Kabar duka kembali menyelimuti bangsa ini. Berita kepergian Azyumardi Azra membuat gedung UIN Syarif Hidayatullah yang disebut sebagai “kampus pembaruan” diliputi awan tebal.
Di mata masyarakat, UIN Syarif Hidayatullah atau UIN Jakarta adalah institusi pendidikan yang mencetak kader-kader dakwah Islam moderat.
Tapi di mata para pembenci, kampus UIN Jakarta adalah musuh terbuka karena selalu mengkampanyekan ide-ide demokrasi, kebebasan, reformasi Islam dan masyarakat Madani (civil society).
Tak henti-hentinya para pembenci menebar teror dengan menyebut UIN sebagai kampus sesat, antek kafir, konspirasi Dajjal, dan tuduhan konyol lainnya.
Kampus tempat Azyumardi Azra bernaung dan mendidik insan muda ini tetap saja berkembang meski berusaha untuk di teror bahkan disusupi oleh jaringan ISIS 2014 lalu.
Namun, semua itu gagal, alih-alih mengibarkan bendera radikalisme di UIN, gagasan moderatisme, demokrasi, kebebasan sipil, bahkan kesetaraan gender tetap tegak berdiri di kampus tersebut.
Hal ini tak lain tak bukan karena para “pengawal demokrasi” menjaga dan mengawal kampus ini. Salah satunya adalah Azyumardi Azra.
Meski langkah kakinya sudah sulit, badan semakin menua, namun gagasan dan pemikiran beliau tetap muda dan dapat diterima oleh mahasiswa UIN Jakarta.
Bahkan setelah masuk UIN banyak mahasiswa paham, “oh, ternyata ini demokrasi, “ternyata ini toh Islam moderat”, “ternyata penting ya menjaga kerukunan”.
Jika kita membicarakan proyek kebebasan dan demokrasi, maka suatu hal yang pasti adalah dukungan besar dari masyarakat, sebab masyarakat inilah yang secara langsung akan menikmati kebebasan dan demokrasi.
Namun, dalam arus sejarah perjuangannya, demokrasi juga membutuhkan dukungan dari orang-orang yang “tercerahkan”. Orang-orang yang memiliki pikiran jernih dan hati yang bersih dalam memperjuangkan nilai-nilai luhur tersebut.
Saya membayangkan bagaimana jika tak ada Montesquieu, Rousseau, Voltaire yang terkenal karena karya-karya kritisnya, dapat membangkitkan kesadaran masyarakat Eropa untuk membela hak-hak mereka. Mungkin demokratisasi tak akan hadir di sana.
Gerakan kebebasan memang tidak tergantung pada individu, namun sosok “tercerahkan” sangat dibutuhkan untuk memompa kesadaran masyarakat.
Ya, bagaimanapun orang-orang itu yang berbicara mewakili kita di berbagai forum, di televisi, di surat kabar, bahkan di sidang pengadilan.
Indonesia membutuhkan orang-orang tercerahkan yang melek demokrasi, seperti almarhum Azyumardi Azra ini
***
Perjuangan bangsa Indonesia ke arah reformasi dan demokratisasi adalah jalan panjang, berliku, terjal dan penuh rintangan.
Kesadaran akan pentingnya demokrasi dan kebebasan sipil sudah didengungkan oleh aktor-aktor intelektual pemberani di Indonesia.
Nurcholish Madjid, atau yang akrab disapa Cak Nur, misalnya, harus berurusan dengan tentara karena ucapannya, bahwa Pancasila harus menjadi ideologi terbuka.
Meski dipersoalkan, ia tetap kekeuh pada pandangannya ini. Akhirnya, Soeharto mengalah dan mengatakan bahwa benar, Pancasila harus menjadi ideologi terbuka (Gaus, 2010).
Sosok Gus Dur dan Frans Magnis Suseno punya jalan berbeda. Keduanya mengumpulkan seluruh elemen masyarakat dari berbagai kelompok dan tokoh agama untuk mendirikan Forum Demokrasi (Fordem) yang, bahkan Uskup Belo dari Timor Timur ingin ikut Forum itu.
Keberanian Gus Dur dan Romo Frans harus terjegal oleh kemauan pemerintah. Meski berjuang untuk eksis, namun Fordem akhirnya tenggelam karena tak mendapatkan izin untuk berkumpul.
Setiap tokoh selalu memiliki cara untuk mengekspresikan kebebasan sipil dan demokrasi melalui cara masing-masing.
Romo Mangun Wijaya lewat jalur sastra, Goenawan Mohamad lewat jalur jurnalisme, dan Dawam Rahardjo lewat aliansi LSM-nya yang terkenal, LP3ES.
Pun Azyumardi Azra, akademisi yang pada zaman Orde Baru ikut meramaikan media di Indonesia lewat pandangannya soal masyarakat madani atau civil society.
Pernah dalam suatu seminar mengenang 20 tahun reformasi, Nong Darol Mahmada mengisi diskusi di fakultas Adab dan Humaniora, UIN Jakarta. Tepatnya kapan saya lupa, namun saya yakin itu di tahun 2017.
