(Lanjutan dari bagian 1)
Kritik yang dilancarkan oleh lawan politik Mike Pence, dan juga saudara Jerry dalam opininya, terhadap mantan gubernur Indiana tersebut, bukan hanya mengenai RFRA, namun juga berbagai kebijakan lain yang diambilnya, diantaranya adalah dukungan Mike Pence terhadap conversion theraphy bagi kelompok LGBTQ, pandangannya terhadap imigrasi, serta dukungannya terhadap pencabutan dana pemerintah bagi lembaga yang menyediakan fasilitas aborsi untuk kaum perempuan, salah satunya adalah Planned Parenthood. Selain itu, kritik lain yang ditujukan terhadap Pence, yang dalam hal ini tidak disinggung oleh saudara Jerry dalam tulisannya, adalah mengenai kebijakannya mengenai voucher pendidikan untuk siswa kurang mampu. Saya akan mencoba menelaah secara singkat berbagai kritik tersebut dengan menggunakan sudut pandang yang berbeda.
Terkait dengan dukungan Pence terhadap conversion theraphy, saya berusaha mencari informasi mengenai hal tersebut melalui media-media besar seperti New York Times dan Washington Post, dan yang saya dapatkan adalah, bahwasanya tuduhan tersebut hanya didasari pada pernyataan dalam kampanye Pence untuk kursi anggota DPR Amerika Serikat, dimana ia menyatakan bahwasanya dana pemerintah yang digunakan untuk pengobatan HIV/AIDS sebaiknya dialihkan untuk memberi fasilitas untuk orang-orang yang ingin mengubah perilaku seksualnya.
Conversion theraphy sendiri merupakan suatu bentuk cara untuk mengubah orientasi seksual seseorang dengan menggunakan metode-metode psikoanalisis (sumber: New York Times, edisi 30 Nov 2016.) Conversion Theraphy dalam hal ini sudah ditentang keras oleh Asosiasi Kedokteran Amerika Serikat (American Medical Association) dan Asosiasi Psikolog Amerika Serikat (Americam Psychological Association), dan bahkan dinyatakan sebagai bentuk penipuan. Setelah pernyataan Pence tahun 2000 tersebut, saya belum menemukan kembali Pence mengeluarkan kata-kata yang serupa pada tahun-tahun selanjutnya. Dan juga, ketika menjadi gubernur Indiana pada tahun 2013 hingga dilantik sebagai wakil presiden tahun 2017, saya belum menemukan bukti bahwa Pence memiliki maksud untuk mengimplementasikan penyatannya di masa lalu tersebut di negara bagian yang dipimpinnya. (Saya bisa saja salah dalam hal ini, dan pembaca bisa mengoreksi pernyataan saya tersebut apabila menemukan bukti-bukti lain melalui sumber yang kredibel.)
Selain itu, lantas, bagaimana dengan pandangan Pence untuk mencabut dana bagi lembaga penyedia fasilitas aborsi, seperti Planned Parenthood? Apakah hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai kebebasan?
Sebelum memberi jawaban langsung terhadap pertanyaan tersebut, patut ditekankan bahwasanya libertarianisme mengakui bahwa wewenang negara untuk mengatur kehidupan masyarakat haruslah seminimal mungkin demi terjaminnya hak kebebasan individual. Sebagian besar pemikir libertarian, termasuk diantaranya Ludwig von Mises dan Milton Friedman, mengadvokasi gagasan bahwa pemerintah yang ideal hanyalah memiliki fungsi untuk membela negara dari serangan asing, melindungi hak individual warganya di dalam negeri, serta menyelesaikan perselisihan yang terjadi di masyarakat.
Penyediaan fasilitas aborsi, dalam hal ini, bukanlah bentuk perwujudan salah satu dari tiga peran pemerintah yang ideal tersebut. Selain itu, khusus mengenai aborsi, harus diakui, apapun pandangan kita mengenai hal tersebut, terminasi kehamilan merupakan isu yang sangat membelah masyarakat Amerika Serikat. Di satu pihak, ada yang bersikukuh bahwasanya aborsi merupakan hak fundamental kaum perempuan untuk mengatur tubuhnya sendiri dan saya sendiri berada di posisi tersebut. Namun, di sisi lain, tidak sedikit pula rakyat negeri Paman Sam yang berkeyakinan bahwasanya aborsi sama dengan pembunuhan bayi, karena mereka berpandangan bahwa manusia layak diakui sebagai pribadi yang utuh sejak dalam kandungan.
