Amerika Serikat pada dekade 1920-an merupakan surga bagi para bos mafia. Organisasi kriminal bertebaran di negeri Paman Sam tersebut, dan mengoperasikan berbagai usaha ilegal untuk mendapatkan pemasukan yang besar.
Salah satu bos mafia yang paling brutal publik adalah Al Capone. Capone, hingga hari ini merupakan salah satu petinggi organisasi kriminal paling dikenal di dunia, mendapatkan banyak pemasukan dari penjualan berbagai produk ilegal, salah satunya adalah minuman beralkohol.
Negeri Paman Sam pada dekade 1920-an merupakan masa yang dikenal dengan nama “Prohibition Era”, karena Amerika Serikat pada saat itu melarang seluruh produksi, distribusi, dan konsumsi minuman beralkohol. Asal mula dari kebijakan ini bisa ditarik hingga pada awal abad ke-19, tepatnya pada dekade 1820 hingga 1830-an, di mana banyak gerakan-gerakan keagamaan di Amerika Serikat yang melarang mengkonsumsi minuman beralkohol (History.com, 27/01/2020).
Puncaknya adalah pada 16 Januari 1919, ketika Amerika Serikat mensahkan amandemen ke-18 dalam konstitusinya, yang menyatakan bahwa negeri Paman Sam tesebut akan melarang seluruh kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi minuman beralkohol. Aparat keamanan pun lantas menyita dan menghancurkan berbagai produk-produk minuman beralkohol.
Isu mengenai minuman beralkohol kerap merupakan isu yang cukup kontroversial di berbagai negara. Sebagian pihak menganggap bahwa minuman beralkohol merupakan sesuatu yang memiliki dampak sangat negatif bagi masyarakat. Selain itu, tidak sedikit pula kelompok-kelompok keagamaan yang menganggap bahwa minuman beralkohol adalah sesuatu yang melanggar ajaran agama yang mereka yakini, sehingga peredarannya wajib dilarang.
Oleh karena itu, tidak sedikit negara dan wilayah yang memberlakukan pelarangan tersebut. Di banyak negara-negara bermayoritas muslim seperti Kuwait, Yaman, dan Saudi Arabia misalnya, peredaran berbagai minuman yang mengandung alkohol adalah sesuatu yang dilarang keras (The Rillist, 16/03/2018).
Di Indonesia sendiri, isu mengenai minuman beralkohol juga kerap menimbulkan kontroversi. Berbagai organisasi keagamaan misalnya, tidak sedikit yang berpandangan bahwa produk-produk tersebut adalah sesuatu yang harus dilarang peredarannya. Tidak jarang berbagai kelompok keagamaan melakukan sweeping dan razia secara sepihak terhadap toko-toko yang menjual minuman beralkohol (Radarcirebon.com, 02/01/2019).
Berbagai daerah di Indonesia juga melarang peredaran minuman beralkohol secara penuh. Di provinsi Aceh misalnya, yang memberlakukan hukum berdasarkan syariat Islam, mereka yang terlibat dalam produksi maupun konsumsi minuman beralkohol, akan menerima hukuman fisik berupa cambuk di depan umum. Hal ini tidak hanya berlaku bagi mereka yang beragama Islam, namun juga warga Aceh yang non-muslim (Detiknews, 19/01/2018).
Selain itu, berbagai upaya untuk melarang peredaran minuman beralkohol secara nasional di Indonesia juga diusahakan oleh berbagai pihak. Salah satu bentuk dari upaya tersebut adalah melalui Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol.
Pada tanggal 10 November lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali melakukan pembahasan terhadap RUU Larangan Minuman Beralkohol (Tirto.id, 11/11/2020). Melalui RUU ini, seluruh kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi minuman beralkohol dilarang, kecuali untuk kegiatan-kegiatan tertentu, seperti pariwisata, kegiatan keagamaan, dan acara kebudayaan (CNN Indonesia, 12/11/2020).
