
Tidak dapat dipungkiri, bahwa pro dan kontra terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) selalu menjadi polemik didalam masyarakat. Hal ini terutama terjadi pasca kenaikan harga BBM yang disampaikan secara langsung oleh Presiden Joko Widodo, pada hari Sabtu, (3/9). Anggaran dan kompensasi untuk BBM dinilai tidak diikuti dengan subsidi yang tepat, sehingga perlu dikaji ulang.
Seperti diketahui, pemerintah akhirnya mengambil langkah dengan menaikkan harga BBM. Pemerintah memutuskan untuk menyesuaikan harga BBM subsidi antara lain pertalite dari Rp7.650 menjadi Rp10.000 per liter dan solar dari Rp5.150 menjadi Rp6.800 per liter, juga pertamax nonsubsidi dari Rp12.500 menjadi Rp14.500 per liter.
Kebijakan ini bukanlah kebijakan yang mengagetkan. Data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik pada bulan Maret 2021 menunjukkan bahwa dari total alokasi kompensasi pertalite Rp93,5 triliun yang dianggarkan di APBN (sesuai Perpres Nomor 98 Tahun 2022), sebanyak 86% atau Rp80,4 triliun dinikmati rumah tangga dan sisanya 14% atau Rp13,1 triliun dinikmati dunia usaha. Dari Rp80,4 triliun yang dinikmati rumah tangga, ternyata 80% di antaranya dinikmati rumah tangga mampu, dan hanya 20% dinikmati rumah tangga tidak mampu. Begitu juga dengan solar, dari total subsidi dan kompensasi Rp143,4 triliun, sejumlah 11% atau Rp15 triliun dinikmati rumah tangga dan sisanya yakni 89% atau Rp127,6 triliun dinikmati dunia usaha. Untuk kategori rumah tangga yang menikmati, itu pun 95% adalah rumah tangga mampu, sehingga hanya 5% rumah tangga tidak mampu yang menikmati solar subsidi (MediaIndonesia.com, 5/9/2022).
Jika melihat data tersebut, nampaknya hal inilah yang menjadi dasar bagi pemerintah untuk membuat kebijakan terkait dengan perlunya menaikkan harga BBM. Subsidi energi yang terus meningkat membuat APBN kita begitu ringkih. Konsekuensi pahitnya adalah APBN jebol akibat pembengkakan subsidi energi. Pada prinsipnya, subsidi energi membengkak karena tiga hal, yaitu melambungnya harga minyak, depresiasi rupiah, dan meningkatnya konsumsi BBM bersubsidi. Ironisnya, subsidi BBM selama ini tidak tepat sasaran. Sekitar 80% BBM bersubsidi justru dinikmati orang-orang mampu (Investor.id, 2/9/2022).
Jika menengok ke belakang, kebijakan menaikkan harga BBM pasti dianggap sebagai kebijakan yang tidak populer dan memantik banyak reaksi publik secara sosiologis. Apalagi, isu dan kebijakan terkait BBM merupakan salah satu isu krusial dan berdampak, baik secara ekonomi secara khusus maupun sosial secara luas. Hampir setiap rezim kekuasaan di Indonesia pernah berada dalam posisi sulit ini dan hampir semuanya memantik reaksi yang sama.
Meskipun demikian, persoalan ini juga sering silang pendapat dengan situasi dan kondisi bahwa urgensi kenaikan BBM yang tidak terelakkan. Oleh karena itu, wajar jika seharusnya persoalan-persoalan perdebatan secara teknokratik seringkali menguraiakan gambaran besar yang mengarah pada persoalan secara komperhensif dengan tidak sekedar menaikkan harga BBM saja, akan tetapi juga kepentingan untuk mengurangi ekses kenaikan tersebut secara luas di masyarakat. Hal ini juga mengingat betapa rumitnya penerapan kebijakan kenaikan BBM di Indnesia.
Selain itu, masih kuatnya pandangan masyarakat di Indonesia yang bersemayam dalam alam bawah sadar, di mana di balik jargon konstitusi, sudah pasti mewajibkan negara untuk melindungi dan berperan aktif terhadap persoalan hajat hidup seluruh warga negara. Hal ini berlaku dalam segala aspek kehidupan, tanpa terkecuali terkait dengan kebijakan kenaikan BBM, meskipun dalam kenyataannya, tidak semua kebijakan atau intervensi pemerintah memberikan jalan keluar yang efektif dan tepat.
Walaupun demikian, pada akhirnya pemerintah tetap harus mengambil salah satu dari dua pilihan yang bisa dikatakan sama-sama sulit, terutama untuk merespons kondisi pasar BBM, yaitu: mempertahankan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dengan konsekuensi APBN jebol, atau menaikkan harga BBM bersubsidi dengan asumsi menyelamatkan persoalan ekonomi secara komperhensif yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia.
