
Senin, (11/4/ 2022), beberapa waktu lalu mungkin menjadi hari kelabu bagi toleransi dan kerukunan Indonesia. Di hari itu, kita terhentak oleh kekerasan dan penganiayaan terhadap pegiat media sosial, pengamat komunikasi sekaligus pejuang toleransi, Ade Armando.
Tragedi ini bermula ketika Ade Armando hadir untuk memberikan dukungan moril kepada mahasiswa yang tepat pada tanggal tersebut akan melakukan aksi demonstrasi akbar untuk menegakkan konstitusi dan menjaga demonstrasi. Massa yang banyak tersebut berbaris rapi dan mengenakan almamaternya masing-masing. Mereka sepakat pada satu suara: demokrasi, kebijakan berpihak pada rakyat, dan menegakkan konstitusi.
Menurut laporan dari rekan yang di lapangan, keadaan masih stabil hingga menjelang waktu ashar, terlihat pihak kepolisian sibuk hilir mudik membantu mengurai kemacetan dan mahasiswa tetap fokus pada demonstrasianya. Hingga waktu ashar masuk, anggota DPR, Sufmi Dasco dan Kapolri Jenderal Polisi Sigit Prasetyo hadir berkomunikasi dan menerima aspirasi mahasiswa (Suara.com, 11/04/2022).
Setelah lewat waktu ashar, rekan di lapangan melaporkan bahwa muncul kelompok tanpa identitas dan ormas yang ikut ke barisan mahasiswa. Ormas dan kelompok ini terlihat memprovokasi mahasiswa yang saat itu sudah mulai pulang dan memadati stasiun, serta bus tumpangan mereka. Menjelang sore, Ade Armando yang hadir di sana terlibat cekcok dengan massa tanpa identitas hingga akhirnya tragedi itu terjadi.
Kekerasan Berbalut Agama
Hari itu aksi pemukulan terhadap Ade Armando menjadi trending topik di media sosial dan media massa. Sebagai wartawan, saya melihat animo pembaca yang menggila karena ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan tokoh kontroversial satu ini. Di grup-grup WhatsApp beberapa kali terdengar bunyi notifikasi: video aksi pemukulan dan penganiayaan Ade Armando tersebar secara luas!
Saat saya menonton video tersebut, kaki saya terasa lemas. Bagaimana tidak, di bulan suci yang penuh berkah dan ampunan ini, orang-orang di sana dengan kejinya melakukan aksi penganiayaan terhadap sesama muslim hingga hampir meninggal dunia. Dengan tanpa daya, kepala Ade Armando dipukul dan tubuhnya ditendang. Bahkan, ketika tubuhnya jatuh terkapar, kaki-kaki itu masih menginjak tubuhnya sembari memekikkan takbir dan lafaz tahlil.
Di Facebook, banyak orang mengecam tindakan anarki tersebut. Namun, tidak sedikit juga orang yang membela aksi penganiayaan dengan dalih Ade Armando sudah ‘halal darahnya’ (Pedomantangerang.com, 11/04/2022). Bahkan, hingga seorang oknum dosen di suatu kampus bergengsi, ikut mendukung aksi biadab tersebut dengan dalih Ade Armando adalah penista agama.
Tentu tragedi ini sangat menyayat hati dan nurani. Hanya karena perbedaan politik dan pandangan, seseorang bisa nekat melakukan tindakan kekerasan bahkan membalurkan kekerasan itu dengan dalil-dalil agama. Terkait dengan kasus ini, tentu kita juga tidak lupa peristiwa serupa yang terjadi pada tahun 2017 lalu menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta, di mana polarisasi politik akar rumput menjadikan agama sebagai sarana kampanye dan menindas lawan politiknya.
Hal tersebut turut berimbas pada aksi boikot jenazah. Ketika ada salah seorang warga Jakarta meninggal, beberapa orang-orang di sekitarnya menolak untuk menshalati dan mengurusnya hanya karena almarhum semasa hidupnya mendukung Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang mereka cap sebagai penista agama (Liputan6.com, 10/03/2017).
Lebih jauh, hal yang memprihatinkan juga adalah bahwa polarisasi politik ini menjurus pada pengkafiran satu sama lain. Bayangkan saja, jika hanya karena urusan politik, seseorang kemudian mudah mengkafirkan dan tidak mau hidup berdampingan secara rukun. Cepat atau lambat, kebhinnekaan yang menjadi fondasi negeri ini akan hancur dan bisa saja kedepannya kita takkan menjadi satu bangsa.
