Bahaya Cancel Culture

    833

    Istilah cancel culture memang sedang naik daun akhir-akhir ini. Sudah banyak kasus bagaimana seorang public figure yang beropini akan suatu hal, lantas muncul kelompok yang berseberangan, di mana ia lantas menuntut agar yang bersangkutan di “cancel” dengan cara mematikan karier ataupun pengaruh bersangkutan.

    Saya sendiri mendefinisikan cancel culture bukan sekedar aktivitas di sosial media semata, namun juga aktivitas di dunia nyata. Jika kita melihat di luar negeri, seperti di Amerika Serikat, budaya “membatalkan” ini bisa kita lihat dengan serangkaian aksi massa dari kalangan “kiri” yang membatalkan acara-acara yang mengundang tokoh-tokoh tertentu karena memiliki pandangan yang berseberangan. Misalnya, siapapun yang tidak setuju bahwa rasisme adalah penyebab dari semua masalah, akan dicap sebagai rasis. Pembicara non-kiri sering tidak diundang setelah protes dan tenggelam dalam ejekan massa.

    Di lembaga akademis misalnya, seorang profesor dapat di tekan untuk menghindari topik-topik tertentu yang “sensitif”. Bahkan, para komedian pun tidak luput dari serangan ini. Lebih lucu, ada juga kasus di mana sebuah kursus yoga dibatalkan hanya karena kursus yoga itu dianggap sebagai bentuk “perampasan budaya” (Pinker, 2019).

    Melihat geliat budaya “membatalkan” ini, saya menjadi ngeri sendiri. Bayangkan jika kelompok-kelompok semacam ini menduduki kursi-kursi kekuasaan. Mereka yang berbeda pendapat sedikit akan disensor. Aktivitas-aktivitas akademik akan dibatasi untuk tidak membicarakan topik-topik yang sensitif dan bahkan acara-acara kebudayaan akan dihentikan karena bisa dianggap perampasan budaya.

    Sederhananya, jika kelompok semacam ini menduduki kursi kekuasaan, maka rezim kekuasaan itu akan berubah menjadi fasis. Namun jangan salah, budaya membatalkan atau cancel culture ini tidak hanya berhenti pada kalangan kiri saja.

    Jika sebelumnya saya sudah memaparkan kasus budaya “membatalkan” dari kubu kiri atau yang sering disebut secara pejoratif sebagai Social Justice Warrior (SJW) atau pejuang keadilan sosial, budaya yang sama juga sebenarnya juga di lakukan oleh banyak pihak di negeri ini. Mulai dari kalangan konservatif religius sampai kubu-kubu politik yang saling bertarung, masing-masing saling membatalkan opini satu sama lain hanya karena opini yang berbeda pandangan.

    Kita bisa lihat misalnya di Pilpres 2019 kemarin, bagaimana budaya membatalkan ini tersebar secara merata di kedua belah kubu yang bersaing baik petahana maupun opoisi. Masing-masing pihak saling mematikan pengaruh akademik, intelektual, dan juga influencer yang berada di kedua belah kubu.

    Aksi-aksi ini juga berujung pada tindakan di dunia nyata berupa persekusi yang marak terjadi. Hal yang sama juga marak dilakukan oleh aparatus negara yang doyan melakukan pembubaran diskusi, pemberangusan buku, dan aksi-aksi damai yang di lakukan oleh sejumlah kalangan di negeri ini. Sederhananya, budaya membatalkan ini menyebar secara merata hampir di berbagai kalangan, mulai dari mereka yang dicap sebagai SJW sampai kalangan-kalangan yang dicap sebagai cebong maupun kampret.

    Saya sendiri melihat ada kesenangan tersendiri bagi kalangan yang melakukan budaya membatalkan ini, dan sangat mungkin budaya semacam ini menyebar dikarenakan rasa kepuasan yang dihasilkan tersebut. Meski demikian, bagi saya, tindakan seperti ini jelas tidak masuk akal. Ada beberapa alasan mengapa saya katakan tidak masuk akal

    Pertama, Mengapa kita harus repot-repot melakukan pembatalan pada opini yang berbeda dengan apa yang kita yakini? Kenapa kita tidak melakukan dialog atau debat yang persuasif atau berdasarkan pada argumen-argumen logis yang, kalau perlu, didasarkan pada data-data yang relevan dan kredibel secara ilmiah? Kalaupun tidak setuju, mengapa tidak menyerang menggunakan argumen yang sistematis, ilmiah, dan logis? Mengapa harus langsung marah dan memilih pembatalan sebagai jalan keluarnya?