Seperti halnya pandangan saya mengenai praktik diskriminasi yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap kelompok minoritas yang sudah dibahas sebelumnya, seperti LGBTQ, meskipun saya memiliki posisi yang sangat pro-choice (mendukung penuh hak perempuan untuk aborsi), namun saya tidak memiliki hak memaksa orang lain untuk berpandangan yang sama dengan saya. Saya menghargai apabila ada seseorang yang memiliki posisi menentang aborsi dengan dasar apapun, baik agama, tradisi, maupun nilai-nilai moralitas yang dianutnya.
Pemerintah hanya mampu untuk mendapatkan uang dengan cara mengambil secara paksa dari hasil kerja keras masyarakat, salah satunya dalam bentuk pajak. Ketika pemerintah memberi dana untuk lembaga penyedia aborsi, berarti dengan demikian pemerintah telah secara paksa mengambil uang masyarakat untuk membiayai fasilitas tersebut, tidak memedulikan apakah ada warganya yang berpandangan menentang aborsi atau tidak. Memaksa seseorang untuk membiayai sesuatu yang sangat ia tidak setujui dari hasil kerja kerasnya merupakan bentuk pelanggaran hak individual dan sangat bertentangan dengan nilai-nilai kebebasan.
Mengenai pandangan Pence yang menentang kebijakan imigrasi terbuka, khususnya terhadap pengungsi dari Suriah dan korban perang lainnya, tidak perlu lagi diperdebatkan bahwasanya hal tersebut sangat bertentangan dengan gagasan libertarianisme. Kebebasan untuk bepergian merupakan salah satu hal yang sangat dijunjung tinggi libertarianisme. Terlebih lagi bilamana seseorang yang berpindah tempat tersebut merupakan korban kekerasan yang berupaya untuk menyelamatkan diri demi penghidupan yang lebih baik.
Namun, untuk adilnya, apakah pandangan seperti ini hanya dianut oleh Pence, dan politisi partai Republikan semata?
Pada kenyataannya ternyata tidak demikian. Imigrasi yang ketat juga merupakan kebijakan yang diadvokasi oleh para politisi dari lawan partai Republik, yakni partai Demokrat, bahkan termasuk presiden Obama sendiri. Tidak tanggung-tanggung, lembaga think tank yang memiliki fokus kajian terhadap imigrasi yang berbasis di Washington D. C., Migration Policy Institute, melaporkan bahwa selama masa jabatannya, presiden Amerika kelahiran Hawaii tersebut telah mendeportasi lebih dari 5 juta orang. Media-media besar negeri Paman Sam seperti ABC News misalnya, bahkan menyatakan bahwa Obama menduduki peringkat pertama sebagai presiden yang paling banyak mendeportasi imigran sepanjang sejarah Amerika Serikat.
Maka dari itu, sangatlah tidak adil bilamana kita menuduh Mike Pence sebagai wakil presiden yang anti-kebebasan karena pandangannya terhadap imigrasi, namun pada saat yang sama kita memiliki pandangan yang sangat positif terhadap presiden Obama (saya dalam hal ini tidak menyatakan bahwa saudara Jerry memiliki pandangan positif terhadap Obama, karena hal tersebut tidak ditunjukkan oleh saudara Jerry dalam tulisannya. Namun, banyak dari lawan politik Pence, yang mengecam posisi wakil presiden Amerika tersebut terhadap imigrasi, namun pada saat yang sama memuja Obama. Saya hanya ingin mencoba menunjukkan bahwasanya advokasi kebijakan imigrasi yang ketat dan bahkan kebijakan deportasi merupakan sesuatu yang tidak hanya dianut oleh Pence atau politisi dari partai Republik semata.)
Sebagai tambahan, ada banyak kebijakan Mike Pence lain yang sejalan dengan gagasan libertarianisme, diantaranya yang terkait dengan hak kepemilikan senjata api. Pence mendapatkan rating A dari organisasi pegiat hak kepemilikan senjata, National Rifle Association (NRA) karena berbagai usahanya melindungi hak fundamental warga negeri Paman Sam tersebut, yang telah dicantumkan secara eksplisit dalam amandemen kedua Konstitusi Amerika Serikat. Pence misalnya, dalam wawancaranya dengan jurnalis Chris Wallace tahun 2014, menyatakan bahwasanya ia sangat mendukung hak untuk memiliki dan membawa senjata api dan meyakini bahwa akan lebih baik apabila warga Amerika Serikat yang taat hukum diperbolehkan untuk membawa senjata api, karena dengan demikian mereka memiliki sarana untuk membela diri dan keluarganya dari tindakan kriminal.
