“Manakah seseorang yang lebih egois? Seseorang yang menginginkan pajak rendah dan peran pemerintah yang sangat kecil, atau seseorang yang menginginkan pajak yang sangat tinggi dan peran pemerintah yang sangat besar untuk menyediakan berbagai pelayanan dan mengatur perekonomian?”
Bila Anda bertanya demikian, besar kemungkinan, Anda akan mendengar jawaban bahwa mereka yang memiliki pandangan pajak rendah dan pemerintah yang terbatas adalah seseorang yang sangat egois dan tidak peduli terhadap sesama. Orang-orang yang memiliki pandangan demikian dianggap sebagai sosok yang hanya ingin menumpuk kekayaan bagi diri mereka sendiri untuk memuaskan keinginanya, seraya tidak memiliki rasa belas kasih dengan kesulitan yang dimiliki oleh orang lain.
Bagi sebagian kalangan, pemerintah yang bertanggung jawab adalah pemerintah yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan warganya. Pemerintah harus menyediakan berbagai fasilitas seperti sarana pendidikan, kesehatan, transportasi publik yang terjangkau, tempat tinggal, dan berbagai fasilitas lainnya. Pemerintah juga harus menyediakan berbagai program jaminan seperti jaminan untuk mendapatkan pekerjaan dan lain sebagainya.
Untuk membiaya berbagai fasilitas dan program tersebut, maka pajak yang sangat tinggi adalah hal yang tidak bisa dilepaskan. Pemerintah harus bisa mengumpulkan pajak dalam jumlah yang snagat besar, terutama dari mereka yang memiliki uang lebih banyak daripada masyarakat lainnya, untuk membiayai berbagai program tersebut.
Orang-orang yang memiliki pandangan demikian, umumnya juga memiliki pandangan bahwa uang dan aset yang kita miliki bukanlah sepenuhnya milik kita. Uang dan aset yang kita miliki dari hasil kerja keras dan inovasi yang kita lakukan, juga pada saat yang sama dimilki oleh masyarakat, dan oleh karena itu, negara memiliki wewenang untuk memaksa kita membagi aset dan kekayaan yang kita miliki kepada orang lain.
Lantas, apakah pandangan tersebut merupakan sesuatu yang tepat? Apakah orang-orang yang memiliki pandangan bahwa peran pemerintah harus seminim mungkin dan menentang kebijakan pajak tinggi untuk membiayai berbagai program sosial dan meredistribusi kekayaan adalah seseorang yang egois dan tidak memiliki rasa peduli terhadap orang lain?
*****
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, izinkan saya menuliskan ilustrasi sederhana. Bayangkan bila Anda bersama kawan Anda sedang berjalan di atas trotoar. Suatu saat, Anda dan kawan Anda melihat ada seorang tua yang sedang meminta-minta di pinggir jalan.
Kawan Anda lantas merasa iba pada sosok peminta-minta tersebut. Ia lantas mengambil paksa salah satu HP yang Anda miliki, dan mengatakan bahwa ia akan menjual HP tersebut ke toko selular terdekat, dan memberikan uangnya kepada sang pengemis.
Anda lantas menjadi sangat kesal dan menolak keras usulan kawan Anda tersebut, serta mencoba mengambil kembali HP Anda. Anda juga menyatakan mengapa tidak kawan Anda yang menjual HP-nya dan memberikan uangnya kepada pengemis tua tersebut.
Kawan Anda menjawab bahwa ia hanya memiliki satu HP saja, dan sementara Anda memiliki dua telepon seluler. Selain itu, kawan Anda juga menyatakan kedua telepon seluler yang Anda miliki juga memiliki harga lebih mahal daripada HP yang dimiliki oleh kawan Anda, seraya berseoloroh mengatakan bahwa Anda sebagai seseorang yang sangat egois karena tidak bersedia membagi barang Anda untuk seseorang yang sangat membutuhkan.
Melalui ilustrasi tersebut, siapakah tokoh yang lebih egois? Apakah Anda dalam hal ini adalah seseorang yang tidak bermoral karena tidak bersedia mengikuti keinginan kawan Anda untuk membagi kekayaan yang Anda miliki kepada orang lain?
Ilustrasi di atas mungkin akan terdengar sangat absurd. Bagaimana bisa kawan Anda memaksa Anda menjual HP yang Anda miliki untuk diberikan ke orang lain?
