Pada pertengahan November 2018 lalu, pemerintah menerbitkan paket kebijakan ekonomi ke-16. Dalam paket tersebut, pemerintah merelaksasai beberapa usaha yang sebelumnya masuk Daftar Negatif Investasi (DNI). Relaksasi DNI ini, diharapkan mampu menarik minat investor asing untuk menanamkan modalnya secara langsung di Indonesia. Tujuannya, guna mengurangi defisit neraca berjalan yang menyebabkan melemahnya rupiah pada beberapa waktu lalu.
Melindungi pengusaha lokal dari persaingan dengan pengusaha asing adalah tujuan ditetapkannya DNI oleh pemerintah. Caranya, pemerintah membatasi atau menutup modal asing pada bidang-bidang usaha tertentu yang masuk ke dalam daftar. Terdapat 54 bidang usaha yang awalnya akan direlaksasi pemerintah. Dengan demikian, pihak asing dapat menguasai 100% (seratus persen) kepemilikan saham dalam 54 bidang usaha tersebut. Di antaranya, jasa pengupasan dan pembersihan umbi-umbian, warung internet, industri rokok kretek, rokok putih, gedung pertunjukkan seni dan galeri seni.
Rencana itu segera mendapat protes. Di antaranya, Organisasi Angkutan Darat (Organda), Asosiasi Pengusaha Indoenesia (APINDO) dan Kamar Dagang Indonesia mengusulkan sektor transportasi darat dan laut tidak direlaksasi 100% untuk pengusaha asing.
Kabar terakhir, lima bidang usaha kecil akan kembali dicadangkan atau tidak keluar dari DNI. Di antaranya, usaha umbi-umbian dan warung internet. Mengapa pemerintah tampak ragu-ragu merelaksasi DNI? Apakah rakyat Indonesia akan dirugikan bila investor asing diizinkan berinvestasi langsung?
Aspirasi Anti Asing
Langkah maju mundur pemerintah Jokowi dalam merelaksasi DNI ini berada dalam bingkai persepsi buruk masyarakat terkait investasi dan produk asing. Survei Nasional Centre Strategic For International Studies (CSIS) yang dirilis November tahun lalu nampaknya mengonfirmasi persepsi negatif itu.
Survei berjudul “Ada Apa Dengan Milenial? Orientasi Sosial, Ekonomi dan Politik” tersebut melibatkan 600 sample responden milenial dan 851 sample responden non milenial. Periode penarikan sample dilaukan pada 23-30 Agustus 2017. Metode yang digunakan dalam survei ini adalah multi stage random sampling.
Hasilnya, sebanyak 50.5 % responden milenial menganggap produk dari luar negeri merugikan perekonomian nasional. Sedangkan sebanyak 49.5 responden non milenial mepersepsikan produk dari luar negeri merugikan perekonomian nasional. Persepsi negative terhadap perusahaan asing juga cukup tinggi. Sebanyak 47.8% responden milenial dan 41.7% responden non milenial, melihat perusahaan asing berdampak negative bagi perekonomian nasional. Sedangkan 52.2% milenial dan 56% non milenial yang memandang positif dampak perusahaan asing bagi perekonomian nasional.
Terkait isu tenaga kerja asing, persepsi negative lebih buruk lagi. Hanya 22.3% milenial dan 22% non milenial yang memandang positif dampak tenaga kerja asing bagi perekonomian nasional. Sebanyak 77.7% milenial dan 76.2% non milenial melihat tenaga kerja asing berdampak buruk bagi perekonomian nasional.
Dalam konstruksi negara demokratis, aspirasi masyarakat menjadi faktor penting untuk memutuskan kebijakan. Sumber legitimasi politik pemerintah yang berkuasa adalah suara rakyat. Mereka yang akan memilih di kotak suara. Terutama di negara yang menyelenggarakan pemilihan umum langsung seperti Indonesia.
Dengan latar belakang seperti itu, keraguan pemerintahan Jokowi untuk membuka DNI bisa dilihat. Jokowi bukan ketua partai, dia juga bukan diktator militer. Sumber dukungan politik utama Jokowi adalah suara pemilih.
Oleh karena itu, bila aspirasi rakyat cenderung resisten pada investasi asing, maka wajar bila pemerintah yang berkuasa menghitung segala konsekuensi kebijakan relaksasi DNI dengan hati-hati bahkan maju mundur.
Terlebih lagi di tahun politik menjelang pemilu. Pemerintah yang mengabaikan aspirasi masyarakat akan mudah dituding otoriter. Walaupun opini masyarakat belum tentu sesuai dengan prinsip-prinsip kebebasan dan kebijakan publik yang wajar.
