Ketika Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) sedang dirancang sebelum peresmiannya pada tahun 1949, terdapat beberapa negara yang menentang prinsip-prinsip yang terkandung didalamnya atas basis perbedaan kultural. Saudi Arabia contohnya, menuduh bahwa UDHR merupakan refleksi standar peradaban Barat yang tidak secara komprehensif mempertimbangkan nilai-nilai yang dijalankan dalam hukum syariah. Beberapa pasal, seperti Artikel 16 mengenai hak kebebasan pernikahan menurut mereka pada saat itu bertentangan dengan nilai-nilai tradisional serta agama mengenai segregasi gender dan perwalian laki-laki (male guardianship).
Konflik antar budaya ini, atau apa yang disebut oleh Samuel P. Huntington sebagai clash of civilisations, hadir sebagai titik perpecahan dalam pengambilan kebijakan mulai dari ekspresi seksualitas hingga penerapan hukuman untuk anak (juvenile justice), yang mewarnai pembicaraan-pembicaraan seputar hantaman sekularisme-agama sampai hak kultural sebuah suku (indigenous rights). Di sini konsep relativisme budaya hadir sebagai upaya untuk menjustifikasi elemen-elemen ‘kontroversial’ tersebut dengan mendalihkan bahwa perilaku suatu peradaban tidak selayaknya dinilai dengan standar-standar moral yang terkandung dalam peradaban lain.
Siapakah yang paling terhambat oleh sentimen ini? Tentu saja impian kosmopolitan dari UDHR untuk memperjuangkan suatu sistem moral berbasis hak asasi manusia secara global dan lebih pentingnya lagi, universal.
Penyokong relativisme budaya kerap berdalih bahwa impian menuju suatu universalitas adalah suatu topeng untuk menyembunyikan hasrat hegemoni dunia Barat dan merupakan suatu awal untuk mengekspor doktrin Barat di bawah bendera ‘imperialisme kultural’. Beberapa pemikir komunitarian bahkan mengatakan bahwa hak asasi manusia yang bersifat universal merupakan suatu impian yang terlalu individualis dan suatu ancaman terhadap kolektivisme atau common good.
Seluruh anggapan-anggapan tersebut dapat diringkas dalam suatu pertanyaan banal, yang dalam satu versi atau yang lain berbunyi, “Siapakah kita untuk mengatakan kepada para penganut taat suatu peradaban atau ideologi, bahwa filosofi dan tradisi yang mereka anut salah dan tidak layak?”. Dengan kata lain, betapa sombongnya kita ketika mengatakan kepada Pemerintah Iran bahwa memaksa membungkus seluruh tubuh dan wajah seorang istri dengan kain untuk menjaga kesuciannya adalah suatu kehinaan, atau kepada penduduk Somalia bahwa memotong klitoris seorang anak perempuan supaya meredam seksualitasnya adalah suatu kejahatan yang sangat biadab.
Dalam tulisan ini saya ingin mengargumentasikan mengapa sentimen di atas sangatlah naif dan arogan. Untuk menjawab pertanyaan di atas, penulis dan filsuf kontemporer Sam Harris menawarkan suatu pertanyaan lain yang berbunyi, “Well, who are we to pretend that we know so little about human well-being to not be judgmental about practices like this? Dalam bukunya The Moral Landscape, Harris menawarkan suatu model dalam mengevaluasi legitimasi dari sebuah posisi moral dalam suatu sistem budaya menggunakan variabel human well-being atau kesejahteraan seorang manusia. Harris berargumen, variabel inilah satu-satunya indikator yang dapat diverifikasi oleh konsep-konsep sains atau medis, dan juga relevan serta dapat dipahami oleh semua penganut ideologi, tidak seperti variabel-variabel lain yang cenderung relatif dan merupakan asumsi internal seperti kodrat atau kehendak Tuhan masing-masing kubu.
Tentu argumen seperti ini kerap kali dibalas dengan pertanyaan, “Bagaimana jika orang-orang dalam budaya tersebut melakukannya dengan bahagia?”. Karena pada akhirnya, bukankah asas otonomi dan consent tidak dilanggar ketika posisi moral tersebut dilaksanakan secara sukarela? Mungkin, tapi saya rasa kita tidak boleh naif dan perlu mempertanyakan situasi dan kondisi yang bersembunyi dibalik suatu kesukarelaan. Meminjam kata-kata dari Harris, signifikankah suatu ‘kesukarelaan’ jika hal tersebut diekspresikan, misalnya, dalam suatu kultur dimana insting pertama seorang ayah ketika anaknya diperkosa, adalah membunuhnya karena malu? Dalam suatu kultur dimana pendidikan tidak di buka seluas-luasnya, di mana pertanyaan-pertanyaan kritis diredam?
