Bila Anda bertanya negara apa yang terbaik untuk ditinggali saat ini kepada kalangan kiri di Amerika Serikat, kemungkinan besar Swedia merupakan salah satu dari negara yang akan dipilih.
Swedia merupakan salah satu negara yang paling banyak memberikan pelayanan sosial kepada warganya. Mulai dari fasilitas kesehatan gratis universal, sarana pendidikan gratis hingga tingkat perguruan tinggi, serta jatah libur cuti yang panjang untuk orang tua yang baru memiliki anak hingga 480 hari (dengan tetap mendapatkan 80% dari gaji) merupakan beberapa layanan sosial yang dinikmati oleh penduduk Swedia.
Hal ini merupakan kebalikan ekstrem dari praktik yang dilakukan di Amerika Serikat. Negeri Paman Sam sendiri tidak dikenal sebagai negara yang memberikan layanan sosial secara komprehensif kepada warganya. Amerika Serikat tidak memiliki layanan kesehatan yang universal, perguruan tinggi yang dibiayai negara, ataupun aturan kewajiban cuti bagi pekerja.
Maka tak ayal, banyak politisi-politisi berhaluan kiri di negeri Paman Sam yang melirik Swedia sebagai salah satu contoh negara yang paling ideal, diantaranya adalah Bernie Sanders. Sanders, yang menyebut dirinya sebagai seorang sosialis, kerap merujuk kepada negara-negara Skandinavia seperti Swedia dalam kampanyenya sebagai salah satu kandidat calon presiden dari Partai Demokrat 3 tahun lalu.
Namun, apakah hal itu benar adanya? Benarkah Swedia merupakan negara sosialis utopia sebagaimana yang digambarkan oleh Bernie Sanders dan kalangan-kalangan kiri di negeri Paman Sam?
Hal inilah yang menjadi topik bahasan dari film dokumenter yang berjudul “Sweden: Lessons for America” yang dibawakan oleh sejarawan dan akademisi liberal kelahiran Swedia, Johan Norberg. Dalam pembukaan awalnya, Norberg memperkenalkan kepada kita seorang tokoh era pencerahan bernama Anders Chydenius.
Chydenius merupakan seorang pendeta dan filsuf yang lahir pada tahun 1729 di kota Sotkarno. Sotkarno pada saat ini masuk di dalam wilayah Finlandia, namun pada abad ke 18 kota tersebut merupakan bagian dari kerajaan Swedia. Meskipun terdidik sebagai pendeta, Chydenius memilih untuk masuk ke dalam dunia politik, dan pada tahun 1765, is terpilih sebagai salah satu anggota parlemen Swedia dan tinggal di ibukota Stockholm.
Sebagai anggota parlemen Chydenius memperjuangkan berbagai gagasan yang pada saat ini kita anggap sebagai bagian dari nilai-nilai liberalisme, seperti perdagangan bebas, kebebasan beragama, berekspresi, pers dan migrasi, serta penghapusan praktik penyiksaan.
Pada tahun 1765, 11 tahun sebelum Adam Smith menerbitkan magnum opus-nya, “The Wealth of Nations”, Chydenius sudah mempublikasikan pamflet yang berjudul “The National Gain” (dalam bahasa Swedia, Den nationnale winsten) yang mengadvokasi gagasan pasar bebas. Diantaranya, Chydenius mengadvokasi hak para petani untuk menjual hasil panennya kepada siapapun dan dengan harga apapun yang dikehendaki, serta menyerang kebijakan subsidi ekspor yang diberlakukan oleh pemerintah Swedia.
Advokasi Chydenius terhadap kebebasan pers mendorong Swedia menjadi negara pertama yang memasukkan kemerdekaan pers di dalam konstitusi pada tahun 1766. Karena kritik kerasnya kepada pemerintah Swedia, terutama pada aspek kebijakan ekonomi, Chydenius akhirnya diusir dari parlemen pada tahun 1766. Ia akhirnya pergi meninggalkan Stockholm dan meninggal pada tahun 1803. Saat ini, Chydenius dikenang sebagai bapak liberalisme Swedia.
Lebih dari 50 tahun pasca wafatnya Chydenius, akhirnya gagasan-gagasan pendeta kelahiran Sotkarno tersebut dapat mulai diterapkan, yakni oleh seorang tokoh bernama Johan August Gripenstedt. Gripenstedt, yang menjabat sebagai menteri keuangan Swedia selama 10 tahun dari tahun 1856 – 1866, mengeluarkan serangkaian kebijakan reformasi ekonomi, diantaranya menghapuskan sistem guild yang sudah diterapkan selama ratusan tahun, memberlakukan perdagangan bebas dengan menghapuskan tarif, mengurangi biaya bea cukai, serta menderegulasi industri, terutama regulasi yang menghambat perkembangan industri besi dan kayu.