Selain itu, kondisi saat ini juga memberikan gambaran baru bagaimana energi selalu menjadi isu yang sangat krusial. Salah satu isu yang juga penting untuk dilihat di tengah polemik fluktuasi harga energi global adalah bagaimana Indonesia perlu mendorong isu energi yang berkelanjutan. Lebih jauh, bahwa adanya krisis energi yang terjadi hampir di seluruh dunia saat ini juga tidak lepas dari konteks politik, yang juga mengakibatkan persoalan tersendiri.
Selain itu, gambaran pemanfaat energi di Indonesia misalnya, yang masih didominasi oleh energi fosil, di mana Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar fosil masih mendominasi produksi listrik di Indonesia. Secara persentase, kondisi ini mencapai 50,4% ketimbang pemanfaatan energi terbarukan yang masih minim (hanya sekitar 11.5%). Apalagi, jika melihat suplai energi domestic yang ada saat ini hanya mampu memenuhi 75% permintaan energi nasional dan akan terus menurun setiap tahunnya disebabkan karena sumber daya yang terbatas (Suarakebebasan.id, 13/4/2022). Padahal Indonesia memiliki cadangan energi berupa air, panas bumi/geothermal, gas alam, matahari, angin, listrik/baterai dan bio energi yang berlimpah.
Komitmen ini nampaknya masih belum terlihat dalam rencana-rencana regulasi kebijakan. Masih belum masifnya isu pembentukan regulasi seharusnya dapat menjadi momentum yang strategis bagi keberlanjutan energi di masa depan, khususnya terkait dengan pengesahan Undang-undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBT).
Sebagai penutup, kembali kepada isu awal bahwa kenaikan harga BBM merupakan yang akan selalu memantik pro dan kontra. Tentu, hal ini menjadi persoalan yang sangat tidak mudah mengingat dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan tersebut berdampak sangat luas. Belum lagi jika pertimbangan kebijakan ini tidak luput dari perhitungan politik jelang kontestasi politik di tahun 2024 mendatang. Oleh karena itu, perlu sebuah kebijakan yang komprehensif untuk mengelola kebijakan tersebut. Misalnya dengan menyesuaikan harga BBM dengan harga pasar, dengan diikuti subsidi dalam jangka waktu tertentu yang mendorong produktivitas dan di sisi lain juga membantu resiliensi masyarakat, khususnya untuk kelompok masyarakat yang kurang mampu, berdasarkan pendataan dan mekanisme distribusi yang transparan dan jelas, serta pembiayaan yang realistis, agar kebijakannya pun menjadi tepat sasaran.
Lebih jauh, kebijakan terkait energi ini juga seharusnya menjadi momentum untuk terus mereformasi kebijakan terhadap persoalan dan tantangan krisis energi yang ada pada saat ini. Beberapa aspek yang harus terus dieksplorasi dan diperhitungkan dalam mendorong kebijakan yang responsif terkait hal ini, diantaranya: sumber-sumber energi alternatif yang berkelanjutan dan ramah lingkungan dan terjangkau; sarana dan prasarana yang mendukung eksplorasi sumber-sumber energi alternatif; skenario kebijakan terkait perhitungan dampak kebijakan, termasuk eksternalitas dan konsekuensi potensial terkait kebijakan energi yang diambil, termasuk soal penetapan harga di pasar; sumber pembiayaan dan mekanisme harga, serta persiapan untuk transisi energi, termasuk kesadaran publik tentang pentingnya pemanfaatan energi terbarukan dan berkelanjutan.
Untuk mengejawantahkan kebijakan energi yang komprehensif dan berkelanjutan, tentu pemerintah juga membutuhkan peran para pelaku kepentingan terkait lainnya yang kompeten, termasuk pihak swasta, pakar energi, akademisi, dan lain sebagainya, untuk ikut mendukung kebijakan ini. Reformasi tata kelola energi dan penerapan prinsip-prinsip tata kelola energi yang baik, transparan, akuntabel, dan kredibel, serta kolaborasi beragam pemangku kepentingan juga menjadi beberapa kata kunci yang penting untuk merespons dinamika kebijakan dan kebutuhan akan energi.
Referensi
https://investor.id/editorial/305334/saatnya-menaikkan-harga-bbm-subsidi. Diakses pada 5 September 2022, pukul 13.05 WIB.
https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2753-konsolidasi-politik-penaikan-harga-bbm/ Diakses pada 5 September 2022, pukul 14.00 WIB.
https://suarakebebasan.id/cerita-webinar-forum-kebebasan-tentang-mengatasi-eksternalitas-terhadap-lingkungan/ Diakses pada 6 September 2022, pukul 10.00 WIB.

Galang Taufani adalah Managing Editor di Suara Kebebasan. Galang adalah lulusan program Sarjana Hukum (2013) dan Magister Hukum (2016) di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Sebelum bergabung di Suara Kebebasan, Galang pernah bekerja sebagai wartawan, peneliti, dan dosen sejak tahun 2013. Galang menulis banyak karya berupa buku, jurnal, dan artikel ilmiah. Bidang yang digeluti olehnya, yaitu adalah bidang Hukum, Kebijakan Publik, Pajak, Filsafat, dan Sastra.