Dalam interaksi pasar, untuk mendapatkan keuntungan kita mesti terlibat dalam kegiatan yang dirancang untuk melayani orang lain dan memahami kebutuhan mereka.
Apa konsekuensinya? Perdagangan membuat kita memahami orang-orang di lingkungan kita, atau bahkan orang yang tidak kita kenal. Dan lebih penting lagi, hal itu juga membuat kita sadar bahwa orang lain sangat mirip dengan kita, bahkan jika mereka berbicara dalam bahasa asing atau memiliki kebiasaan atau tradisi yang berbeda. Dengan demikian, setiap orang dituntut untuk saling memahami dan menghindari konflik dalam berinteraksi di pasar yang bebas.
Tapi para pengkritik pasar bebas selalu memiliki perasaan tidak suka ketika melihat orang-orang mampu hidup damai lewat interaksi pasar. Mereka gelisah menyaksikan bagaimana kompetisi antara individu melemahkan solidaritas kolektif, dan berusaha mengupayakan kembalinya ide komunitarian dan nasionalisme yang telah redup. “Kapan kalian pernah melakukan kebaikan atas dasar kemanusiaan yang murni?”, tanya Marx.
Keberatan semacam ini tentunya tak berdasar. Ketidaksukaan ini lebih didorong oleh motif kebencian ketimbang argumen intelektual. Kebanyakan orang yang anti-pasar bebas hari ini mendasarkan penolakannya pada keberatan semacam ini. Untuk itu, marilah kita lihat bagaimana pasar membuat kita lebih beradab, ketimbang seperti yang mereka tuduhkan.
Jika kita mengaitkan dengan hukum Jean Baptiste Say, atau “Law of Imputation”-nya Carl Menger, kita akan melihat bagaimana pasar membuat orang-orang tidak hanya saling memberikan keuntungan lewat pertukaran, melainkan juga dituntut untuk saling memahami.
Permintaan kita di pasar menentukan barang apa yang mesti diproduksi oleh produsen, yaitu barang yang dapat memuaskan keinginan konsumen secara efektif. Dalam konteks ini, para produsen tidak hanya perlu berkomunikasi dengan konsumen, tapi juga memahami kebutuhan konsumen. Jika tidak, maka mereka melakukan usaha produksi mereka untuk tujuan yang sia-sia.
Sebaliknya, produsen akan mendapatkan keuntungan secara pribadi dari mempelajari apa yang orang lain inginkan, baik keinginan mereka saat ini maupun keinginan mereka di masa depan, dan kemudian memproduksinya untuk konsumen. Jika diperhatikan, mengapa masih diragukan kalau pasar dapat membuat kita lebih beradab? Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa akan selalu ada dorongan untuk menghargai dan memahami orang lain di samping kebutuhan mencari profit.
Tapi masih banyak orang yang meragukan interaksi sukarela tersebut, sehingga mereka tidak bisa membayangkan hidup mereka tanpa intervensi negara dalam setiap keputusan mereka. Mereka merasa perlu ada otoritas yang berkuasa penuh untuk bisa membendung risiko-risiko di masa depan atau kejahatan-kejahatan yang diyakini oleh mereka (secara lahir batin) inheren di dalam pasar. Misalnya dengan kelahiran negara kesejahteraan.
Seperti yang dianalisis oleh Per Bylund, bahwa apa yang terjadi dari abad yang lalu dengan bangkitnya negara kesejahteraan sebetulnya didukung oleh ikatan berbasis pasar atau market-based bonds. Dia berpendapat dengan berkembangnya negara, banyak orang menemukan posisi mereka dalam ekonomi dan masyarakat dengan tidak perlu lagi melayani atau memahami orang lain. Dengan kata lain, negara telah memungkinkan kita hidup dengan tidak produktif dari apa yang orang lain telah hasilkan.
Apa yang terjadi kemudian jika ikatan harmonis dan sukarela ini terputus? Orang-orang akan kehilangan dorongan untuk memahami satu sama lain, dan memungkinkan seseorang lebih rentan dalam berbuat kejahatan. Ketika negara mulai berkembang dan menggantikan masyarakat sipil dengan sistem ekonomi terpusat, masyarakat juga kemudian akan berhenti untuk saling mempelajari dan memahami satu sama lain. Orang-orang akan memandang satu sama lain sebagai penghalang, ketimbang teman untuk bekerja sama.
Memang kita tidak bisa mengingkari bahwa selalu ada orang jahat di dalam pasar. Tapi selalu ada konsekuensi yang diterima oleh individu yang melakukan kejahatan tersebut. Intinya, kejahatan selalu akan tereliminasi dari pasar karena setiap orang pada dasarnya menginginkan kebaikan dalam hidup. Pertukaran suka rela dalam konteks pasar adalah cara paling bermoral dari pada sistem-sistem alternatif yang lain, kalau bukan lebih beradab. Sehingga kalau sistem alamiah itu diganti atau dihapus, sama halnya seperti menghapus moralitas itu sendiri.
Tidak jarang bila orang-orang mengalami kesulitan memahami gagasan harmonis pasar di saat negara telah mengasingkan mereka dari ketergantungan produktif seperti yang dijelaskan oleh hukum Say. Kerjasama informal dan spontanitas pasar untuk saling menguntungkan dalam masyarakat bebas, hampir sepenuhnya digantikan oleh pola pikir “negara-isme” (statisme), yang mencari jaminan hidup lewat intervensi artifisial. Ini tentunya pandangan yang merusak, dan bertentangan dengan hukum alam.

Hendra Mangopa adalah anggota yang aktif di lingkaran Mises Club Indonesia dan penggiat di Amagi Indonesia, Organisasi Non Pemerintah yang didasarkan pada prinsip Libertarianisme, ingin membawa tradisi pemikiran Mazhab Austria ke dalam perbincangan ekonomi kita saat ini. Upaya Amagi diawali dengan pembukaan lingkaran studi bernama Mises Club Indonesia yang berpusat di Manado, Sulawesi Utara.