Pemaksaan dan hinaan yang dilontarkan oleh kawan Anda kepada Anda sebagai sosok yang egois tentu merupakan sesuatu yang tidak masuk akal. Anda dalam hal ini hanya ingin membela properti yang Anda miliki yang diambil secara paksa. Bahkan, bukan tidak mungkin sebagian dari pembaca justru menganggap kawan Anda sebagai sosok yang sangat egois karena ia secara paksa mengambil HP yang Anda miliki untuk memenuhi sesuatu yang ia inginkan di luar dari kehendak Anda sebagai pemilik sah dari HP tersebut.
Ilustrasi di atas sedikit banyak bisa menggambarkan kesalahpahaman yang kerap muncul terhadap orang-orang yang menolak pajak tinggi, redistribusi kekayaan, dan menginginkan peran pemerintah yang sangat minim dan terbatas untuk menjaga kebebasan dan hak properti yang dimiliki oleh warganya. Mereka bukanlah seseorang yang egois yang tidak peduli pada orang lain, melakinkan mereka adalah orang-orang yang tidak ingin pemerintah menjadi perampok yang mengambil paksa kekayaan dan properti yang dimiliki oleh warganya, yang seharusnya dilindungi.
Gagasan-gagasan yang menjunjung tinggi pajak yang sangat rendah dan wewenang pemerintah yang sangat minim, seperti liberalisme klasik, libertarainisme, atau gagasan konservatisme di negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan Britania Raya, tidak pernah melarang seseorang untuk saling berbagi dan membantu orang lain yang sedang mengalami kesulitan. Namun, hal tersebut harus dilakukan berdasarkan kesukarelaan, dan bukan melalui pemaksaan dari pemerintah dengan menggunakan senjata dan ancaman penjara.
Selain itu, di Amerika Serikat misalnya, justru mereka yang memiliki pandangan konservatif sayap kanan cenderung lebih dermawan dan lebih banyak berkontribusi dalam tujuan amal (charitable causes) dibandingkan dengan mereka yang memiliki pandangan liberal sayap kiri (NYTimes, 20/12/2008). Penting untuk ditekankan, dalam hal ini, terminologi “liberalisme” dalam diskursus politik di Amerika Serikat identik dengan gagasan-gagasan kiri-progresif dan sosialis yang mendukung pajak tinggi, peran pemerintah yang semakin besar, dan redistribusi kekayaan.
Kelompok-kelompok konservatif di Amerika Serikat juga cenderung lebih murah hati untuk berdonasi hal-hal lain selain dengan uang dibandingkan dengan kelompok-kelompok liberal, salah satunya adalah dalam bentuk donor darah. Diestimasikan, bila mereka yang berpandangan liberal di Amerika Serikat melakukan donor darah sebanyak yang dilakukan oleh mereka yang memiliki pandangan konservatif, maka ketersediaan pasokan darah di Amerika Serikat dapat meningkat 45% (NYTimes, 20/12/2008).
Hal ini tentu merupakan sesuatu yang sangat ironis, mengingat selama ini, kelompok-kelompok kiri yang selalu menggembar-gemborkan bahwa kita semua harus saling berbagi kekayaan dan membantu sesama. Sepertinya, memang bagi sebagian mereka yang memiliki pandangan politik kiri progresif atau sosialis, saling berbagi kekayaan adalah sesuatu yang sangat baik dilakukan apabila dengan menggunakan kekayaan dan uang orang lain, namun tidak bila menggunakan uang dan kekayaan yang mereka miliki.
Lantas bagaimana dengan pandangan bahwa kekayaan dan aset yang kita miliki bukanlah milik kita? Bila pandangan tersebut dapat dijustifikasi, maka bukankah kebijakan pajak tinggi dan redistribusi kekayaan bisa dibenarkan?
Pertanyaan di atas merupakan salah satu topik yang dibahas oleh filsuf kenamaan asal Amerika Serikat, Robert Nozick, dalam bukunya yang berjudul Anarchy, State, and Utopia (terbit tahun 1974). Nozick, dalam bukunya memaparkan bahwa, pengambilan paksa terhadap pendapatan yang dimiliki oleh seseorang, maka hal tersebut tidak ada bedanya dengan praktik kerja paksa (Nozick, 1974).