Hasil dari reformasi ekonomi tersebut menunjukkan dampak yang sangat positif. Swedia berubah dari salah satu negara termiskin di Eropa menjadi salah satu negara terkaya di benua tersebut. Sepanjang 100 tahun dari 1850 – 1950, gross domestic product (GDP) per kapita Swedia naik hingga 7 kali lipat, tingkat kematian bayi berkurang hingga 85%, serta usia harapan hidup yang naik hingga 26 tahun.
Namun pada pertengahan abad ke 20, teapatnya pada dekade 1960-an, Swedia mengambil jalan lain untuk kebijakan ekonominya. Serikat buruh bersama dengan pemerintah Swedia mengambil kebijakan untuk membangun negara kesejahteraan (welfare state) yang menjamin kehidupan seluruh rakyat Swedia dari lahir hingga akhir hayat. Berbagai layanan kesehatan, pendidikan, serta dana pensiun akan dikelola oleh pemerintah dan dibiayai dari uang masyarakat melalui peningkatan pajak.
Pada tahun 1970, untuk memenuhi anggaran belanja negara yang semakin meningkat dikarenakan penyediaan berbagai layanan sosial, Swedia mengeluarkan kebijakan “employers fee” yang dikenakan berdasarkan gaji yang dibayarkan perusahaan kepada karyawan. Kebijakan tersebut merupakan bentuk lain dari pajak yang tidak terlihat, dan dikenakan terlepas dari apakah perusahaan mendapatkan keuntungan atau kerugian.
Awalnya persentase fee tersebut adalah 12,5% dari gaji pegawai. Akan tetapi, 9 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1979, fee tersebut meningkat 3 kali lipat menjadi 37%. Meskipun demikian, para pekerja di Swedia tidak merasakan dampak dari kebijakan tersebut karena yang membayar adalah pihak perusahaan.
Pada akhirnya kebijakan tersebut membawa dampak yang sangat buruk bagi ekomi Swedia. Banyak penduduk Swedia yang berpenghasilan tinggi yang pindah ke negara-negara lain. Selain itu, pertumbuhan ekonomi Swedia menjadi stagnan serta produktivitas perusahaan-perusahaan menjadi menurun.
Tidak cukup dengan itu semua, serikat buruh di Swedia juga menginginkan kebijakan yang memungkinkan mereka untuk menjadi pemilik dari perusahaan tempat mereka bekerja, yang dilakukan melalui mekanisme “wage-earner funds.” Dana tersebut diambil dari sebagian keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan yang dikontrol oleh serikat buruh, dan dana tersebut akan digunakan untuk membeli sedikit demi sedikit saham perusahaan yang mempekerjakan buruh tersebut.
Hal tersebut tentu sangat tidak masuk akal karena sama saja dengan menggunakan uang perusahaan untuk kembali “membeli” perusahaan tersebut. Selain itu, kebijakan ini di Swedia juga mendapatkan protes keras dari banyak kalangan, terutama para pemilik usaha kecil dan menengah yang merasa bahwa nantinya usaha yang mereka miliki akan diambil alih oleh serikat butuh.
Hampir 100.000 warga Swedia turun ke jalan memprotes aturan dana tersebut, yang merupakan demonstrasi terbesar dalam sejarah Swedia. Selain itu, Swedia juga mengalami krisis ekonomi, dimana inflasi melonjak sampai 10% dan suku bunga naik hingga 500%. Berbagai perusahaan besar Swedia pindah ke luar negeri, termasuk diantaranya adalah perusahaan retail IKEA yang pindah ke Swiss. Swedia akhirnya memutuskan untuk berubah haluan pada dekade 1990an dan pemerintah mengeluarkan serangkaian reformasi kebijakan ekonomi, yang diantaranya adalah penghapusan “wage-earner funds” dan pemotongan pajak.
Tidak cukup sampai disitu, reformasi juga merambah ke bidang lain, seperti pendidikan dan dana pensiun. Pasca reformasi ekonomi tersebut, pertumbuhan ekonomi Swedia menjadi meningkat pesat, hingga 50% lebih tinggi dari negara-negara maju. Melalui pendapatan yang diperoleh oleh pemerintah Swedia itulah negara dapat membiayai berbagai layanan sosial, seperti sarana kesehatan, pendidikan sampai perguruan tinggi, hingga rumah jompo untuk warga lansia, berkat pertumbuhan ekonomi.
