi yang mungkin belum terlihat jelas titik terangnya, dan di tengah ancaman resesi 2023, menggunakan strategi komunikasi politik yang menyentuh perasaan rakyat dengan merasa ‘dibela’ tidak akan gagal menyentuh hati calon pemilih.

    Masyarakat populis selalu mengatasnamakan diri sebagai ‘rakyat’, walaupun sebenarnya mereka bukanlah rakyat secara keseluruhan. Menurut mereka, ‘rakyat’ adalah kesatuan homogen, entah kesamaan agama, ras, kelas, atau apapun itu. Populis sayap kanan akan memisahkan mereka dengan perbedaan ras, etnis, atau asal. Sedangkan, populis sayap kiri akan mengelompokkan berdasarkan kelas, ‘anti borjuis’. Belakangan ini, populis sayap-kiri identik dengan gerakan sosial seperti LGBT, feminisme, pecinta lingkungan, dan lain sebagainya yang tidak segan-segan memberi menyingkirkan siapapun yang dianggap berbeda kelompok.

    Kenny (dalam Wisnu, 2019) dalam bukunya yang berjudul Populism in Southeast Asia, menyatakan bahwa terdapat dua kelompok yang mendefinisikan populisme secara berbeda. Kelompok pertama mendefinisikan populisme sebagai ideologi, seperti yang sudah tertera di atas, dan kelompok kedua mendefinisikan populisme sebagai senjata atau strategi politik yang bertujuan memobilisasi massa untuk mendapatkan dukungan dengan menghilangkan jarak antara figure populis. Dalam hal ini, sosok pemimpin yang kharismatik menjadi kuncinya. Selanjutnya, sosok pemimpin tersebut akan memperluas advokasi untuk rakyat yang tertindas, strategi menyerang elit yang berlawanan, serta mengucilkan kelompok lain yang berkedudukan sama secara horizontal.

    Populisme di Indonesia juga ditemukan kaitannya dengan agama Islam. Fenomena ini dimulai ketika Pemilihan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, dianggap melakukan penistaan agama dengan menafsirkan Ayat Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 51 dalam salah satu pidato kampanyenya (Pratama, 2021). Peristiwa tersebut menjadi kesempatan bagi figur populis FPI yaitu Rizieq Shihab untuk melakukan konstruksi agama dengan memojokkan etnis Tionghoa dengan memantik kemunculan gerakan 212.

    Keberhasilan populisme belakangan ini menjelma sebagai sebuah gerakan sangat bergantung pada pemimpin yang berkharisma dari pencetus gerakan itu sendiri. Bagaimana pemimpin tersebut bisa membawa serta membangun narasi-narasi yang mewakili perasaan serta keadaan yang sedang dialami rakyat biasa sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem yang disebut-sebut sebagai ‘dalang’ dari keterpurukan mereka.

    Pada akhirnya, populisme secara agresif dapat memecah-belah masyarakat serta mempertajam perbedaan akibat pengelompokan identitas yang disertai dengan sikap nativisme, menganggap kelompok atau identitas sendiri berada lebih superior dibandingkan dengan kelompok yang lain, serta sentimen atau narasi kebencian yang berusaha dibangun oleh figur populis untuk memperoleh dukungan.

    Populisme kemudian menjadi ideologi ‘favorit’ karena bekerja tanpa bantuan dari ide lain yang menstimulasi rasa kolektif masyarakat,  bahwa mereka bersatu, memiliki rasa kolektivisme yang kuat dan dengan bangga mereka tunjukan, entah ras, etnis, agama, ekspresi gender, orientasi seksual, apapun itu untuk menentang musuh dinamisnya untuk teman yang sama.

    Populism is never just a matter of disagreements about policy, which is of course perfectly normal in democracy. No, the populist immediately claims that the issue at stake is entirely normal.” —Jan-Werner Müller

    Referensi

     Budiman, B. (2021). Populisme di Indonesia sebagai Ancaman Populasi Masyarakat. Jurnal Keindonesiaan, Vol. 01, No. 02, halaman 235-246.  Diakses melalui  https://ejurnalpancasila.bpip.go.id/index.php/PJK/article/download/53/21/146

    De la Torre, C. (2019). Routledge Handbook of Global Populism. London & NY: Routledge.

    Przeworski, Adam. (2004). Democracy and Economic Development. In Democracy, Autonomy, and Conflict in Comparative and International Politics by Edward D. Mansfield and Richard Sisson (eds.). Columbus: The Ohio State University Press.

    Wisnu, D. (2019). Populisme, Politik Identitas, dan Erosi Demokrasi di Abad 21. Jakarta: Friedrich-Ebert-Stiftung (FES).