Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat merupakan salah satu fenomena yang sangat mengejutkan dunia. Bagaimana tidak. Dengan menggunakan berbagai retorika yang kerap dianggap mengandung unsur rasisme, seksisme, dan xenophobia, Trump berhasil menduduki posisi politik tertinggi di negara paling kaya dan paling kuat di permukaan bumi.
Belum lagi, Trump juga kerap menyampaikan berbagai pernyataan kebohongan dan konspiratif dalam berbagai kegiatan kampanyenya. Mulai dari mengatakan tingkat pengangguran di Amerika Serikat di atas 40% di tahun 2015 (angka sebenarnya adalah 5%), hingga menyatakan bahwa ayah dari salah satu pesaingnya di Partai Republikan, Senator Ted Cruz dari negara bagian Texas, terlibat dalam pembunuhan Presiden John F. Kennedy.
Oleh karena itu, sebelum pemilihan suara berlangsung pada 9 November 2016, hampir tidak ada pihak yang yakin bahwa Trump dapat memenangkan pemilu presiden. Tidak tanggung-tanggung, harian The New York Times bahkan menyatakan Trump hanya memiliki kemungkinan 15% untuk menjadi orang nomor satu di Negeri Paman Sam (New York Times, 2016).
Akan tetapi, rakyat Amerika Serikat berkata lain. Mantan Menteri Luar Negeri dan Ibu Negara Hillary Clinton, yang menjadi pesaing Trump dari Partai Demokrat, harus bersedia menyatakan kekalahan dan Donald Trump secara resmi dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat pada 20 Januari 2017. Ia menjadi satu-satunya presiden di Negeri Paman Sam tersebut yang sebelumnya sama sekali tidak memiliki pengalaman menjadi pejabat publik atau anggota militer.
Lantas banyak pihak yang bertanya, bagaimana bisa negara dengan sistem demokrasi yang sangat mapan selama lebih dari 2 abad memilih sosok seperti Trump sebagai kepala negara? Apakah hal tersebut merupakan simbol dari kegagalan sistem politik di negara superpower tersebut?
*****
“Apakah pemerintah itu, bila bukan merupakan refleksi terbesar dari kondisi alamiah manusia?” tulis James Madison, salah satu bapak pendiri Amerika Serikat, dalam The Federalist Papers. “Bila manusia adalah malaikat, maka pemerintah merupakan sesuatu yang tidak dibutuhkan. Dan bila malaikat yang menjadi pemerintah, maka kontrol intrenal dan ekstrenal terhadap pemerintah merupakan sesuatu yang tidak perlu” lanjut negarawan yang menjadi Presiden Amerika Serikat ke-4 tersebut.
Madison dan bapak pendiri Amerika Serikat lainnya menyadari bahwa, mendirikan pemerintahan merupakan sesuatu yang sangat penting, karena manusia merupakan makhluk yang berpotensi berbuat kejahatan dan menyakiti orang lain. Untuk itu, harus ada institusi yang mampu menjadi pelindung masyarakat dan memiliki wewenang untuk menindak mereka yang merampas hak manusia lainnya.
Akan tetapi, yang juga tidak boleh dilupakan, mereka yang duduk di bangku pemerintahan juga merupakan manusia dan bukan malaikat. Sebagaimana anggota masyarakat lainnya, mereka yang menjadi penjabat publik juga memiliki potensi untuk bertindak korup dan menyalahgunakan wewenang yang dimiliknya. Oleh karena itu, sistem pemerintahan yang memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada seseorang tanpa ada kontrol yang kuat merupakan sesuatu yang sangat berbahaya.
Ketika negara Amerika Serikat lahir, para bapak pendiri Amerika Serikat, seperti George Washington, James Madison, dan Thomas Jefferson, tidak lupa dengan apa terjadi ketika mereka hidup di bawah kolonialisme Inggris. Ketika itu, Pemerintah Inggris di London dapat memberlakukan kebijakan apapun terhadap warga koloni di Amerika terlepas dari kehendak yang dimiliki oleh mereka yang tinggal di wilayah koloni tersebut.
