Cerita kali ini akan mengangkat satu diskusi pada Program Podcast “Power Problems”, Cato Institute, terkait dengan isu krisis di Ukraina. Galang Taufani, Editor Pelaksana Suara Kebebasan mengangkatnya dari portal Cato Institute.
Podcast yang mengetengahkan judul “Bagaimana Menyelesaikan Konflik Ukraina” dihadiri oleh Quincy Institute Senior Fellow, Anatol Lieven, sebagai narasumber. Acara ini dipandu oleh Adjunct Scholar, Cato Institute, John Glasser.
Pada prolognya Anatol mencoba menjelaskan bahwa ia akan membahas asal-usul konflik yang sedang berlangsung di Ukraina, perspektif strategis Rusia dalam persoalan Ukraina, ekspansi NATO (North Alantic Threaty Organization), dan bagaimana tantangan Pemerintahan Biden seharusnya dalam menyelesaikan persolan Ukraina.
Pembahasan mengenai aspek bagaimana tensi antara Rusia dan Ukraina, serta menarik NATO, yang didorong oleh Amerika Serikat (AS) dan Barat, menjadi pembahasan yang krusial dimana eskalasi awal muncul. Seperti diketahui bahwa Rusia telah menaruh banyak tentara dan kekuatan militer di sekitar perbatasan Ukraina. Hal ini berseberangan dengan bagaimana NATO beroperasi di daerah satelit, khususnya kawasan Eropa Timur. Walaupun pada dasarnya Rusia mengakomodasi kepentingan NATO secara umum, namun terkait dengan posisi NATO di Ukraina, memunculkan ketegangan bagi Rusia.
Seperti diketahui, bahwa tendensi Rusia akan hubungan ribuan tahun dengan Ukraina menjadi selubung kepentingan nasional Rusia saat ini. Sebut saja, ada minoritas yang besar Rusia di Ukraina yang tentu berakar dari Budaya Rusia dan sejarah panjang Rusia.
Hal yang mendecak dalam konflik ini adalah bagaiman Rusia menekan agar Ukraina tidak beraliansi dengan AS dan Barat. Lebih dari itu, Rusia menujukkan determinasi yang begitu dalam seolah bersiap untuk melakukan perang. Hal ini juga dipicu oleh bagaimana situasi yang ditakutkan oleh Rusia di mana Ukraina akan terlibat bersama NATO untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina.
Konflik antara Rusia dan Ukraina, tampak akan berjalan dengan panjang. Banyak pemicu yang muncul diantaranya tindakan Pemerintah Ukraina untuk melarang penggunaan bahasa Rusia. Sehingga, tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan kedekatan antara pihak akan semakin sulit dan berpotensi memperuncing pada rusaknya sendi-sendi utama hubungan baik antara dua negara yang bisa berlanjut pada generasi selanjutnya yang menggantikan. Kekhawatiran itu, tak pelak mendorong untuk membujuk AS dan Barat agar tidak larut dengan potensi ekskalasi yang dapat memicu perang.
Rusaknya perjanjian dan Kegagalan Gencatan Senjata
Terlepas dari konflik yang terjadi berkepanjangan, seperti diketahui, tahun 2015 Kyiev dan Moscow telah mencapai kesepakatan gencatan senjata. Namun, persoalannya selanjutnya adalah sampai saat ini perjanjian itu tidak pernah terlaksana dengan baik.
Anatol memberikan jawaban yang sangat tegas, bahwa dalam kasus munculnya Revolusi Ukraina pada tahun 2014, luapan kemarahan terhadap Rusia adalah karena melakukan dua hal: okupasi dan aneksasi. Aneksasi yang terjadi terhadap Crimea misalnya membuktikan bahwa bagian tersebut saat ini adalah bagian dari Rusia.
Selain itu, bahwa Rusia turut menjadi pendukung bagi para milisi dan kelompok separatis di wilayah Donbass, yaitu masyarakat pro-Rusia yang ada di Ukraina Timur. Bahkan, mengakibatkan perang dengan skala kecil yang menumpahkan dari hingga empat belas ribu korban nyawa hingga kini, baik itu dari milisi dan kelompok separatis maupun dari tentara Ukraina.
