Aturan Taksi Online: Mengapa Pemerintah Salah Langkah

    604

    Dengan berbagai keriuhan pilkada dan tetek-bengeknya, mari kita tidak melupakan fakta yang berkaitan dengan hajat hidup kita berikut ini: pemerintah melalui Kementerian Perhubungan mengatur keberadaan taksi daring (online) yang kini menjamur di kota-kota besar melalui revisi permenhub 32 tahun 2016 dan 2017.

    Salah satu aturan yang diberlakukan adalah dengan menerapkan tarif atas bawah (floor pricing). Sederhananya, peraturan ini akan memberlakukan tarif termurah sekaligus termahal untuk taksi online. Uber, Gojek, dan lainnya tidak bisa lagi seketika memberlakukan promo murah seperti yang sudah-sudah, atau kenaikan harga secara signifikan apabila ada kenaikan permintaan secara drastis. Pemerintah menyatakan bahwa kebijakan ini dilakukan justru untuk melindungi konsumen dari harga yang naik-turun. Pemerintah percaya, harga yang stabil akan cenderung lebih menguntungkan masyarakat. Benarkah demikian?

    Dipandang dari berbagai sisi, pemerintah terlihat gagal memahami bangunan sederhana dari sistem ekonomi dalam kasus taksi online. Harga merupakan sinyal terbaik dalam menjelaskan kelangkaan suatu sumber daya. Harga yang naik merupakan sinyal dari kelangkaan penawaran taksi online ketika banyaknya permintaan yang terjadi misalnya pada waktu pulang kantor. Sebaliknya, harga yang murah terjadi ketika banyaknya armada taksi online di tengah permintaan yang rendah. Keseimbangan dari sistem permintaan dan penawaran ini kemudian akan menghasilkan harga ekuilibrium ketika penjual dan pembeli diberikan kebebasan untuk menentukan pilihan transaksi barang dan jasa.

    Ketika pemerintah masuk ke dalam pasar dan menerapkan tarif atas-bawah (price control) maka harga tidak lagi mengikuti harga ekuilibrium pasar, tetapi mengikuti harga yang ditetapkan oleh pemerintah. Harga ekuilibrium dihasilkan dari proses pilihan dan ongkos produksi, maka harga pemerintah hanya mengandalkan proses politik dan pengambilan kebijakan yang mengabaikan proses supply-demand.

    Apabila harga pemerintah menerapkan lebih mahal dari mekanisme yang sebenarnya terjadi di dalam pasar, maka pengusaha akan memproduksi lebih banyak dibandingkan permintaan yang ada dalam masyarakat. Akibatnya, kondisi ini akan merugikan konsumen yang harus membayar harga dari yang seharusnya. Sebagian konsumen terpaksa untuk meninggalkan barang atau jasa tersebut, karena harga yang tidak lagi sesuai dengan willingness to pay mereka. Di sisi lain, akan terdapat banyak sumber daya yang terbuang atau terbengkalai karena penawaran tidak mampu bertemu dengan permintaan.

    Apabila harga pemerintah menerapkan lebih murah dari mekanisme yang sebenarnya terjadi di dalam pasar, maka akibat yang lebih buruk akan terjadi. Permintaan melonjak, tetapi konsumen tidak dapat menemukan penawaran dari barang ataupun jasa yang dibutuhkan. Yang akan terjadi adalah kelangkaan, konsumen sulit mendapatkan mobil atau motor sehingga akan mempersulit mobilitas masyarakat di kota-kota besar di Indonesia.

    Dari penjelasan di atas kita bisa memahami bahwa kebijakan pemerintah memberlakukan tarif atas-bawah akan cenderung menghilangkan keuntungan yang didapat dari harga ekuilibrium melalui mekanisme pasar. Bahkan, kebijakan ini berpotensi menghasilkan bencana bagi transportasi di Indonesia karena menghilangkan salah satu akses transportasi yang vital bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan.

    Komisi Perlindungan Persaingan Usaha (KPPU) jelas sudah mengindikasikan dampak negatif dari aturan atas-bawah. Harga yang ditetapkan oleh pemerintah akan berada di atas pasar, sehingga konsumen diharuskan membayar lebih banyak dari yang seharusnya. Ditambah lagi, pelaku usaha yang tidak efisien akan ikut terlindungi dengan adanya sistem ini. Artinya sistem pasar yang seharusnya bisa mengeliminasi pelaku pasar yang efisien dan tidak efisien akan sedikit terhambat oleh kebijakan ini.

    Selain itu, pemerintah juga menetapkan kuota angkutan online yang boleh beroperasi di setiap wilayah. Lagi-lagi pemerintah terlihat gagal memahami bangunan ekonomi dari angkutan online ini, bahwa driver bisa memilih kapan saja mereka bisa online. Itu justru menjadi keunggulan dari bisnis ini. Banyak driver yang punya kerja sampingan, bahkan beberapa driver memutuskan untuk tidak menghidupkan aplikasinya karena kesibukan. Driver biasanya akan banyak muncul ketika permintaan sedang tinggi dan sedikit ketika permintaan sedang rendah. Dengan menetapkan kuota, pemerintah menghalangi kesempatan masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan, juga menghalangi kesempatan masyarakat untuk mendapatkan transportasi yang diinginkan. Hal ini sangat tidak sesuai dengan prinsip aturan yang dikatakan Menteri Perhubungan, yaitu kesetaraan, keadilan, dan kesamaan berusaha. Boleh saja kita katakan kuota bisa diubah, akan tetapi masalahnya kuota ini ditentukan oleh proses politik yang berbelit-belit, bukan mekanisme supply-demand yang sangat responsif terhadap keadaan sebenarnya.

    Di luar kebijakan ini, pemerintah seharusnya justru memfokuskan perlindungan konsumen melalui berbagai pengaduan publik. Taksi online telah memberikan akses yang bermanfaat bagi transportasi kita, tapi bukan berarti tanpa kelemahan sama sekali. Banyak aduan yang beredar di sosial media tentang supir-supir taksi online yang nakal, memanfaatkan kelemahan sistem aplikasi untuk mendapatkan keuntungan yang tak semestinya. Hal ini yang seharusnya pemerintah tangani, bukannya merusak tatanan mekanisme pasar yang jelas-jelas menguntungkan masyarakat.