Namun, bukan berarti lantas pemerintah Swedia memonopoli layanan sosial tersebut. Berbagai perusahaan swasta juga diizinkan untuk terlibat dalam berbagai layanan seperti kesehatan dan pendidikan. Untuk layanan kesehatan di Swedia, sebagian besarnya bukan dikelola oleh pemerintah pusat, namun oleh pemerintah lokal. Selain itu, masyarakat juga memiliki opsi untuk menggunakan asuransi dan layanan kesehatan swasta apabila menginginkan opsi yang lebih banyak dan waktu antrian yang lebih cepat.
Di bidang pendidikan, pada tahun 1992 pemerintah Swedia mengeluarkan kebijakan voucher pendidikan (school vouncher). Melalui kebijakan tersebut, pemerintah Swedia memberikan keleluasaan kepada para orang tua untuk menyekolahkan anaknya di sekolah apapun yang mereka inginkan dengan memberi voucher pendidikan yang dapat digunakan di sekolah apapun di Swedia, baik sekolah negeri maupun sekolah swasta.
Untuk sekolah menengah atas (SMA) misalnya, 50% dari SMA di Swedia dikelola oleh pihak swasta. Sebelum adanya kebijakan voucher pendidikan, hanya orang tua dari keluarga kaya saja yang memiliki kebebasan untuk memilih sekolah apapun bagi anaknya, karena mereka bisa membeli rumah di kawasan yang memiliki sekolah bagus serta kemampuan finansial yang cukup. Dengan adanya kebijakan voucher pendidikan, orang tua yang berasal dari keluarga menengah kebawah juga memiliki kebebasan untuk menyekolahkan anaknya di sekolah yang terbaik sesuai dengan pilihannya.
Swedia juga merupakan negara yang tidak memiliki kebijakan upah minimum. Upah yang dibayarkan oleh perusahaan kepada pekerjanya ditentukan secara bersama–sama oleh pihak perusahaan dan para pekerja karena serikat buruh memiliki kekuatan yang cukup di Swedia.
Norberg menggambarkan bahwa pola hubungan antara serikat buruh dan perusahaan di Swedia pasca reformasi ekonomi pada dekade 1990an sangat kooperatif dan tidak antagonistik seperti di Amerika Serikat. Para pekerja di Swedia mengerti bahwa bila mereka melakukan pemogokan kerja dan bersikap keras tidak mau bernegosiasi dengan perusahaan, maka para pekerja tersebutlah yang akan rugi karena perusahaan tidak akan dapat beroperasi yang niscaya tidak akan mendapat pemasukan.
Terkait dengan kebijakan dana pensiun di Swedia, besarnya dana tersebut sangat dinamis sesuai dengan kondisi ekonomi Swedia pada saat itu. Apabila ekonomi membaik, maka dana pensiun akan meningkat. Dan sebaliknya, apabila ekonomi memburuk, maka dana pensiun akan berkurang. Dengan demikian, politisasi terhadap pengelolaan dana pensiun di Swedia dapat dihilangkan.
Hal tersebut sangat bertolak belakang dari praktik dana pensiun (social security) di Amerika Serikat yang sangat politis. Keputusan untuk menaikkan atau memotong social security tidak dibuat berdasarkan keadaan ekonomi, namun berdasarkan partai apa yang berkuasa. Apabila Partai Republikan yang berkuasa, maka dana pensiun akan dikurangi. Sementara bila partai Demokrat yang berkuasa, dana pensiun akan ditambah.
Sebagai penutup, dalam film ini Norberg menunjukkan bahwa Swedia bukanlah “surga sosialisme” sebagaimana yang banyak dianggap kalangan kiri di Amerika Serikat seperti Bernie Sanders.
Keberhasilan Swedia bukan disebabkan oleh adanya peran pemerintah yang besar dalam mengatur hidup perekonomian, namun karena pemerintah berhasil mereformasi ekonomi yang mendekati ekonomi pasar. Kebijakan ekonomi yang intervensionis sudah terbukti gagal dalam membawa kesejahteraan di Swedia sebagaimana yang ditunjukkan pada periode 1970an sampai 1990an.
Memang benar bahwa pemerintah Swedia membiayai banyak layanan sosial kepada wargaya, namun bukan berarti kompetisi sektor swasta menjadi dihilangkan dan pemerintah memonopoli seluruh bidang tersebut. Masyarakat Swedia memahami bahwa kompetisi dan mekanisme pasar merupakan sesuatu yang sangat penting untuk menumbuhkan inovasi yang akan membawa pada kesejahteraan.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.