Selain itu, para pendiri Negeri Paman Sam tersebut juga melihat apa yang terjadi di berbagai negara monarki absolut di Eropa, di mana raja memiliki kekuasaan yang tidak terbatas dan dianggap sebagai titisan Tuhan di dunia. Mereka tidak ingin negara baru yang mereka dirikan berakhir di bawah penguasa diktator yang memiliki kekuasaan untuk bertindak apapun sesuatu dengan keinginannya.
Untuk itu, para bapak pendiri Amerika Serikat tersebut berupaya merancang sistem yang mencegah seseorang memiliki kuasa yang tidak terbatas melalui pemisahan kekuasaan dan sistem kontrol checks and balances. Sistem pemisahan kekuasaan yang paling utama dalam hal ini adalah membagi antara wewenang yang dimiliki oleh pemerintah pusat dan pemerintahan daerah atau negara bagian.
Pemerintah daerah, dalam hal ini, diberikan wewenang yang besar untuk mengatur urusan internalnya dan menentukan hukum bagi wilayahnya masing-masing. Wewenang pemerintah pusat untuk mencampuri urusan pemerintah negara bagian dibatasi seminim mungkin untuk mencegah adanya kekuasaan yang terlampau besar yang dimiliki oleh satu pihak.
Selain itu, kekuasaan pada tingkat pusat juga terbagi pada lembaga-lembaga yang berbeda. Lembaga legislatif misalnya, terbagi menjadi dua kamar, di mana Dewan Perwakilan Rakyat (House of Representatives) setiap negara bagian mengikuti jumlah penduduk yang ada di wilayahnya. Perwakilan negara bagian di kamar kedua, yakni Senat, memiliki jumlah yang sama, terlepas dari apakah negara bagian tersebut memiliki penduduk yang besar atau kecil, yakni dua perwakilan. Hal ini dimaksudkan agar perwakilan dari negara-negara bagian yang besar tidak bisa memaksa kehendak mereka terhadap negara-negara bagian yang lebih kecil.
Kepala lembaga eksekutif di tingkat pemerintahan pusat, yakni presiden, tidak bisa mengangkat pejabat tinggi, seperti para menteri, sesuai dengan kehendaknya. Ia harus mendapatkan persetujuan dari Senat terlebih dahulu. Masa jabatan presiden juga dibatasi hanya empat tahun untuk satu kali periode.
Dokumen jaminan hak-hak, atau yang dikenal dengan nama Bill of Rights, juga dicantumkan ke dalam konstitusi. Dokumen ini berisi mengenai jaminan hak-hak dasar warga negara yang tidak bisa dirampas atau dihapus oleh pemerintah, seperti hak kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan berkumpul, kebebasan beragama, kebebasan memiliki senjata, hak untuk mendapat peradilan yang cepat dan terbuka, serta hak untuk tidak mendapat hukuman yang kejam dan tidak berperikemanusiaan.
Apabila lembaga legislatif meloloskan produk hukum yang melanggar konstitusi, atau presiden mengeluarkan aturan yang merampas hak-hak dasar warga negara, maka masyarakat dapat mengajukan judicial review kepada Mahkamah Agung agar peraturan tersebut dicabut.
Sistem pemerintahan yang dibangun oleh bapak pendiri Amerika Serikat tersebut relatif stabil hingga lebih dari 200 tahun sampai saat ini, apalagi bila dikomparasikan dengan negara-negara lain. Amerika Serikat relatif tidak pernah mengalami perubahan sistem bernegara yang mendasar dan fundamental, meskipun dalam sejarahnya mengalami berbagai konflik dan perang yang besar seperti Perang Sipil, Perang Dunia I dan II, serta Perang Vietnam.
Kembali ke pertanyaan awal. Lantas, dengan sistem politik yang dirancang sedemikian rupa oleh bapak pendiri Amerika Serikat untuk mencegah penguasa despot, apakah dengan naiknya Trump ke puncak kekuasaan merupakan bukti bahwa sistem tersebut sudah gagal?
