Rokok elektrik (electronic cigarette), atau yang dikenal dengan nama Vape, akhir-akhir ini menjadi bahan perbincangan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Perdebatan umumnya berada pada area apakah rokok elektrik merupakan sesuatu yang aman atau tidak, atau lebih spesifiknya, apakah e-cigarette lebih berbahaya dari rokok konvensional.
Beberapa pandangan mengungkapkan bahwa rokok elektrik merupakan sesuatu yang berbahaya. Pada tahun 2014 misalnya, lembaga kesehatan Perserikatan Bangsa-Bangsa, World Health Organization (WHO), memberi peringatan terhadap potensi bahaya rokok elektronik (WHO, 21 Juli 2014).
Perdebatan seputar rokok elektronik juga berujung pada perbedaan kebijakan terkait hal tersebut di berbagai negara. Australia misalnya, melarang total seluruh produk rokok elektronik. Pada awal tahun 2020, Amerika Serikat melarang seluruh produk vape yang memiliki rasa (kecuali rasa menthol dan tembakau) untuk mencegah konsumsi rokok elektronik oleh anak-anak. Sebaliknya, di Korea Selatan produk rokok elektronik dapat dijual dan dikonsumsi secara bebas, namun diberi pajak yang tinggi.
Namun, apakah vape memang benar-benar sangat berbahaya sebagaimana yang kerap diungkapkan oleh berbagai kalangan?
*****
Berdasarkan laporan pers tahun 2015 yang dirilis oleh lembaga Pemerintah Inggris, Public Health England (PHE), yang berada dibawah Departemen Kesehatan Britania Raya, bahan-bahan yang terkandung di dalam rokok elektronik jauh lebih aman daripada rokok konvensional. PHE bahkan menyatakan bahwa rokok elektronik 95% lebih aman daripada rokok kovensional pada umumnya (Public Health England, 19 Agustus 2015).
Dalam laporan pers hasil penelitian PHE tersebut, yang dipimpin oleh Professor Ann McNeill dari King’s College London dan Professor Peter Hajek dari Universitas London, juga menyatakan bahwa ada korelasi yang kuat antara konsumsi rokok elektronik untuk larangan perokok konvensional untuk membantu mereka berhenti merokok. Hal tersebut tentu merupakan sesuatu yang positif karena rokok merupakan salah satu “pembunuh” paling tinggi di dunia.
Hal utama yang menyebabkan rokok konvensional jauh lebih berbahaya daripada rokok elektronik adalah bahan-bahan yang terkandung di dalamnya. Rokok konvensional mengandung sekitar 600 unsur, dan ketika dinyalakan, pembakaran tersebut menciptakan lebih dari 7.000 zat kimia. Dari 7.000 zat kimia tersebut, setidaknya 69 diantaranya merupakan zat toksik yang dapat menyebabkan kanker (American Lung Association, 20 Agustus 2019).
Dua bahan utama yang terkandung dalam cairan yang digunakan oleh rokok elektronik adalah propylene glycol (PG) dan vegetable glycerin (VG) yang digunakan untuk membentuk uap dan menambah rasa. PG dan VG merupakan dua bahan umum yang digunakan dalam perasa kue dan makanan lainnya, dan telah dinyatakan aman oleh lembaga Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (U.S. Food and Drugs Administration, 24 Oktober 2019).
Lantas, bagaimana dengan rokok elektronik yang mengandung rasa? Bukankah hal tersebut juga sangat berbahaya karena dapat mendorong anak-anak dan remaja di bawah umur untuk mengkonsumsi barang tersebut?
Rokok elektronik tentu bukan merupakan produk yang sesuai untuk dikonsumsi anak-anak dan remaja di bawah usia dewasa. Akan tetapi, cara terbaik untuk mencegah hal tersebut adalah melalui regulasi yang ketat. Aparat penegak hukum dalam hal ini harus mengambil langkah yang tegas untuk menindak toko-toko atau produsen yang menjual rokok elektronik kepada mereka yang belum dewasa.
Rasa yang bervariatif justru merupakan hal yang dapat mendorong para perokok untuk beralih ke produk rokok elektronik yang jauh lebih aman daripada rokok konvensional pada umumnya (CNN, 15 Juli 2019). Dengan demikian, berbagai penyakit berbahaya yang berasal dari rokok konvensional tentu dapat ditekan dan menurun.
Dan yang terpenting, kebebasan konsumen untuk memilih merupakan hak yang harus dilindungi negara. Biarkan konsumen bebas memilih produk apa yang ingin mereka konsumsi, dan pada saat yang sama jangan halangi pula kebebasan para pelaku usaha untuk berinovasi. Karena di dalam ekonomi bebas, otoritas tertinggi berada di tangan konsumen, bukan birokrat dan pejabat negara.
Sumber:
http://apps.who.int/gb/fctc/PDF/cop6/FCTC_COP6_10-en.pdf Diakses pada 15 Februari 2020, pukul 21.30 WIB.
https://www.gov.uk/government/news/e-cigarettes-around-95-less-harmful-than-tobacco-estimates-landmark-review Diakses pada 15 Februari 2020, pukul 23.40 WIB.
https://www.lung.org/stop-smoking/smoking-facts/whats-in-a-cigarette.html Diakses pada 16 Februari 2020, pukul 01.50 WIB.
https://www.fda.gov/food/food-additives-petitions/food-additive-status-list Diakses pada 16 Februari 2020, pukul 23.30 WIB.
CNN, 15 Juli 2019. https://edition.cnn.com/2019/07/15/health/e-cigarettes-quit-smoking-study/index.html Diakses pada 18 Februari 2020, pukul 03.15 WIB.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.