Meskipun demikian, wacana tentang pemberian otonomi khusus di wilayah Donbass, diikuti dengan demiliterisasi, sempat menjadi solusi bagi penyelesaian ekskalasi yang ada. Namun, internal Ukraina menjadi persoalan yang sangat serius, dimana kesepakatan yang sudah hampir disepakati oleh Pemerintah Ukraina dan Rusia ini ditentang oleh masyarakat dan menjadi perdebatan di parlemen karena wacana ini dianggap keliru. Kondisi internal seperti masyarakat, parlemen, Pemerintah Ukraina dan Rusia, serta Barat sebagai pihak yang memfasilitasi kesepakatan tersebut, akhirnya berakhir pada kondisi yang tidak terselesaikan dengan baik.
Menetralkan Ukraina
Krisis Ukraina, yang membawa pada krisis antara Rusia dan Barat tidak dapat dipungkiri menjadi isu yang tidak dapat diniscayakan. Oleh karena itu, permintaan Rusia agar Ukraina netral, yaitu tidak dilibatkan untuk bergabung NATO, akan memberikan kejelasan bagaimana penyelesaian terhadap persoalan geopolitik yang sedang berkembang di kawasan tersebut.
Anatol menyinggung tentang potensi jembatan emas krisis saat ini adalah antara Rusia dan Barat, dan netralitas Ukraina. Mengacu pada Austrian State Treaty pada tahun 1955, di mana pasukan pendudukan Barat dan Soviet menarik diri dari negara itu, memungkinkannya berkembang sebagai negara merdeka yang sukses dan demokratis. Alasan tambahan bagi Barat untuk menyetujui netralitas Ukraina adalah karena hal ini akan memblokir aliansi Ukraina dengan Rusia. Kerugian yang ditimbulkan oleh hal ini terhadap kepentingan Rusia jauh lebih besar daripada kerugian bagi kepentingan Barat.
Fakta bahwa perjanjian Soviet-Finlandia tahun 1948 yang menetapkan netralitas Finlandia dalam Perang Dingin juga mengesampingkan Komunis di Finlandia menjadi contoh pada akhirnya memungkinkan Finlandia untuk berkembang sebagai negara demokrasi dan pasar bebas yang sukses, serta mendorong penarikan pangkalan militer Porkkal, yang dengan perjanjian Soviet bisa bertahan selama 40 tahun. Pemerintah Ukraina seharusnya beruntung jika bisa mendapatkan perjanjian seperti ini.
Tantangan Demokrasi
Pada sepanjang diskusi, Anatol mengemukakan beberapa prinsip penting bagaimana seharusnya sikap para pihak. Tantangan dalam konflik geopilitik ini harus diselesaikan dengan cepat, dan taktis, agar tidak menjadi persoalan yang berlarut. Oleh karena itu, isu pemerintahan dan bagaimana masing-masing pihak segera bertindak dengan cepat adalah suatu keharusan.
Selain itu, gagasan terhadap perlunya membangun kredibilitas NATO dengan cara berperang melawan Rusia adalah hal yang perlu dikaji. Apakah AS perlu memindahkan ribuan militer ke Eropa adalah hal yang harus didiskusikan dari sisi dampak yang akan muncul.
Lantas, bagaimana melihat dan membaca konflik yang berujung pada krisi Ukraina ini? Pertama, adalah bagaimana prinsip-prinsip non agresi harus dijadikan prinsip dalam konteks penyelesaian konflik yang terus berkembang. Kedua, bahwa situasi yang terjadi dalam konflik di Ukraina harus dilihat secara komperhensif bahwa perdebatan berkaitan dengan ketakutan Rusia terhadap ancaman NATO, dan bagaimana kedekatan Ukraina dan NATO tidak boleh menjadi meluasnya ekskalasi perang. Ketiga, Barat harus menunjukkan sikap yang tepat dan mengatasi persoalan dalam rangka untuk mengakomodasi kepentingan situasi ini.
Sumber: https://www.atlasnetwork.org/stories/after-a-daring-escape-from-kabul-a-new-mission, diakses pada 24 Januari 2022, pukul 20.30 WIB.

Galang Taufani adalah Managing Editor di Suara Kebebasan. Galang adalah lulusan program Sarjana Hukum (2013) dan Magister Hukum (2016) di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Sebelum bergabung di Suara Kebebasan, Galang pernah bekerja sebagai wartawan, peneliti, dan dosen sejak tahun 2013. Galang menulis banyak karya berupa buku, jurnal, dan artikel ilmiah. Bidang yang digeluti olehnya, yaitu adalah bidang Hukum, Kebijakan Publik, Pajak, Filsafat, dan Sastra.