
Sebut saja namanya Fatimah. Fatimah adalah gadis perempuan yang bersemangat untuk menggapai cita-citanya. Fatimah dibanggakan oleh ayah dan ibunya. Gadis tersebut sangat sopan, cantik, pintar, dan selalu mendapat penghargaan di sekolahnya.
Keluarga Fatimah tak bisa dikategorikan sebagai orang berada. Ayahnya adalah petani dan sang ibu bekerja mengurus keluarga karena sang ibu tak memiliki keterampilan lain selain mengurus rumah. Fatimah ingin mengubah itu, ia ingin menjadi perempuan yang mandiri dan kelak dapat bekerja demi memperbaiki ekonomi keluarga.
Namun, harapan Fatimah nampaknya hanya jadi lelapan mimpi semata. Negerinya, Afghanistan, kembali direbut oleh milisi Taliban, sebuah organisasi yang memiliki pandangan konservatif dalam memahami agama. Mereka berusaha melanggengkan sistem patriarki dan mendudukkan posisi perempuan sebagai makhluk nomor dua dalam kasta sosial.
Kisah Fatimah di atas adalah cerita pembuka yang menggambarkan kegetiran perempuan dalam kungkungan konservatisme. Taliban memiliki penafsiran sendiri terhadap Islam sehingga mereka membatasi aktivitas dan peran perempuan di muka publik.
Beberapa waktu lalu, Rezim Taliban mengumumkan bahwa mereka menunda perempuan untuk kembali ke sekolah. Taliban menghentikan sementara seluruh kegiatan pembelajaran dan aktivitas pendidikan untuk pelajar putri di atas kelas enam. Taliban beralasan mereka sedang menyusun konsep yang tepat untuk mendidik kaum perempuan dan mengatur pakaian yang tepat (Detik.com, 23/03/2022). Hal ini tentu menimbulkan kekecewaan para siswi putri yang bersemangat untuk belajar dan menikmati hari-hari yang menyenangkan di sekolah.
Seorang laki-laki yang enggan menyebut namanya kepada media BBC mengatakan putrinya tak berhenti menangis dan sangat kecewa begitu tahu pemerintah Taliban tak membolehkannya kembali bersekolah. “Jika sesuatu terjadi pada anak saya, saya tak akan pernah memaafkan Taliban,” ujarnya (BBC.com, 25/03/2022).
Beda di Afghanistan, beda pula di Iran. Negara Islam Iran juga memiliki kebijakan yang bisa dikatakan diskriminatif terhadap perempuan Muslim di sana. Salah satunya adalah kebijakan pemerintah untuk melarang perempuan datang ke stadion sepak bola untuk melihat pertandingan Iran versus Lebanon di Stadion Mashad.
Diketahui bahwa 2000 orang perempuan sudah memesan tiket tersebut. Hal ini kemudian memicu demonstrasi para suporter perempuan di luar gedung hingga menimbulkan kericuhan. Demonstrasi yang berujung pada kekerasan pada suporter perempuan membuat rakyat Iran marah. Walhasil, pemerintah dan gubernur Mashad saling mengeluarkan pernyataan seolah-olah mereka bersimpati pada suporter perempuan.
***
Kejadian di atas adalah beberapa contoh dari dua negara yang berlandaskan Islam, namun memiliki kebijakan diskriminatif pada perempuan. Hal ini memicu opini publik bahwa Islam tidak memihak pada perempuan atau kesetaraan gender.
Ali A. Rizvi salah satu tokoh ateis yang menulis buku The Muslim Ateis menceritakan pengalamannya yang membuat dirinya keluar dari Islam, salah satunya adalah kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan (Rizvi, 2017).
Tentu saja pernyataan Rizvi ini perlu dikritik. Meskipun penulis tidak menyangkal adanya praktik-praktik diskriminatif terhadap kaum Muslimah di beberapa negara yang berasaskan Islam seperti di Arab Saudi, namun kebijakan politik negara-negara Timur Tengah tersebut tentu saja tidak bisa menjadi landasan untuk membenarkan pernyataan bahwa Islam mendukung diskriminasi perempuan.
Perbedaan Budaya
Jika di atas penulis memberi contoh Iran dan Afghanistan mengenai perlakuan diskriminatif terhadap kaum perempuan, penulis memiliki asumsi bahwa adanya diskriminasi tersebut bukan hanya karena faktor pemahaman agama, tetapi budaya. Sebagaimana umumnya kebudayaan Asia Tengah, budaya patriarki begitu kental. Hal ini berbeda dengan praktik keagamaan di Indonesia yang cenderung memberi ruang bagi perempuan.
Contohnya adalah Muslim Aceh yang dalam sejarah sangat menghormati kedudukan perempuan di Masyarakat. Bahkan terdapat empat sultanah atau raja perempuan di Aceh. Ulama besar seperti Syaikh Nuruddin Ar-Raniry dan Syaikh Abdurrauf Singkel menaruh bai’at ketaatan pada Sultanah Safiatuddin yang mahsyur. Bahkan, Syaikh Nuruddin Ar-Raniry membuat fatwa mengenai kebolehan perempuan menjadi seorang pemimpin dengan syarat seluruh predikat kebaikan, kecerdasan, keadilan, dan cinta rakyat dimiliki olehnya (Republika.co, 03/04/2017).