Memang benar Trump merupakan seseorang yang memiliki kecenderungan untuk menjadi penguasa diktator melalui berbagai pernyataannya. Dalam kampanyenya, ia pernah mengatakan akan menuntut jurnalis yang menulis hal buruk tentang dirinya bila terpilih. Ketika China memutuskan untuk menjadikan Xi Jinping presiden seumur hidup, Trump mengucapkan selamat dan mengatakan bila hal tersebut terjadi di Amerika Serikat, maka hal tersebut adalah hal yang sangat baik.
Selain itu, Trump juga kerap mengeluarkan pernyataan celaan terhadap lembaga peradilan yang mencabut aturan yang ia buat, serta anggota badan legislatif yang tidak setuju dengan proposal undang-undang yang ia inginkan.
Tetapi bagi saya, hal ini bukanlah merupakan bukti kegagalan sistem politik di Amerika Serikat. Hal ini justru merupakan bukti kesuksesan sistem politik di Negeri Paman Sam.
Tidak bisa dibantah bahwa berbagai pernyataan yang diutarakan Trump tersebut merupakan sesuatu yang berbahaya bagi demokrasi dan kebebasan. Namun, justru karena Trump menjadi pemimpin di negara dengan sistem politik yang dibangun oleh James Madison, George Washington, dan kawan-kawannya itulah yang membuat ia tidak bisa berbuat sesuai dengan yang ia inginkan.
Trump ingin menuntut jurnalis yang memberitakan hal buruk tentang dirinya, namun ia tidak bisa melakukan hal tersebut karena kebebasan pers merupakan sesuatu yang dilindungi secara kuat oleh konstitusi. Begitu pula dengan dengan jabatan presiden seumur hidup, yang merupakan sesuatu yang mustahil terjadi di Amerika Serikat, karena konstitusi membatasi masa jabatan presiden, meskipun Trump menginginkannya.
Pernyataan Trump mencela berbagai anggota badan legislatif dan para hakim yang tidak menyetujui aturan yang dibuatnya juga tidak dapat mengubah sistem check and balances di Amerika Serikat. Anggota Kongres dalam hal ini tetap memiliki wewenang untuk mengawasi lembaga eksekutif dan para hakim di lembaga legislatif tetap memiliki wewenang untuk mencabut aturan yang dikeluarkan oleh Trump jika melanggar konstitusi.
Berkaca dari negara-negara lain, bila Trump menjadi pemimpin di negara yang sistem politiknya tidak ada pemisahan kekuasaan dan check and balances, maka dampak negatif bagi kebebasan dan demokarsi juga akan sangat besar. Bila Trump menjadi pemimpin di Rusia, China, Turki, atau Arab Saudi misalnya, ia dapat dengan mudah membuat aturan sesuai dengan yang ia inginkan dan membungkam siapapun yang memberikan kritik dan komentar pedas.
Trump juga dapat dengan mudah mengintervensi putusan-putusan dari lembaga yudikatif yang seharusnya bertindak independen, dan menutup mulut para anggota legislatif yang menunjukkan sikap penolakan terhadap aturan yang ia buat. Berkat sistem politik yang dibangun oleh para bapak pendiri bangsa itulah yang mencegah Trump untuk dapat mengambil kebijakan sesuai dengan kehendaknya sendiri.
Tidak ada sistem politik yang dapat mencegah seseorang yang memiliki tendensi menjadi diktator untuk naik ke puncak kekuasaan. Tidak ada sistem bernegara yang sempurna, karena semua sistem tersebut dibuat oleh manusia, dan manusia merupakan makhluk yang tidak pernah dapat lepas dari kekurangan dan kesalahan.
Namun, yang penting untuk dilakukan adalah, bagaimana kita membangun sistem politik dan sistem bernegara yang mencegah seseorang memiliki kekuasaan yang absolut. Dengan demikian, apabila ada seorang despot yang berhasil meraih kekuasaan, kerusakan yang ia lakukan dapat diminimalisir sekecil mungkin. Dan sejauh ini, para bapak pendiri Amerika Serikat terbukti sukses dan berhasil membangun sistem tersebut.
Referensi:
https://www.nytimes.com/interactive/2016/upshot/presidential-polls-forecast.html Diakses pada 1 Maret 2020, pukul 22.50 WIB.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.