    Dialog, debat terbuka, dan saling serang argumen justru lebih asyik dan menyenangkan. Sedangkan, melalui pembatalan, apa yang bisa kita dapatkan? Mengalahkan lawan yang kita tidak setujui dengan cara menelanjangi argumennya di muka umum, jelas lebih baik daripada sekedar memberikan pelarangan.

    Kedua, kebenaran harus selalu diuji tanpa henti, dibenturkan, diadu secara terus menerus. Jika ia lolos dari ujian tersebut, kebenaran akan semakin kokoh. Bahkan, kalau memang apa yang kita yakini itu benar, kenapa kita harus takut berdebat secara argumentatif dengan kalangan yang berseberang paham dengan kita? Melakukan budaya membatalkan tidak akan menyelesaikan perkara dan masalah. Saya ambil kasus contoh kasus musisi Jerinx dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

    Saya tentu tidak setuju dengan Jerinx dalam kasus ini. Meski demikian, memenjarakan Jerinx tentu tidak menyelesaikan perkara. Justru dengan memenjarakan Jerinx akan menjadikan Jerinx sebagai martir bagi mereka yang percaya akan teori konspirasi. Solusi rasionalnya adalah IDI mengundang Jerinx untuk berdiskusi secara publik, kalau perlu berdebat, dengan masing-masing memaparkan argumen berdasarkan data.

    Ada argumen yang bagus berasal dari filsuf John Stuart Mill dalam karya kecilnya berjudul On Liberty, jika kita membungkam paksa suatu opini yang berbeda dengan apa yang kita percayai, maka kita kehilangan dua kesempatan berharga. Jika opini tersebut benar dan kita salah, kita kehilangan kesempatan untuk merubah pendirian kita ke arah yang benar (Mill, 2005).

    Namun, jika opini itu salah dan kita benar, kita kehilangan kesempatan menambah pengetahuan dan pemahaman yang mendalam mengapa kita benar dan opini tersebut salah. Jika kita hanya mengetahui sesuatu dari sisi kita, tanpa mengetahui suatu opini pembanding, maka kita bahkan tidak akan bisa memahami mengapa kita benar kalau memang benar. Argumen kita akan menjadi basi, dan dengan segera hanya dipelajari dengan menghafal, tidak teruji karena setiap opini pembanding selalu dibungkam, dan apa yang kita anggap sebagai “kebenaran” berubah menjadi dogma yang kaku, pucat, dan tak bernyawa.

    Ketiga, bertentangan dengan sikap ilmiah. Carl Sagan, dalam bukunya “The Demon Haunted World”, menyatakan bahwa sains menekankan dua aspek. Pertama, keterbukaan atas seluruh ide, seberapa aneh dan tidak masuk akalnya ide tersebut. Kedua, seleksi yang sangat kritis atas seluruh ide tersebut dengan standar pembuktian yang ketat (Sagan, 2019).

    Dalam hal ini, kita harus membuka pikiran akan kemungkinan kebenaran suatu ide, narasi, atau pemikiran, seaneh apapun itu. Meski secara bersamaan kita juga harus memeriksa bukti-bukti yang mendukung ide tersebut dengan ketat dan selektif. Saat seseorang mengungkapkan suatu opini, jangan keburu menghakimi, dan mencoba untuk bersabar.

    Kita harus melakukan pemeriksaan dulu, lihat apakah orang yang memaparkan opini tersebut bisa memaparkan bukti-bukti yang bisa diperiksa oleh setiap orang (asas verifikasi) dan bisa diamati (asas empirisme) dan dengan metode yang jelas. Jika dia bisa melakukannya, maka dia benar. Jika tidak sesuai, berarti opini dia memang salah.

    Tentu saja, tidak setiap orang bisa berargumen semacam itu. Namun, coba tanyakan pada diri kita masing-masing, kita ini mau jadi manusia yang bernalar yang mengandalkan argumen dan bukti, atau hewan buas yang asal serang saat menemukan hal yang berbeda dengan apa yang kita percayai?

    Terakhir, saya mau mencatat sebuah prinsip dari kebebasan berpendapat dari Evelyn Beatrice Hall, “saya mungkin tidak setuju dengan Anda, tapi saya akan memperjuangkan sampai mati hak Anda mengatakan hal tersebut.

     

    Referensi

    Mill, John Stuart. 2005. On Liberty: Perihal Kebebasan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

    Pinker, Steven. 2019. Enlightenment Now: Pencerahan Sekarang Juga, Membela Nalar, Sains, dan Humanisme. Manado: CV. Global Indo Kreatif.

    Sagan, Carl. 2019. The Demon-Haunted World: Sains Penerang Kegelapan. Jakarta: KPG.