Sanksi yang dikenakan bagi pelanggar peraturan tersebut juga tidak main-main. Untuk orang-orang yang mengkonsumsi minuman beralkohol, sanksi pidana yang dikenakan adalah penjara hingga 2 tahun (CNN Indonesia, 12/11/2020). Sementara, mereka yang menjual minuman yang mengandung alkohol akan diancam penjara hingga 10 tahun (Kompas.com, 13/11/2020). Pengecualian terkait penjualan dan konsumsi minuman beralkohol yang diperbolehkan dalam undang-undang ini hanya mencakup lima poin, yakni untuk kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, kepentingan farmasi, dan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan (Suarajakarta.id, 12/11/2020).
Pendekatan pidana untuk menangani minuman beralkohol tentu adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Lembaga pegiat reformasi hukum dan Hak Asasi Manusia, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), berpandangan bahwa RUU ini akan menghasilkan overkriminalisasi dan membuat semakin banyak orang yang dikirim ke balik jeruji besi (CNN Indonesia, 11/11/2020).
Secara filosofis, pelarangan minuman yang mengandung alkohol jelas merupakan bentuk aturan yang melanggar kemerdekaan individu. Setiap kita merupakan pemilik dari tubuh kita masing-masing, dan bukan dimiliki oleh orang lain, baik itu negara, masyarakat, atau organisasi tertentu. Kepemilikan pihak lain selain diri kita terhadap tubuh kita sendiri akan tidak berbeda dari praktik perbudakan, di mana budak merupakan seseorang yang diakui bukan menjadi pemilik bagi diri mereka sendiri.
Sebagai pemilik tubuh kita sendiri, tentu kita memiliki hak penuh untuk menentukan pilihan terhadap tubuh yang kita miliki, termasuk untuk mengkonsumsi makanan atau minuman apapun yang kita kehendaki. Tugas utama negara adalah melindungi hak individu kita agar tidak dilanggar oleh pihak lainnya, bukan justru menjadi aktor yang mencederai hak dasar yang kita miliki.
Selain itu, pada tataran penerapan, pelarangan minuman beralkohol juga merupakan kebijakan yang sangat berbahaya. Melalui sejarah, kita bisa belajar dari apa yang terjadi di Amerika Serikat ketika negeri Paman Sam tersebut secara konstitusional melarang minuman yang mengandung alkohol.
Alih-alih membuat masyarakat menjadi berhenti mengkonsumsi minuman tersebut, kebijakan tersebut justru membuat masyarakat beralih menjadi membeli produk-produk minuman beralkohol dari pasar gelap, yang sebagian besar dikuasai oleh mafia dan organisasi kriminal. Dengan demikian, organsasi kriminal menjadi semakin kuat, memiliki sumber daya yang lebih besar, dan mampu menyuap lebih banyak pejabat dan aparat penegak hukum, yang tentunya semakin menyuburkan praktik korupsi (Thronton, 1991).
Tidak hanya itu, pelarangan minuman beralkohol di Amerika Serikat justru membuat minuman beralkohol yang dikonsumsi masyarakat semakin berbahaya. Hal ini disebabkan karena berbagai minuman beralkohol yang dijual di pasar gelap tidak memenuhi standar keamanan dan regulasi dari pemerintah (Thornton, 1991). Amerika Serikat sendiri akhirnya menghapuskan larangan tersebut pada 5 Desember 1933 melalui pengesahan amandemen konstitusi ke-21 (History.com, 04/03/2010).
Dampak dari kebijakan pelarangan minuman beralkohol secara nyata juga bukan hanya terjadi di Amerika Serikat pada dekade 1920-an, namun juga terjadi di negara kita akhir-akhir ini. Pada tahun 2016, lembaga think tank Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) melakukan penelitian mengenai dampak pelarangan minuman beralkohol di beberapa daerah di Indonesia.
Hasilnya, pelarangan tersebut, yang diberlakukan di beberapa daerah seperti Lombok dan kota Depok, justru sangat berbahaya. Adanya larangan minuman beralkohol justru membuat masyarakat beralih untuk mengkonsumsi minuman beralkohol ilegal, atau yang dikenal dengan minuman oplosan, yang mengandung zat metanol sangat berbahaya bagi tubuh dan kesehatan. Mereka yang meminum minuman tersebut akan merasakan kejang-kejang, membuat kegagalan organ, hingga kehilangan nyawa (Uddarojat, 2016).