Snouck Hurgronje, salah satu orientalis terkemuka Belanda, juga mencatat perkembangan Islam di Nusantara yang dalam pandangannya terbilang unik dan cukup berbeda dari tradisi masyarakat Muslim di negara lain, khususnya di Timur Tengah. Salah satu keunikan tersebut dituangkan dalam buku Islam di Hindia Belanda, mengenai tradisi pengucapan shigat ta’liq dalam pernikahan. Shigat ta’liq adalah sebuah prosesi perjanjian di depan para saksi bahwa si suami akan menjaga dan mengayomi sang istri (Hurgronje, 1973).
Dalam shigat ta’liq, mempelai pria diminta untuk berikrar sumpah untuk menjaga, menafkahi, dan menyayangi perempuan yang menjadi istrinya. Jikalau si pria tidak melakukan kewajiban dan juga melakukan kekerasan pada istrinya, maka otomatis talak (cerai) berlaku sehingga si istri diperkenankan untuk kembali ke orang tuanya. Menurut Snouck, ikrar shigat ta’liq ini bertujuan untuk melindungi perempuan. Si perempuan yang mendapat perlakuan kasar, ditelantarkan, atau disakiti oleh suaminya, maka bisa bercerai tanpa meminta izin ke suami. Hal ini berbeda dengan tradisi di Timur Tengah di mana cerai adalah hak preogratif suami (Hurgronje, 1973).
Perbedaan budaya (di mana Indonesia memberikan keleluasaan bagi perempuan) dengan negara Islam lainnya, membuat Indonesia dengan cepat menerima gagasan kesetaraan gender. Banyak ulama muda Indonesia dewasa ini memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap gerakan reformis Muslimah.
Membaca ulang Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an
Pemahaman yang lebih terbuka terhadap kesetaran gender juga diserukan oleh ulama kontemporer, baik dari kalangan perempuan seperti Amina Wadud dan Musdah Mulia, atau ulama laki-laki seperti Kyai Husein Muhammad dan Syaikh Yusuf Qardhawi.
Dalam bukunya, Perempuan dalam Pandangan Islam, Syaikh Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa perempuan juga manusia yang memiliki kedudukan setara dengan laki-laki dan memiliki tanggung jawab keagamaan yang sama. Dalam Al-Qur’an, kata laki-laki dan perempuan selalu diucapkan berkali-kali, seperti dalam Al-Ahzab ayat 35. Ini menandakan bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah setara (Qardhawi, 2007).
Qardhawi juga membantah pandangan sebagian orang yang mengatakan bahwa Nabi Adam berdosa dan jatuh ke dunia karena dosa Siti Hawa. Hal ini menyembunyikan fakta bahwa Allah menyebut keduanya bersalah dan berdosa tanpa memandang gender Adam atau Hawa. Ketika masa jahiliyah, perempuan dianggap kelompok kedua setelah laki-laki. Namun, setelah Islam hadir, perempuan dan laki-laki dianggap memiliki kedudukan setara. Hal ini dicatat lewat beberapa hukum (Qardhawi, 2007).
Pertama, perempuan mendapat hak untuk menjadi saksi atas sebuah perkara, sedangkan di masa jahiliyah kesaksian dan aspirasi perempuan tidak dianggap sama sekali. Kedua, perempuan mendapat hak waris, di mana pada masa jahiliyah, hak waris diidentikkan dengan harta yang diturunkan kepada anak laki-laki. Qardhawi mengatakan bahwa terbentuknya pandangan bahwa laki-laki lebih unggul dari perempuan disebabkan karena masyarakat secara keliru memandang fisik perempuan yang dianggap lebih lemah dari laki-laki dan peran domestik yang dipandang rendah. Hal ini jelas kesalahan besar sebab Islam tidak melihat kesetaraan dari sudut pandang peran sosial atau dari fisiknya (Qardhawi, 2007).
Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa problematika diskriminasi perempuan di Timur Tengah merupakan persoalan kompleks karena ada pengaruh kebudayaan patriarki yang kuat. Hal ini kemudian ikut memengaruhi pola penafsiran mereka terhadap teks-teks kitab suci Al-Qur’an.
Hal ini berbeda dengan daerah yang dalam kebudayaannya sangat tolerir terhadap peran perempuan di lingkungan masyarakat, seperti di Turki dan Indonesia. Dengan demikian, klaim bahwa Islam tidak sejalan dengan semangat kesetaraan gender harus dikritisi, sebab banyak ulama muda kita sudah ‘melek’ gender.
Seperti kata Imam Ali bin Abi Thalib “Al-Qur’an adalah tulisan yang tertera dalam mushaf, ia tidak bisa berbicara dengan lisan, melainkan ada yang memahaminya. Al-Qur’an dibicarakan oleh manusia”. Dengan kata lain, dalam membaca Al-Quran, ideologi dan tradisi sangat memengaruhi penafsiran. Oleh karena itu, tidak aneh jika seseorang yang hidup dalam lingkungan yang patriarkis dan misoginis cenderung mencari ayat-ayat untuk membela pemahaman diskriminatifnya terhadap kaum perempuan. Dan sekali lagi, Islam tidak seperti itu dan Islam mendukung semangat kesetaraan gender.
Referensi
https://www.bbc.com/indonesia/dunia-60847480. Diakses pada 5 April 2022, pukul 23.37 WIB.
Hurgronje, Snouck. 1973. Islam di Hindia Belanda, Jakarta: Bhatara.
Qardhawi, Yusuf. 2007. Perempuan dalam Pandangan Islam, Bandung: Pustaka Setia.
Rizvi, Ali A. 2017. Sang Muslim Ateis: Perjalanan dari Religi ke Akal Budi, Jakarta: Indeks.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com