Artikel Dasar Libertarianisme kali ini akan membahas mengenai sejarah bagaimana terbentuknya dokumen Magna Carta di Inggris pada tahun 1215 . Suara Kebebasan mengambil pembahasan mengenai hal ini dari artikel “War and Taxes: What Prompted the Magna Carta?” yang ditulis oleh Lawrence W. Reed di portal fee.org.*
Magna Carta, atau The Great Charter, secara umum dianggap sebagai salah satu dokumen politik paling penting dan berpengaruh yang pernah dituliskan di dunia. Dokumen tersebut memainkan peran yang sangat penting dalam sejarah perkembangan demokrasi dan hak asasi manusia.
Lebih dari 800 tahun sejak dituliskan, Magna Carta tetap dipelajari di berbagai universitas di seluruh dunia. Namun ternyata, Magna Carta sendiri memiliki sejarah yang sangat unik.
Sejarah Magna Carta sendiri sangat terkait dengan kebijakan pajak yang diberlakukan di Inggris pada awal abad ke-13. Pada tahun 1189, atau 26 tahun sebelum dituliskannya Magna Carta, Richard “The Lionheart” dinobatkan sebagai Raja Inggris. Selama satu dekade sejak ia menjadi Raja Inggris, Richard menghabiskan sebagian besar waktunya di luar Inggris untuk pergi berperang, seperti melawan Prancis dan juga melawan Kekhilafahan Islam.
Perang yang dilakukan oleh Richard tersebut tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tidak ada perang yang membutuhkan sedikit uang. Untuk dapat memenuhi hal tersebut, Richard memberlakukan pajak yang sangat tinggi bagi para pemilik lahan di Inggris, hingga mencapai 50%.
Pada tahun 1192, Richard pulang ke Inggris setelah berperang dengan Saladin di Jerusalem. Di jalan, ia ditangkap di Jerman oleh Kaisar Kekaisaran Romawi Suci (Holy Roman Empire), Raja Henry VI, dan ia mengatakan akan membebaskan Richard dengan uang tebusan.
Di Inggris, ibunda dari Raja Richard, Eleanor of Aquitaine, akhirnya berupaya mengumpulkan uang untuk membayar uang tebusan tersebut, tentu salah satunya adalah melalui pajak. Setelah uang tebusan dibayarkan, Richard akhirnya dilepaskan dan kembali ke kampung halamannya di Inggris. Beberapa minggu setelah kembali ke Inggris, Richard akhirnya kembali berperang, kali ini dengan Prancis. Raja Richard sendiri akhirnya meninggal karena luka yang dideritanya akibat perang tersebut pada tahun 1199, dan ia digantikan oleh saudaranya, John.
Raja John dalam hal ini berupaya untuk meneruskan peperangan yang dimulai oleh saudaranya, Richard. Untuk memenuhi kebutuhan perangnya, ia juga menerapkan pajak yang sangat tinggi, dna juga merampas berbagai hewan ternak seperti kuda yang dimiliki oleh para pemilik tanah. Tidak hanya itu, para pedagang di Inggris juga secara semena-mena dimintakan uang dan tidak jarang mereka juga dipaksa untuk menjadi pekerja apabila John ingin membangun infrastruktur tertentu, seperti jembatan.
Tindakan semena-mena yang dilakukan oleh Raja John ini membuat banyak warganya, khususnya kaum bangsawan pemilik tanah, menjadi murka dan geram. Mereka seakan tidak memiliki hak atas harta benda yang mereka miliki, karena bisa dengan mudah dirampas oleh Raja dengan semena-mena.
Akhirnya, pada tahun 1215, para bangsawan di Inggris, dengan dukungan dari masyarakat luas, bersatu untuk menentang tindakan semena-mena dari Raja John tersebut. Mereka akhirnya membuat perjanjian yang bertujuan untuk menjamin hak-hak mereka, dan menuntut Raja John untuk menandatangani perjanjian tersebut, yang kini dikenal dengan nama Magna Carta.
Beberapa poin penting dalam perjanjian tersebut diantaranya adalah, tidak boleh ada seseorang yang dipaksa untuk membangun bangunan, Raja tidak boleh mengambil paksa hasil tani ataupun hewan ternak yang dimiliki warganya secara paksa tanpa kesediaan pemiliknya. Selain itu, para pedagang juga harus dibolehkan untuk bebas berdagang antar kota tanpa dikenakan biaya tertentu, tidak boleh ada pajak yang dikenakan untuk perang secara sepihak tanpa perundingan dan tanah atau bagunan yang diambil paksa oleh kerajaan harus segera dikembalikan kepada pemiliknya yang semula.
Akhirnya, peristiwa yang sangat penting dalam sejarah perkembangan kebebasan manusia telah muncul. Namun, bukan berarti permasalahan menjadi selesai. Raja John menentang perjanjian tersebut, dan menolak menandatanganinya. Hal ini menyebabkan pecahnya perang yang dikenal dengan nama First Baron’s War antara kaum bangsawan dengan kerajaan.
Raja John sendiri akhirnya meninggal pada tahun 1216, dan digantikan oleh putranya, Henry III. Henry III berupaya merevisi sebagian pasal yang tercantum di dalam dokumen tersebut, namun ia gagal membangun konsolidasi politik. Ia akhirnya setuju untuk tunduk pada dokumen Magna Carta tahun 1225 yang sudah mengalami sedikit perubahan.
Sebagai penutup, meskipun gagal diimplementasikan, namun dokumen Magna Carta 1215 merupakan salah satu dokumen terpenting dalam sejarah perkembangan demokrasi dan hak asasi manusia. Dokumen tersebut merupakan salah satu dokumen pertama yang tercatat yang berisi pembatasan kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa terhadap rakyatnya, dan telah menginspirasi berbagai dokumen konstitusi dan kovenan hak asasi manusia, salah satunya adalah Konstitusi Amerika Serikat.
Sangat patut tentunya, sejarah dari dokumen yang sangat monumental ini untuk terus kita pelajari dan kita ingat. Bahwa, perjuangan melawan kesewenang-wenangan penguasa membutuhkan waktu yang sangat panjang.
*Artikel ini diambil dari artikel yang ditulis oleh Lawrence W. Reed yang berjudul “War and Taxes: What Prompted the Magna Carta?”. Link artikel: https://fee.org/articles/war-and-taxes-what-prompted-the-magna-carta/ Diakses pada 3 Juli 2021, pukul 22.35 WIB

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.