Teh Nong (sapaan akrabnya) menceritakan peran Pak Azra dalam belantika politik tahun 1998. Kebetulan saat itu Azyumardi Azra menjabat sebagai wakil rektor dan kemudian diangkat menjadi rektor di IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ia mendukung demonstrasi mahasiswa dengan memberikan akomodasi dan akses transportasi (bus kampus) untuk keberangkatan mahasiswa yang akan melakukan demonstrasi di Senayan.
Sebagai rektor, ia punya kewajiban pada Presiden. Namun, sebagai akademisi yang menjunjung nilai kebenaran dan pengabdian pada masyarakat, Azyumardi Azra punya kewajiban moral untuk terlibat mendukung cita-cita reformasi.
Setelah cita-cita reformasi nasional berhasil, Beliau memiliki tanggung jawab untuk mereformasi kampus. Dewan mahasiswa dan partai partai kampus diaktifkan kembali. Kebebasan berdiskusi dan pers diberikan peran besar.
Mahasiswa dilatih sejak dini untuk berani kritis, berani menganalisis soal-soal politik, dan berani untuk mengemukakan pandangannya tanpa takut disatroni petugas dan dituduh subversif.
Bagi Azra, cita-cita reformasi tidak boleh setengah-setengah apalagi hanya sebatas menurunkan personal saja, yaitu Soeharto, namun harus dilaksanakan secara menyeluruh substansi dari reformasi.
Upaya transisi Indonesia menuju demokrasi menurut Azyumardi Azra setidaknya diperlukan reformasi dalam tiga bidang besar. Pertama, reformasi konstitusional (constitutional reform), yang menyangkut perumusan kembali falsafah Pancasila, kerangka dasar, dan perangkat legal sistem politik. Kedua, reformasi kelembagaan yang menyangkut pengembangan dan pemberdayaan (institutional reform and empowerment) lembaga-lembaga pemerintahan. Ketiga, pengembangan kultur atau budaya politik (political culture) yang lebih demokratis di masyarakat, yang menyangkut perlindungan dan edukasi mengenai hak asasi, kebebasan pers, politik yang bebas, dan kebebasan untuk berekspresi (Azra, 2002).
Jika ketiganya tidak dilaksanakan, maka cita-cita reformasi akan luntur oleh euphoria kejatuhan Soeharto saja, bukan perbaikan yang menyeluruh.
***
Sudah sejak lama saya mengikuti Beliau, meski tidak mengenal secara pribadi dan tidak pernah diajari secara formal di ruang kelas. Namun, saya kerap menikmati karya-karyanya dan apa yang Beliau tulis di koran, khususnya di Harian Kompas.
Saat Indonesia mencapai titik terendah dalam indeks demokrasi pada tahun 2019, Azyumardi Azra tidak diam, ia mengkritik pemerintah yang mengeluarkan berbagai perppu dan undang-undang yang dinilai membatasi kebebasan sipil.
Meski menjadi sosok yang pro terhadap pemerintah, Azra berani menentang pandangan para pendukung fanatik rezim dengan berkata jujur, bahwa demokrasi Indonesia memang terus memprihatinkan.
“Dalam konteks itu, Indonesia masih memenuhi persyaratan sebagai demokrasi elektoral. Tetapi, berbagai fitur lain untuk dapat disebut sebagai demokrasi penuh terus mengalami kemerosotan. Di antaranya adalah semakin berkurangnya kebebasan berpendapat dan berorganisasi, serta lemahnya penegakan hukum” (Kompas, 12/12/2019).
Ia mengatakan bahwa masalah lain seperti intimidasi kelompok minoritas, berkembangnya politik identitas, dan penambahan masa jabatan presiden adalah salah satu gejala yang berakibat hancurnya demokrasi. Dan ini tak bisa dibiarkan. “Oleh karena itu, perlu peningkatan kewaspadaan mengantisipasi fenomena tersebut. Kemunduran demokrasi tidak bisa dibiarkan berlanjut,” tulis Azra.
Tak hanya sekedar menyampaikan sikap saat indeks demokrasi di Indonesia menurun. Azyumardi Azra juga mengkritisi RKUHP yang dinilai bisa mengkerdilkan insan pers tanah air.
Dalam Pasal 219 RKUHP yang menyebutkan: “Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV”.
Bagi Azra, pasal ini harus diperbaiki, sebab bukan hanya mematikan demokrasi dan kebebasan berpendapat, tetapi juga membunuh kebebasan pers dan para wartawan, bahkan penulis yang bersikap kritis pada pemerintah (Rmol.id, 08/08/2022).
Azra sendiri tidak memungkiri Rancangan baru KUHP sangat penting. Bagi Azra, lahirnya RKUHP berarti perubahan undang-undang hukum pidana zaman kolonial yang pincang menjadi undang-undang yang lebih berkeadilan bagi rakyat Indonesia.
Namun demikian, Cendekiawan Muslim tersebut tetap memberi garis merah atas draf RUU yang sudah berada di kursi DPR RI, khususnya pasal-pasal berkaitan perlindungan terhadap wartawan dan kebebasan.
