Aspek Transparansi dan Partisipasi dalam Proses Formulasi Konstitusi di Masyarakat Demokratis

    121
    Sumber gambar: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230101131025-32-894696/alasan-jokowi-terbitkan-perppu-cipta-kerja-yang-gugurkan-putusan-mk

    Gagasan tentang Omnibus Law (Cipta Kerja) pertama kali diungkap Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden RI periode kedua, pada 20 Oktober 2019 (nasional.kompas.com/21/03/2023). Perppu Cipta Kerja mengindikasikan polemik sejak pertama kali dirumuskan, hingga pada akhirnya resmi disahkan dalam Rapat Paripurna ke-19 Masa Sidang IV tahun sidang 2022-2023 di Senayan, Selasa (21/3).

    Padahal, kala itu, rancangan aturan ini menuai penolakan dari berbagai kalangan, khususnya buruh dan mahasiswa. Selain itu, pembahasan RUU Cipta Kerja yang terkesan sengaja ‘dikebut’ dan tidak memenuhi syarat keterbukaan juga mengundang kritik keras dan kekuatiran dari masyarakat. Oleh karena hal tersebut, MK menyatakan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 itu inkonstitusional bersyarat. MK menilai bahwa UU tersebut tergolong sebagai cacat formil karena proses pembahasannya (mulai dari agenda setting, formulation, dan adaption/ decision making) yang tidak sesuai aturan dan jauh dari prinsip transparansi.

    Lantas, bagaimana urgensi aspek transparansi begitu penting dalam negara demokratis? Sejauh mana implementasi pengaturan dan keterlibatan masyarakat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia? Apakah peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini telah mengatur secara efektif? Pada tahap mana masyarakat dapat berpartisipasi dan bagaimana mekanisme partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan?

    ****

    Proses pengambilan kebijakan publik yang baik tidak hanya mencakup proses teknokratis, melainkan juga mengikutsertakan proses politik di dalamnya. Proses politik berarti pelibatan negara dan masyarakat melalui norma-norma dan sistem politik yang berkaitan dengan konsekuensi barang publik itu sendiri. Negara dalam proses ini melibatkan pemerintah, lembaga negara (legislatif), dan partai politik. Sementara, masyarakat dapat dikategorikan sebagai organisasi sipil, komunitas tertentu, maupun non-government organization (NGO).

    Dasar prosedur dalam perumusan kebijakan publik di atas juga berangkat dari kerangka the rule of law, yang mencakup adanya pengakuan bahwa hukum itu mempunyai kedudukan tertinggi, adanya persamaan dalam hukum dan pemerintahan, dan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya dalam kenyataan praktik. Namun demikian, harus ada jaminan bahwa hukum dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi, di mana supremasi hukum dan kedaulatan hukum pada dasarnya berasal dari kedaulatan rakyat (Syahmardan, 2012).

    Di era modern, bingkai transparansi diartikulasikan sebagai partisipasi yang diberi makna keterlibatan masyarakat dalam proses sosial-politik yang seluas-luasnya,  tak terkecuali dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Kebijakan tidak lagi dipandang sebagai persoalan teknis yang hanya diselesaikan secara teknokrasi oleh sekelompok pemangku kebijakan untuk merumuskannya, tetapi kebijakan merupakan ruang bagi teknokrat dan masyarakat untuk melakukan kerja sama dan menggabungkan pengetahuan. Oleh karena itu, dalam menetapkan kebijakan, sudah seharusnya melibatkan pihak yang luas dan menjamin kepentingan beragam pemangku kepentingan (Peters, 1996).

    Partisipasi masyarakat sebenarnya telah dirampungkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden, Pasal 41 yang menyebutkan bahwa (1) masyarakat dapat memberikan masukan kepada Pemrakarsa dalam rangka penyiapan dan pembahasan rancangan undang-undang; (2) masukan dilakukan dengan menyampaikan pokok-pokok materi yang diusulkan; dan (3) masyarakat harus menyebutkan identitas secara lengkap dan jelas (Syahmardan, 2012). Namun, partisipasi masyarakat tersebut oleh sebagian kalangan masih ditafsirkan secara sempit sehingga seolah-olah partisipasi masyarakat tersebut hanya terbatas pada hak untuk “didengar” saja.

    Bagaimana partisipasi mempengaruhi atau dipengaruhi oleh unsur transparansi? Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, telah dijelaskan tentang pentingnya keterbukaan publik untuk mewujudkan partisipasi dan penyelenggaraan negara yang transparan, efektif, efisien, dan akuntabel. Terlebih lagi, keterbukaan publik merupakan hak asasi dari setiap warga negara. Maka dari itu, publik berhak memperoleh informasi, yang salah satunya adalah mengenai proses kebijakan publik, anggaran, pengawasan dan evaluasinya.

    Dengan adanya keterbukaan tersebut, masyarakat dapat mengetahui sejauh mana kinerja pemerintah, serta menilai kesesuaian harapan dan kepentingan publik. Selain itu, masyarakat juga dapat mengetahui keberpihakan pemerintah terhadap pelayanan publik, sehingga masyarakat dapat memberikan penilaian dan sikap terhadap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Dengan demikian, keterbukaan publik ini sejatinya merupakan bentuk transparansi yang berimplikasi pada kemampuan pemerintah dalam mewujudkan good governance.

    Akhirnya, strategi yang dapat diimplementasikan agar transparansi dan partisipasi dalam pelayanan publik dapat berjalan beriringan antara lain adalah dengan mengidentifikasi peran masyarakat. Aspek ini menjadi penting dalam mewujudkan transparansi sebagai stimulus dalam mendorong partisipasi publik. Kedua, dengan meningkatkan peran lembaga pengawas eksternal.

    Untuk membentuk sinergi tersebut, maka diperlukan upaya pemberdayaan masyarakat dan membangkitkan kesadaran tentang pentingnya informasi dan partisipasi publik dalam mengawasi pelayanan publik.  Hal ini sejalan dengan komunikasi hukum, di mana negara harus aktif mengkomunikasikan hak masyarakat untuk berpartisipasi, serta membangkitkan motivasi masyarakat untuk terlibat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun daerah.

    Referensi

    https://nasional.kompas.com/read/2023/03/21/14021541/jejak-kontroversi-uu-cipkerja-disahkan-kilat-perppu-diketok-meski-banjir. Diakses pada 22 Maret 2023, pukul 22.04 WIB.

    Peters, B. Guy. (1996). The Feature of Governing; Four Emerging Models. University Press of Kansas.

    Syahmardan. (2012). “Partisipasi Masyarakat: Wujud Transparansi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Demokratis”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 9 (1).