Artikel Dasar Libertarianisme kali ini akan mengangkat tentang reformasi ekonomi yang terjadi di China. Suara Kebebasan mengambil pembahasan mengenai hal ini dari artikel “How China Became Capitalist” oleh Ronald H. Coase dan Ning Wang di website Cato Institute*, yang membahas mengenai bagaimana transisi ekonomi yang terjadi di China dari negara sosialis menjadi negara yang mengadopsi kapitalisme.
China selama empat dekade terakhir merupakan salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi paling pesat di dunia. Saat ini, China telah berhasil membangun ekonomi yang dapat menandingi Amerika Serikat, dan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia. Salah satu dampak yang paling signifikan dari fenomena tersebut adalah ratusan juta orang di China berhasil terangkat dari kemiskinan ekstrim.
Namun, hal tersebut bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja. Sejak Revolusi Komunis tahun 1949 di bawah pimpinan Mao Zedong, China mengadopsi sistem ekonomi komando yang tertutup di mana negara mengatur seluruh kegiatan produksi. Hasilnya adalah kemiskinan yang semakin meluas, hingga kelaparan yang membunuh puluhan juta jiwa.
Coase dan Ning menulis, pasca tahun 1976, sejak wafatnya Mao Zedong, China melakukan serangkaian reformasi untuk memperbaiki perekonomiannya. Reformasi ini dilakukan dalam dua langkah. Langkah pertama adalah yang dilakukan oleh pengganti Mao, Hua Guofeng, dengan meningkatkan investasi negara di bidang industri berat.
Namun, kebijakan tersebut justru membuat keadaan ekonomi China menjadi semakin memburuh, karena tidak ada keseimbangan antara industri berat dengan industri ringan dan pertanian. Pada tahun 1978, Hua akhirnya diturunkan dari posisinya sebagai pimpinan tertinggi, dan digantikan oleh Deng Xiaoping dan Chen Yun.
Untuk mengatasi ketidakseimbangan tersebut, Deng dan Chen memindahkan investasi dari yang terlalu banyak di sektor industri berat, menjadi ke sektor barang-barang konsumsi dan pertanian. Salah satu reformasi yang penting terjadi pada tahun 1980, ketika untuk pertama kalinya sejak Revolusi Komunis, Pemerintah China memeri izin bagi para petani untuk memiliki dan mengelola tanah pertanian mereka sendiri, yang sebelumnya dikuasai oleh negara.
China sebenarnya sudah memiliki budaya dan sejarah kepemilikan tanah pribadi selama ribuan tahun, sampai dihancurkan oleh rezim komunis di bawah Mao Zedong, ketika Mao secara paksa mengambil alih tanah milik para petani menajdi milik negara, Kolektiviasasi tersebut berakhir pada kematian lebih dari 40 juta orang karena kelaparan karena produksi makanan menjadi berkurang dengan drastis.
Masyarakat China juga akhirnya diperbolehkan untuk membuka bisnis dan usaha mereka sendiri, seperti membuja pertokoan, dan lain sebagainya. Usaha dan bisnis tersebuu juga merupakan hal yang terpisah dari negara. Akibatnya, jutaan usaha baru menjadi muncul, yang dipelopori oleh anak-anak muda, yang meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan reformasi ekonomi yang paling kontroversial adalah dibukanya beberapa wilayah yang dikenal dengan nama Special Economic Zones (Zona Ekonomi Khusus). Di zona tersebut, Pemerintah China melakukan percobaan adopsi ekonomi pasar, di mana wilayah tersebut diizinkan untuk mengimpor teknologi terbarukan, menjual komoditas ke pasar global, dan membuka investasi dari luar untuk menstimulasi ekonomi dan membuka lapangan kerja baru.
Salah satu permasalahan besar terkait dengan reformasi ekonomi adalah sangat terbatasnya pengetahuan mengenai ekonomi dan institusi yang dibutuhkan untuk mendorong ekonomi pasar, pengetahuan mengenai hal tersebut menjadi sesuatu yang dilarang pada masa Mao. Lembaga pendidikan pada era Mao banyak diserang, dan pengetahuan dilihat sebagai hal yang akan merugikan secara politik. Untuk itu, reformasi pendidikan untuk mendapatkan dan meraih pengetahuan baru yang sebelumnya tidak bisa diakses oleh banyak masyarakat China menjadi hal yang sangat penting.
Pemerintah China juga mendorong kompetisi regional antar provinsi, kota, dan perdesaan untuk menarik investasi dan pengetahuan baru. Akhibatnya, China menjadi laboratorium rakssasa di mana terjadi banyak eksperimen dan percobaan ekonomi secara bersamaan untuk melihat cara apa yang terbaik untuk memperbaiki perekonomian negara tersebut, dan mendorong pertumbuhan.
Pada dekade 1990-an, China juga kembali memberlakukan reformasi berupa privatisasi perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh negara. Berbagai kebijakan refromasi ini berhasil membawa China menuju pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat, dan berhasil mengangkat ratusan juta warganya dari garis kemiskinan.
Namun, bukan berarti lantas China menjadi negara yang ideal dan tidak ada masalah lagi yang dihadapi oleh negara tersebut. Coase dan Ning menulis bahwa, sampai saat ini, China masih merupakan negara yang dikuasai oleh satu partai, dan tidak ada proses liberalisasi politik yang terjadi di negara tersebut, meskipun China telah berhasil mengimplemenatsikan berbagai reformas ekonomi pasar.
Apakah sistem politik China dapat bertahan di tahun-tahun mendatang, ini adalah pertanyaan besar yang masih menjadi misteri. Yang pasti, dengan semakin berkembangnya teknologi dan informasi saat ini, pengetahuan menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi yang sangat penting.
Meskipun China memiliki pasar barang dan jasa yang relatif bebas, namun China masih tidak memiliki pasar ide yang bebas. Untuk meningkatkan ekonomi yang semakin bertumpu pada pengetahuan baru, maka adanya pasar ide yang bebas menjadi hal yang sangat penting. Hal inilah yang harus diperhatikan oleh para pembuat kebijakan di China bila mereka tetap ingin untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di negara di tahun-tahun yang akan datang.
*Artikel ini diambil dari Ronald H. Coase dan Ning Wang yang berjudul “How China Became Capitalist”. Link artikel: https://www.cato.org/policy-report/january/february-2013/how-china-became-capitalist Diakses pada 10 April 2021, pukul 15.10 WIB.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.