***
Intimidasi terhadap orang lain dengan melandaskan agama sebenarnya bukan fenomena baru. Pada beberapa tahun lalu, seorang Muslimah Feminis, Irshad Manji datang ke Indonesia untuk membedah bukunya, Allah, Liberty and Love. Sayangnya, diskusi ini tidak bisa diselenggarakan dalam waktu lama. Irshad Manji terpaksa menghentikan materi yang ia bawa karena didemo oleh ormas Islam yang membenci kehadirannya di Indonesia (Beritasatu, 04/05/2012).
Bukan hanya Irshad Manji, seorang Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang dikenal sebagai Kyai besar juga pernah diusir dari panggung karena gagasannya tentang pluralisme dianggap sesat dan menyesatkan. Selain itu, pada tahun 2011 lalu, sebuah buku yang berjudul “Mereka yang Pantas Dibunuh” menjadi teror bom buku untuk Ulil Abshar Abdalla. Buku tersebut, ternyata ditanam sebuah bom siap ledak. Otomatis teror bom buku ini menggemparkan publik. Masyarakat menjadi resah dan negara luar menganggap Indonesia sebagai tempat berbahaya untuk dikunjungi (Detik.com, 15/03/2011).
Sekedar untuk pengetahuan kita, fenomena diskriminasi, intimidasi, dan kekerasan pada orang yang memiliki perbedaan politik atau pandangan keagamaan tidak hanya terjadi di Indonesia.
Peristiwa serupa juga pernah terjadi di Mesir. Ini terjadi pada salah satu tokoh intelektual Muslim, Nasr Hamid Abu Zayd, yang dalam disertasinya mengkritik pandangan ulama terdahulu dan menawarkan metode hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an dengan tujuan agar umat Muslim dapat mengkontekstualkan ajaran Islam di tengah perkembangan modern.Tak ayal gagasan ini membuat Zayd mendapat hujatan dari beberapa pihak. Ia dituduh murtad dan orang-orang Mesir meminta agar istrinya menceraikan Zayd karena pernikahan mereka dianggap tidak sah hanya karena Zayd dituduh kafir. Demi menyelamatkan jiwa dan keutuhan keluarganya. Zayd akhirnya hijrah ke Prancis agar tidak diteror oleh mereka yang menyebut Zayd kafir (Tirto.id, 13/05/2020).
Kejadian serupa juga terjadi pada Fazlur Rahman. Tokoh yang menjadi guru Nurcholish Madjid (Cak Nur). Fazlur pernah mendapat tekanan hebat dari kelompok Muslim fundamentalis di Pakistan. Fazlur Rahman yang juga seorang Muslim dituduh telah mencela agama dengan menyebutkan bahwa Al-Qur’an 100 persen firman Allah dan 100% sabda Nabi Muhammad. Mereka yang tak paham pada maksud Fazlur Rahman tersebut melakukan demonstrasi besar dan menuntut agar Rahman dihukum bahkan para ulama tradisional di sana meminta Rahman untuk dibunuh. Di tengah situasi yang gawat tersebut, Fazlur Rahman akhirnya berhasil keluar dari Pakistan dan kembali ke benua Amerika. Rahman kemudian fokus pada masalah-masalah keislaman dan mengambil karir sebagai pendidik di Kanada (Rahman, 2018).
Gambaran kisah di atas sengaja penulis tampilkan bukan untuk menyudutkan kelompok tertentu, tapi dari peristiwa di atas, saya berharap agar kita semakin dewasa untuk melihat perbedaan.
***
Setiap agama pada hakikatnya mengajarkan kasih sayang dan menginginkan kerukunan. Baik Islam, Kristen, Hindu, atau Buddha, mengajarkan agar manusia hidup saling menghargai dan meninggalkan perbuatan negatif yang merusak banyak orang. Namun pada praktiknya, kadang manusia yang memeluk agama bertindak jauh lebih melenceng, hingga agama dijadikan sebagai pembenaran untuk perbuatannya yang tidak baik.
Imaduddin Abdurahim menyebutkan bahwa agama sebagai suatu sistem yang sudah terorganisir ternyata disadari atau tidak telah menjadi salah satu sumber kekerasan akibat penyelewengan ajaran atau kesalahan pemaknaan oleh pemeluknya (Kumparan.com, 18/04/2018).