Pence juga mendukung banyak legislasi yang melindungi hak kepemilikan senjata, diantaranya ketika tahun 2009, dimana saat itu ia masih menjadi anggota DPR Amerika Serikat, Pence mendukung rancangan undang-undang federal National Right-to-Carry Reciprocity Act, yang salah satu isinya memberi jaminan bahwasanya apabila seseorang sudah mendapat izin untuk membawa senjata di satu negara bagian, maka izin tersebut dapat berlaku di seluruh negara bagian di Amerika Serikat. Pada tahun 2011, Pence juga menjadi salah satu sponsor undang-undang Firearms Interstate Commerce Reform Act, yang memberi kemudahan kepada masyarakat untuk membeli senjata api dari luar negara bagian yang ditempatinya.
Hak untuk membela diri (self-defense), baik terhadap kriminal maupun pemerintah yang otoriter, merupakan salah satu hak yang paling fundamental dan sangat dijunjung tinggi oleh gagasan libertarianisme, dan konsep mengenai hak tersebut dapat ditarik hingga ke literatur-literatur yang ditulis oleh para pemikir era Pencerahan ratusan tahun yang lalu, dimana perlindungan terhadap kepemilikan senjata merupakan salah satu bagian dari pengejewantahan hak untuk membela diri. Salah satu tokoh era Pencerahan yang menekankan pentingnya hak untuk memiliki senjata adalah filsuf liberal klasik asal Italia bernama Cesare Beccaria.
Dalam karya masyhurnya yang diterbitkan tahun 1764, “On Crimes and Punishments”, Beccaria menulis bahwasanya “adanya aturan yang membatasi atau melarang kepemilikan senjata api hanya akan melucuti senjata orang-orang yang taat hukum dan tidak memiliki keinginan untuk berbuat tindakan kriminal” dan juga bahwa “seseorang yang membawa senjata akan memiliki kemungkinan lebih kecil untuk mendapatkan serangan dari orang lain dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki senjata.” (Laws forbidding people to bear arms are of this nature, they only disarm those who are neither inclined nor determined to commit crimes; An unarmed person may be attacked with greater confidence than someone who is armed.)
Sir William Blackstone, salah satu hakim kenamaan asal Inggris pada abad ke 18, dalam bukunya “Commentaries on the Laws of England” juga menyatakan bahwasanya “hak untuk membela diri merupakan salah satu hak alamiah yang paling penting dan maka dari itu tidak bisa dicabut oleh hukum yang dibuat oleh masyarakat.” (Self defense is justly called the primary law of nature, so it is not, neither can it be in fact, taken away by the laws of society.)
Adanya pengakuan terhadap hak untuk membela diri, namun tidak dibarengi dengan kemudahan untuk memperoleh atau membawa sarana untuk menjalankan hak tersebut (dalam hal ini yakni hak untuk memiliki dan mambawa senjata api) merupakan sesuatu yang sia-sia, terlebih lagi bahwa di Amerika Serikat hak kepemilikan dan membawa senjata merupakan sesuatu yang sudah dijamin oleh konstitusi melalui amandemen kedua. Hal tersebut sama absurdnya dengan pengakuan terhadap hak kebebasan berbicara, namun pada saat yang sama masyarakat dilarang atau dipersulit untuk mendapatkan atau mengoperasikan berbagai sarana untuk menjalankan hak tersebut, seperti alat tulis, kertas, speaker, radio, televisi, koneksi internet, percetakan koran dan stasiun penyiaran, maka hal tersebut tidaklah ada gunanya.
Sebagai penutup, perlu ditekankan bahwa membela Mike Pence habis-habisan bukanlah tujuan utama saya dalam menulis tanggapan ini. Seperti yang sudah saya paparkan sebelumnya, Mike Pence secara umum bukanlah seorang libertarian. Namun, penting bagi saya untuk kita agar melancarkan kritik kepada politisi secara tepat. Meskipun banyak posisi politik Pence yang patut ditentang, namun tidak sedikit pula kebijakan-kebijakannya yang layak untuk mendapat apresiasi karena sejalan dengan ide-ide kebebasan.
Referensi:
http://www.migrationpolicy.org/article/obama-record-deportations-deporter-chief-or-not

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.