***
Selain aktif dalam kajian keislaman dan politik, Azyumardi Azra juga fokus pada pengembangan wawasan kebinekaan atau pluralisme di masyarakat. Tidak bisa disangkal bahwa Azyumardi Azra adalah pemikir muslim liberal dalam artian seorang muslim yang terbuka, ramah, rasional, dan moralis.
Ketegangan antar umat beragama dan maraknya politik identitas yang membelah masyarakat dalam bentrokan rasial dan agama membuat Azra merasa prihatin.
Padahal, jika umat muslim di Indonesia kembali ke ajaran Islam yang hanif, seharusnya mereka tahu bahwa perpecahan dan peperangan antar anak bangsa bukanlah perbuatan yang terpuji.
Baginya, nilai-nilai Islam itu sendiri sudah mengajarkan pada kita untuk menghargai perbedaan dan keragaman sosial.
“Menurut saya, Islam itu memang pluralis, (pemahaman) Islam itu banyak, tapi ada yang menolaknya dan mengatakan bahwa Islam hanya satu. Memang secara teks, Islam adalah satu tetapi ketika akal sudah mulai mencoba memahami itu, belum lagi mengaktualisasikan, maka kemudian pluralitas itu adalah suatu kenyataan dan tidak bisa dielakkan” (A’la, 2003).
Selanjutnya, Azra berpendapat bahwa Islam pada esensinya memandang manusia dan kemanusiaan secara sangat positif dan optimistis. Menurut Islam, manusia berasal dari satu asal yang sama, keturunan Adam dan Hawa. Meski berasal dari nenek moyang yang sama, tetapi kemudian manusia menjadi bersuku-suku, berkaum-kaum, satu berbangsa-bangsa lengkap dengan kebudayaan dan kultur setempat. Oleh karena itu, menghargai keragaman adalah fitrah yang harus dijaga. Fenomena pelarangan Gereja di Cilegon, intimidasi penganut kepercayaan dan kebencian antar etnis, merupakan peristiwa yang merusak keragaman Tuhan.
Saya yakin Azyumardi Azra paham bahwa kerukunan dan persatuan bangsa adalah pilar utama bagi tegaknya NKRI, karena itu Beliau mengutuk keras politik identitas yang belakangan terjadi di negeri ini. Banyak hal yang patut diteladani dari sosok Azyumardi Azra. Salah satunya adalah sifatnya yang kekeuh terhadap prinsip.
Jika salah ya salah, jika benar maka harus dipertahankan. Tidak jarang di media massa Beliau kerap mendapat hujatan. Salah satunya adalah karena dia menolak fatwa MUI yang mengharamkan sekularisme, pluralism, dan liberalisme, yang dianggap tidak didasari pada kajian yang matang dan dalil yang kuat (YouTube, “Democracy Project”).
Dalam video “Democracy Project”, Azyumardi Azra tampil beberapa kali mengkritik sikap MUI yang mengeluarkan fatwa sesatnya Ahmadiyah. Menurut Azra,fatwa tersebut sangat berbahaya karena terbukti memancing kekerasan pada kelompok Ahmadiyah.
Azra tidak perduli apakah pihak yang dikritik adalah MUI atau pemerintah yang pernah didukung olehnya, jika salah ya salah. Ia tidak segan mengeluarkan kritik jika orang yang dekat dengannya menyimpang.
Sepeninggalnya, sangat sulit mencari sosok seperti Azyumardi Azra. Sosok yang tegas membela kebebasan dan demokrasi tanpa pandang bulu.
Media Zainul Bahri, penulis buku Satu Tuhan Banyak Agama, sampai berkata bahwa tidak ada sosok yang bisa menggantikan Azra. Sosok yang paling ikhlas dan idealis tanpa takut membela kebenaran. Akademisi yang selalu mengawal demokrasi dan tidak lelah menyerukan nilai-nilai toleransi pada generasi muda kini.
Referensi
A’la, Abd. 2003. Dari Neomodernisme ke Islam Liberal. Jakarta: Paramadina.
Azra, Azyumardi. 2002. Reposisi Hubungan Agama dan Negara; Merajut Kerukunan Antar umat. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Gaus, Ahmad. 2010. Api Islam. Jakarta: Kompas.
Harian Kompas. “Demokrasi Mau Kemana”. Azyumardi Azra. 12 Desember 2022,
ttps://politik.rmol.id/read/2022/08/08/542881/bertemu-fpdip-azyumardi-azra-kami-minta-ruu-kuhp-disempurnakan Diakses pada 21 September 2022, pukul 02.02 WIB.

Galang Taufani adalah Managing Editor di Suara Kebebasan. Galang adalah lulusan program Sarjana Hukum (2013) dan Magister Hukum (2016) di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Sebelum bergabung di Suara Kebebasan, Galang pernah bekerja sebagai wartawan, peneliti, dan dosen sejak tahun 2013. Galang menulis banyak karya berupa buku, jurnal, dan artikel ilmiah. Bidang yang digeluti olehnya, yaitu adalah bidang Hukum, Kebijakan Publik, Pajak, Filsafat, dan Sastra.