Kontradiksi Sentimen Anti Asing
Ketakutan rakyat pada kehadiran perusahaan asing sebagaimana yang diperlihatkan dalam survey CSIS di atas, sebenarnya bertentangan dengan kenyataan. Ekonom Faisal Basri menyatakan penanaman modal langsung di Indonesia hanya sekitar 5% dari keseluruhan pembentukan modal tetap bruto. Bila merujuk data Faisal Basri tersebut, rakyat tampaknya menciptakan imajinasi sendiri tentang produk impor dan investor asing. Kemudian mereka menakuti imajinasi buatannya tersebut.
Pengalaman Ethiopia menunjukkan dampak positif investasi asing. IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi negara di Afrika tersebut sebesar 8.5%. Rerata pertumbuhan ekonomi Ethiopia selama beberapa tahun terakhir sebesar 10%. Bandingkan dengan Indonesia yang “hanya” berkisar di angka 5%.
Kemiskinan pun turun drastis. Data Bank Dunia menunjukkan, bila di tahun 2000 Ethipia menanggung 44% penduduk miskin, kini jumlah warga miskin turun menjadi 30%. Pertumbuhan ekonomi dan berkurangnya kemiskinan tersebut, salah satunya, berkat investasi asing dalam infrastruktur secara signifikan.
Jangan Biarkan Matahari Masuk
Frederic Bastiat, ekonom dan ahli hukum pembela kebebasan asal Prancis pada abad ke 19 telah mengkritik sikap anti asing terkait urusan ekonomi. Dalam Petisi Pembuat Lilin, Bastiat mengecam keras proteksionisme dengan satir para pembuat lilin yang menuntut agar terbit peraturan yang mewajibkan penduduk menutup tirai sepanjang hari.
Tujuannya, agar cahaya matahari tidak masuk ke rumah-rumah penduduk. Dengan demikian, produksi lilin meningkat karena penduduk membutuhkan cahaya dari lilin sebagai pengganti sinar matahari.
Semangat “nasionalisme” dengan menghalangi investasi langsung perusahaan asing, tampaknya gagah. Namun sebenarnya, cara itu merugikan rakyat banyak. Rakyat banyak senyatanya ialah para konsumen. Jumlah konsumen selalu lebih banyak dari produsen. Bila produsen lebih banyak dari konsumen maka hasil produksi barang/jasa menjadi gratis karena tidak punya nilai tambah untuk diperdagangkan.
Konsumen pantas mendapat pilihan harga dan kualitas produk terbaik. Dari manapun dan oleh siapapun produk tersebut dibuat. Persaingan antar perusahaanlah yang membuat konsumen mendapat produk terbaik. Baik dari pilihan harga maupun kualitas.
Proteksi hanya akan membuat perusahaan tidak kompetitif. Mereka tidak akan menanggung risiko kerugian. Melindungi perusahaan domestik juga akan menghambat inovasi. Mereka tidak akan mendapat insentif bila tidak melakukan inovasi. Ujung-ujungnya, konsumen yang merugi. Mereka tidak akan mendapat pilihan harga dan kualitas atas sebuah produk.
Dalam konteks revisi DNI, wajar bila penolakan muncul dari pengusaha lokal. Mereka adalah perwujudan pembuat lilin dalam satir Bastiat. Namun, cukup mengenaskan bila resistensi timbul dari masyarakat seperti yang tercermin dalam survei CSIS.
Bila perusahaan itu menanamkan investasi secara langsung di Indonesia, tentu potensi keuntungan buat konsumen Indonesia lebih besar. Ongkos distribusi bisa lebih murah. Kesempatan alih pengetahuan dan pembukaan lapangan kerja menjadi lebih besar.
Kasus Ethiopia menunjukkan manfaat investasi asing bagi perekonomian nasional. Studi Tulus Tambunan menunjukkan perusahaan seperti PT. Freeport Indonesia (PT FI) dan Kaltim Prima Coal (KPC) telah menstimulasi kesejahteraan bagi masyarakat sekitar. Mereka ikut membangun infrastruktur, mendirikan sekolah sampai mendirikan institusi kredit mikro bagi komunitas lokal (Tambunan 2011).
Sebagai konsumen, kita semua pantas mendapatkan pilihan kualitas produk dan harga terbaik, rakyat berhak menuntut pemerintah untuk membuka investasi asing seluas mungkin, kecuali yang terkait pertahanan. Bukan malah merugikan diri sendiri dan melindungi pengusaha yang tidak kompetitif dengan bersikap anti asin.