Pun ini terjadi pula di komunitas agama mana pun, khususnya Islam. Di masyarakat kita saat ini pun pemahaman keagamaan dan salah tafsir agama telah menyebabkan cekcok hingga kontroversi. Contohnya saja peristiwa penendangan sesajen di kawasan Gunung Merapi oleh seorang oknum guru ngaji. Penendangan sesajen itu ia lakukan dengan dalih untuk menumpas kesyirikan (PedomanTangerang.com, 12/01/2022 ). Secara eksplisit, ucapannya mungkin benar karena Islam melarang kesyirikan. Namun, jika hal itu terkait dengan keyakinan atau kepercayaan umat lain, apakah itu dibenarkan untuk mengusiknya?
Dalam Qur’an saja ada kalimat “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”, yang bermakna bahwa seorang Muslim menjaga batas privasi ritual agama lain, dan dilarang mengganggu atau mengusik apa yang menjadi keyakinan agama lain. Perubahan penafsiran agama dikalahkan masyarakat ini tentu karena ada berbagai faktor, bisa jadi karena orang tersebut tidak memahami agamanya secara benar hingga melegalkan kekerasan, atau karena ada unsur egosentrisme dalam dirinya, sehingga ia meyakini bahwa dirinya benar dan orang lain salah.
Gus Dur dan Salman Rushdie
Selain kasus-kasus kekerasan berkedok agama di atas, di Indonesia, pada dekade 80an, nama Salman Rushdie sangat terkenal di kalangan masyarakat Indonesia. Novelnya yang berjudul “Ayat-ayat Setan” menuai kecaman dan hujatan. Umat Islam di seluruh dunia marah, dan masyarakat Muslim Indonesia ikut tersulut emosi dengan karangan Rushdie yang menghina martabat Nabi Muhammad dan istrinya, Aisyah. Salman Rushdie saat itu memberi klarifikasi bahwa dirinya tidak berniat mencela agama yang ia anut. Ia hanya berharap masyarakat melihat karyanya sebagai sebuah novel biasa.
Di tengah kontroversi buku Ayat-ayat Setan ini, majalah Editor memuat sebuah forum debat mengenai buah tangan Salman Rushdie ini yang bertajuk “Apakah Salman Rushdie harus dihukum mati?”. Pada saat itu, yang menjadi pembicara adalah Luqman Harun dari Muhammadiyah, Gus Dur dari NU, Quraish Shihab dari kalangan akademisi, Syubah Ada dan Danarto dari kalangan pengamat dan media.
Dalam forum tersebut, Luqman Hakim secara tegas mengutuk novel tersebut karena secara jelas dan lugas menghina martabat Nabi. Gus Dur yang anteng sembari membolak-balik buku Ayat-ayat Setan tersebut memberi komentar bahwa novel karya Rushdie ini adalah novel terbaik dengan alur cerita yang indah dan imajinasi yang hebat. Mendengar ucapan Gus Dur yang berbeda dari bayangan mainstream, sontak saja membuat para hadirin melongo tak percaya .(NU.or.id, 26/12/2020).
Gus Dur yang memang memiliki pandangan yang berbeda terkait sejarah dan sastra dari masyarakat pada umumnya.Ia memandang isu yang digambarkan oleh Salman Rushdie mengenai imigrasi dan pengungsi ilegal sangat memikat hati nurani kita.
Mari kita lihat lebih lapang. Ini sebuah novel, karya sastra yang harus dipahami sendiri. Membaca novel tidak sama dengan membaca statemen. “Soal isinya yang menghina Nabi, saya sendiri juga tidak setuju,” ungkap Gus Dur sambil melirik Luqman di sebelahnya.
“Apa bedanya dengan Sidartha-nya Hella S. Hasse, Ernest Hemingway atau William Faulkner, yang juga berisi renungan,” sambung Gus Dur. Bagi Gus Dur, apa yang dilakukan oleh Salman Rushdie lewat kisah Mahond dalam novel tersebut, serupa dengan apa yang dibawa Nietzsche dalam Zarathustra (tokoh sakral dalam agama Zoroaster) (NU.or.id, 26/12/2020).
Pada dasarnya, Gus Dur ingin mengatakan bahwa tidak setiap hal yang kita tidak sukai harus diperlakukan secara emosional. Apalagi, terkait hal keagamaan yang memang sensitive, meski Gus Dur mengajak masyarakat agar menyikapi dengan bijak. Bagi Gus Dur, Salman diibaratkan orang gila yang melempar masjid. Apa orang gila musti dibunuh? Jawabannya tentu tidak. Lebih baik diingatkan atau ditertawakan saja. Gus Dur menilai bahwa reaksi keras umat Islam disebabkan kondisi mereka labil hingga menjadikannya sensitif pada berbagai masalah.