Filsuf Martha Nussbaum dalam bukunya The Quality of Life bahkan lebih lanjut mengargumentasikan bahwa dalam keadaan dimana seorang yang menjadi korban ‘pelanggaran hak’ justru mendukung kultur yang menyebabkan mereka dalam kondisi demikian, pandangan mereka tidak dapat dianggap ‘morally decisive’ karena filosofi atau praktik yang melanggar hak mereka tersebut adalah filosofi yang sama yang juga merebut hak mereka mendapatkan edukasi untuk membayangkan filosofi alternatif atau cara hidup yang lain.
Tentu saja tulisan ini bukanlah panggilan jihad atau kampanye di bawah suatu bendera imperialisme moral/kultural. Bahkan saya kurang setuju apabila ‘semangat’ ini dicap sebagai imperialisme sama sekali, karena akar dari imperialisme tentunya adalah inegalitarianisme, dan perjuangan mewujudkan universalitas hak asasi manusia memiliki kandungan yang secara gamblang bernuansa egaliter. Tulisan ini lebih merupakan suatu pengingat bahwa secara historis, alasan-alasan seperti common good dan kodrat alam kerap digunakan untuk menyembunyikan penindasan dan penyalahgunaan kuasa secara struktural yang timbul dari tradisi maupun dogma.
Hal lain yang tidak saya argumentasikan adalah suatu upaya pencapaian objektivitas moral. Sesuai dengan preposisi dari filsuf David Hume bahwa mustahil untuk menarik suatu prescriptive statement atau ‘ought’ dari suatu positive statement atau ‘is’, sampai kapanpun saya rasa umat manusia tidak akan pernah bisa secara sepenuhnya objektif menentukan apa yang baik dana apa yang buruk. Tapi, itu tidak berarti bahwa kita tidak selayaknya mencoba.
Ketika ada dua model moralitas yang bentrok, saya percaya bahwa adalah suatu kewajiban kita sebagai umat manusia untuk menemukan titik terang dengan segala instrumen yang memungkinkan, mulai dari public debate hingga penelitian ilmiah. Karena pada akhirnya, sistem moral merupakan suatu bentuk otoritas, dan saya berbagi sentimen dengan Noam Chomsky bahwa semua bentuk otoritas memiliki beban untuk membuktikan bahwa kehadiran atau penerapannya memiliki justifikasi yang layak.
Kalau begitu, standar apa yang semestinya digunakan dalam menilai keunggulan suatu sistem moral dan mengapa? Apabila Harris menawarkan parameter human well-being, saya ingin menambahkan suatu pendekatan yang cenderung libertarian-utilitarian yakni seberapa suatu sistem tersebut dapat memaksimalkan kadar kepuasan dan juga otonomi secara overall, dari ideologi-ideologi lain apabila diterapkan oleh pemeluknya dalam sistem moral tersebut. Hal ini sebagai upaya untuk mencapai titik kompromi yang dapat mengakomodir konflik antar-budaya sebaik mungkin.
Menggunakan parameter di atas, penerapan suatu model universal hak asasi manusia, tentunya lah yang paling superior. Dalam sistem moral ini, impian totalitarian dari seorang Muslim untuk mewujudkan suatu khilafah atau hasrat seorang umat Kristen untuk mewujudkan suatu ‘Republic of Gilead’ akan sirna. Namun, seluruh perbedaan dapat diakomodir dengan paling baik dalam suatu nuansa egaliter, menggunakan batas-batas kebebasan bertanggung jawab atau apa yang John Stuart Mill katakan sebagai ‘non-agression principle’. Dengan kata lain, otonomi dan overall satisfaction dari seluruh ideologi akan dimaksimalkan. Bukankah logis dan adil untuk berupaya mewujudkan kebahagiaan semaksimal mungkin?
Lalu, apakah ini berarti setiap kelompok masyarakat di dunia secara moral harus menuju suatu konformitas yang absolut dan disangkal keunikan kulturalnya? Tentu tidak. Saya sangat tidak keberatan dengan adanya kekhasan trivial atau aestetik sebagaimana diakomodir dalam konsep margin of appreciation yang dianut oleh European Court of Human Rights. Saya hanya mengatakan bahwa merupakan suatu tanggung jawab bagi umat manusia untuk senantiasa tidak malas dalam menyelesaikan konflik moralitas dan menjaga supaya marjin interpretasi tersebut tidak melebar seiring waktu berjalan. Suatu human rights framework yang universal merupakan mekanisme checks and balances terbaik untuk melakukannya.
Dalam The Moral Landscape, Harris mendalilkan bahwa variasi sistem moral manusia dapat digambarkan sebagai suatu lanskap yang mengandung puncak dan lembah, dan suatu saat umat manusia akan berhasil meraih puncak tertinggi, yakni suatu sistem moral yang terbaik. Bagi sebagian orang, mungkin sangatlah arogan untuk memberikan klaim bahwa terdapat suatu sistem moral yang jauh lebih superior dari yang lainnya. Bagi saya, jauh lebih arogan untuk mengabaikan penindasan dan diskriminasi sistemik yang dihasilkan oleh suatu sistem ideologi atau kultur dan menutupinya dengan alasan menegakkan panji-panji toleransi.