Sebagai penutup, kebijakan pelarangan minuman beralkohol sudah terbukti justru merupakan kebijakan yang sangat berbahaya. Kebijakan tersebut tidak hanya membuat masyarakat beralih ke minuman beralkohol ilegal yang mengandung zat berbahaya, namun juga berpotensi besar akan menguntungkan organisasi-organisasi kriminal, karena mereka menjadi satu-satunya pihak yang mampu mensuplai minuman beralkohol dengan harga yang terjangkau ke masyarakat.
Kita tidak bisa mengubah perilaku dan kebiasaan masyarakat melalui pelarangan. Bila kita ingin mengadvokasikan kepada masyarakat mengenai dampak bahaya minuman beralkohol, maka kita harus melakukan hal tersebut dengan cara-cara persusasif dan edukatif, bukan melalui pendekatan pidana, yang terbukti sangat tidak efektif dan memiliki dampak negatif yang sangat besar.
Referensi
Jurnal
Thornton, Mark. 1991. “Cato Institute Policy Analysis No. 157: Alcohol Prohibition Was a Failure.” Cato Institute. Diakses dari https://www.cato.org/sites/cato.org/files/pubs/pdf/pa157.pdf pada 14 November 2020, pukul 23.30 WIB.
Uddarojat, Rofi. 2016. “Cedera dan Kematian akibat Minuman Beralkohol Palsu dan Oplosan: Potensi Dampak Pelarangan Minuman Beralkohol di Indonesia.” Center for Indonesian Policy Studies. Diakases dari https://repository.cips-indonesia.org/media/328-cedera-dan-kematian-akibat-minuman-beral-1650ef54.pdf pada 15 November 2020, pukul 00.50 WIB.
Internet
https://www.history.com/topics/roaring-twenties/prohibition Diakses pada 14 November 2020, pukul 13.05 WIB.
https://www.thrillist.com/drink/how-do-you-get-alcohol-in-countries-where-it-is-illegal Diakses pada 14 November 2020, pukul 14.10 WIB.
https://www.radarcirebon.com/2019/01/02/fpi-majalengka-razia-warung-penjual-miras/ Diakses pada 14 November 2020, pukul 14.50 WIB.
https://news.detik.com/berita/d-3823694/kasus-miras-di-aceh-pria-nonmuslim-dicambuk-36-kali Diakses pada 14 November 2020, pukul 15.20 WIB.
https://tirto.id/ruu-larangan-minol-dibahas-lagi-pengusul-kutip-ayat-alquran-f6Ua Diakses pada 14 November 2020, pukul 20.40 WIB.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201112113649-32-568922/ruu-minuman-beralkohol-peminum-dipenjara-2-tahun-atau-denda Diakses pada 14 November 2020, pukul 21.00 WIB.
https://nasional.kompas.com/read/2020/11/13/11251361/ruu-larangan-minuman-beralkohol-produsen-dan-penjual-terancam-pidana-10 Diakses pada 14 November 2020, pukul 22.05 WIB.
https://jakarta.suara.com/read/2020/11/12/225736/ruu-minol-peminum-bakal-dipenjara-2-tahun-dan-denda-rp-50-juta?page=all Diakses pada 16 November 2020, pukul 00.40 WIB.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201111170052-32-568648/icjr-ungkap-potensi-overkriminalisasi-di-ruu-larangan-minol Diakses pada 14 November 2020, pukul 22.50 WIB.
https://www.history.com/this-day-in-history/prohibition-ends#:~:text=The%2021st%20Amendment%20to%20the,prohibition%20of%20alcohol%20in%20America.&text=Several%20states%20outlawed%20the%20manufacture,alcohol%20within%20their%20own%20borders. Diakses pada 15 November 2020, pukul 00.05 WIB.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.