Gus Dur mencontohkan, di Amerika Serikat pernah ada pengarang yang menulis Hagarisme, salah satu sekte Yahudi yang bersumber dari Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim. Orang Yahudi tidak ribut, sebab mereka sudah mengonotasikan buku itu salah. Sama saja orang membaca buku Stalin tentang Tuhan. Orang hanya tertawa jika membacanya (NU.or.id, 26/12/2020).
Sikap Gus Dur terhadap Salman Rushdie yang jelas menistakan agama bisa menjadi contoh bagi umat Islam saat ini. Bahwa kekerasan dalam menyikapi perbedaan pendapat atau hal-hal yang tidak disukai bukanlah sikap yang benar.
Jika kita kembali kepada tragedi yang dialami oleh Ade Armando di atas, mungkin apa yang disebut Gus Dur benar, bahwa mereka masih terlalu labil memahami agama sehingga merasa sensitif pada suatu persoalan yang harusnya disikapi biasa saja.
Iya, Ade Armando memang terkenal keras dalam mengkritik, ia juga kerap mengeluarkan statemen kontroversial terhadap oposisi, mengecam tindakan kelompok radikal, dan melontarkan komentar-komentar yang tidak biasa di telinga masyarakat. Namun, hal ini tidak berarti Ade Armando berhak disiksa bahkan dibunuh. Masyarakat harus banyak belajar bagaimana cara menyikapi perbedaan secara dewasa.
Yang paling penting adalah bagaimana kita mengatur diri dalam menyikapi hal-hal yang tidak kita sukai. Ya, mungkin Ade Armando tidak disukai karena terlalu pro terhadap penguasa. Namun sikap tidak suka tersebut bukan berarti jadi pembenaran untuk melakukan tindak kekerasan.
Marilah kita merenung sejenak. Dalam kehidupan, kita akan menghadapi jutaan warna warni pikiran manusia yang saling berbeda. Setiap isi kepala punya pandangan yang tidak sama, sehingga perbedaan dan ketidaksukaan harus disikapi sebagai realita biasa bukan sebagai musuh yang harus dilenyapkan.
Referensi
Rahman, Fazlur. 2018.Islam: Sejarah Pemikiran dan Peradaban,terj. Irsyad Rafsadie, Bandung: Mizan
https://www.beritasatu.com/amp/nasional/46327/diusir-fpi-irshad-manji-tinggalkan-salihara-dikawal-polisi, diakses pada 20 April 2022, pukul 12.03 WIB
https://jabar.nu.or.id/ngalogat/gus-dur-tentang-ayat-ayat-setan-pq3JX, diakses pada 20 April 2022, pukul 15.30 WIB.
https://m.kumparan.com/amp/roziqin-ibnu-matlap/menolak-kekerasan-atas-nama-agama-21dM5TZHDF, diakses pada 20 April 2022, pukul 03.00 WIB.
https://m.liputan6.com/news/read/2882270/jenazah-nenek-hindun-ditelantarkan-warga-setelah-pilih-ahok, diakses pada, 20 April 2022, pukul 14.00 WIB.
https://news.detik.com/berita/d-1592329/paket–bom-untuk-ulil-terselip-di-buku-mereka-harus-dibunuh, diakses pada 20 April 2022, pukul 13.28 WIB
https://www.suara.com/news/2022/04/11/185231/jawab-tuntutan-mahasiswa-soal-tunda-pemilu-dan-presiden-tiga-periode-dpr-sebut-cuma-ramai-di-media-saja, diakses pada 20 April 2022, pukul 13.20 WIB.
https://amp.tirto.id/nasr-hamid-abu-zayd-tafsir-quran-dan-islam-senyum-ala-indonesia-fsl6 diakses pada 21 April 2022, pukul 13.20 WIB
“Pria Tendang Sesajen di Semeru Sudah Diketahui, Polisi Pinta Segera Menyerahkan Diri – Pedoman Tangerang” https://pedomantangerang.pikiran-rakyat.com/ragam-populer/pr-073458908/pria-tendang-sesajen-di-semeru-sudah-diketahui-polisi-pinta-segera-menyerahkan-diri diakses pada 21/04/2022 pukul 14.44 WIB

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com