Gagasan Nozick ini bisa dianalogikan melalui ilustrasi berikut. Misalnya, Anda bekerja selama 20 hari dalam 1 bulan, dan mendapatkan gaji 20 juta rupiah. Dari pendapatan tersebut, Anda harus membayarkan pajak yang dikenakan oleh pemerintah sebesar 40%, atau sebesar 8 juta rupiah. Anda dalam hal ini hanya membawa pulang uang sebesar 12 juta rupiah.
Bila pendapatan tersebut diperinci, Anda bekerja 20 hari dalam 1 bulan dengan pendapatan 20 juta rupiah per bulan, maka per harinya Anda akan mendapatkan 1 juta rupiah. Dengan demikian, bila pemerintah mengambil 8 juta rupiah dari gaji Anda, maka selama 8 hari Anda bekerja tidak mendapat bayaran. Hal ini sama dengan pemerintah memaksa Anda untuk bekerja selama 8 hari selama 1 bulan tanpa pemasukan apapun, dan tidak ada kata lain untuk menyebutkan seseorang yang bekerja tidak dibayar sebagai pekerja paksa.
Lantas, bagaimana dengan para sukarelawan yang bekerja di berbagai tempat, seperti rumah jompo atau panti asuhan misalnya, yang juga tidak dibayar. Apakah berarti bila seseorang yang bekerja tidak dibayar sama dengan pekerja paksa, maka mereka juga merupakan pekerja paksa.
Untuk menjawab pertanyaan ini, kembali ke pembahasan awal, kuncinya adalah kesukarelaan. Seorang sukarelawan yang bekerja tanpa dibayar bekerja dengan sukarela dan tanpa paksaan. Ia juga bisa memilih untuk tidak bekerja kapanpun ia inginkan. Hal ini jelas berbeda dengan karyawan yang dipajaki dengan pajak tinggi oleh pemerintah. Ia tidak bisa menolak bila ia tidak ingin membayar pajaknya.
Lalu, bila demikian, bukankah negara minimal (minimal state) yang diadvokasi oleh libertarianisme juga membutuhkan pajak untuk membiayai pelayanan esensial dari negara tersebut, seperti angkatan bersenjata untuk membela dari serangan luar negeri, aparat penegak hukum untuk menindak mereka yang melanggar hak orang lain, dan lembaga peradilan untuk menengahi perselisihan?
Terkait dengan hal ini, terdapat perbedaan gagasan dalam diskursus libertarianisme sendiri. Gagasan libertarianisme yang lebih ekstrim, seperti anarko-kapitalisme, menganggap bahwa institusi negara apapun tidak dapat dijustifikasi karena dibiayai dari pajak yang diambil paksa dari individu.
Sementara, libertarianisme miniarkis berpandangan negara minimal dengan pemerintahan yang sangat terbatas merupakan institusi yang sangat penting untuk melindungi hak dan kebebasan individu. Memang tidak bisa dipungkiri, negara dengan pemerintah sekecil apapan wewenangnya, membutuhkan pajak untuk mendanai dirinya. Namun, tidak ada cara lain untuk mengorganisir masyarakat agar tidak melanggar hak individu satu sama lain tanpa adanya institusi sentral yang memonopoli kekerasan.
Filsuf besar Amerika Serikat kelahiran Britania Raya yang hidup di abad ke-18, Thomas Paine, dalam karyanya yang berjudul Common Sense (terbit 1776) menulis bahwa pemerintah adalah “necessary evil”. Pemerintah merupakan institusi yang penting untuk didirikan di dalam masyarakat untuk mencegah tindakan kejahatan, yang menurut Paine merupakan bagian dari watak manusia (human nature) (Paine, 1776). Oleh karena itu, wewenang yang dimiliki oleh pemerintah harus seminim mungkin, untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan munculnya pemerintahan yang melanggar hak-hak individu, termasuk diantaranya hak atas kepemilikan properti.
Referensi
Buku
Nozick, Robert. 1974. Anarchy, State, and Utopia. Blackwell Publishers: Oxford.
Shapiro, Ian; Jane E. Calvert [Editor]. 2014. Selected Writings of Thomas Paine. New Haven: Yale University Press.
Internet
https://www.nytimes.com/2008/12/21/opinion/21kristof.html?em Diakses pada 20 Oktober 2020, pukul 22.55 WIB.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.