Apakah Libertarianisme Anti Terhadap Orang Miskin?

    447

    Masalah kemiskinan merupakan hal yang menjadi persoalan umat manusia dari zaman purbakala hingga zaman modern. Dalam kitab-kitab suci, kita mengenal terminologi sedekah, berderma, orang lemah dan orang kaya disebut secara jelas. Hal ini menandakan bahwa kemiskinan itu sendiri sudah ada sejak zaman dahulu kala dan masih menjadi persoalan manusia yang paling utama.

    Terlepas bagaimana sejarah merekam jejak kemiskinan dari ribuan tahun yang lampau, masalah kemiskinan, ketimpangan sosial dan kemelaratan telah menjadi fokus utama di berbagai negara saat ini. Pandemi COVID-19 yang secara tiba-tiba mewabah di seluruh dunia membuat tingkat kemiskinan menjadi semakin tinggi bahkan cukup ekstrim.

    Ya, siapapun orang di seluruh dunia pasti tidak menginginkan hidup sebagai orang miskin. Setiap orang bermimpi hidup kaya raya atau minimal hidup dalam kesederhanaan dan kecukupan. Karena itu, banyak pemikir di dunia berusaha untuk mencari suatu cara agar kemiskinan bisa ditanggulangi bahkan diberantas sama sekali.

    Salah satu gagasan konseptual dan praktis yang berusaha mewujudkan masyarakat yang adil tanpa ada ketimpangan si kaya dan si miskin adalah Marxisme dan Anarkisme. Keduanya adalah ideologi yang mana para penganutnya berusaha mewujudkan impian mereka untuk menciptakan suatu masyarakat tanpa kelas-kelas dan diskriminasi sosial.

    Filsafat Marxisme dan Anarkisme yang dianggap sebagai”‘filsafatnya orang miskin” membuat generasi muda banyak tertarik dengan pandangan populis ini untuk mengecam pemerintah yang dianggap sebagai “pendukung neo-liberal”, “pro kapitalisme” dan lain sebagainya (Njoto, 1964).

    *****

    Selama penulis menelusuri pandangan-pandangan kebebasan, pasar bebas dan libertarianisme, penulis bisa memaklumi mengapa gagasan ini sering disalahpahami sebagai ide yang tidak berpihak pada kemiskinan. Sebabnya yang pertama adalah kurangnya literasi masyarakat Indonesia, dan kemudian pembelaan libertarianisme terhadap pasar bebas.

    Untuk yang pertama, kekurangan literasi mengenai liberalisme klasik atau libertarianisme adalah keniscayaan karena buku-buku mengenai pasar bebas dan libetarianisme masih sangat minim bahkan bisa dihitung jari. Hal ini juga yang terjadi di lembaga-lembaga akademis seperti kampus. Hanya sedikit mahasiswa yang tertarik pada gagasan liberal yang dianggap tidak progresif, dan dianggap tidak memuaskan dalam membaca situasi kemiskinan. Kelebihan Marxisme dan pemikir-pemikir kiri lainnya, adalah mereka menawarkan visi pembebasan yang menjanjikan kemerdekaan bagi yang lemah dan musnahnya kaum miskin.

    Dan masalah yang kedua adalah, pembelaan libertarianisme terhadap pasar bebas atau kritik terhadap kapitalisme sebenarnya sudah dimulai sebelum Marx dan Engels membuat kitab monumentalnya, Manifesto Komunis. Kaum Anarko seperti Proudhon sudah mengkritik kepemilikian pribadi sebagai sumber masalah (Proudhon, 1890).

    Dengan slogan “kepemilikan adalah pencurian”, Proudhon mengkritik kapitalisme yang terlalu mengejar keuntungan pribadi pada masa kemajuan revolusi industri. Kritikan Proudhon menjadi landasan bagi Marx untuk mendiskusikan mengenai akumulasi modal (kapital) dan penghisapan kaum pekerja. Ketika gagasan Marx dan Proudhon ini tersebar ke seluruh penjuru dunia, para orator dan politikus lebih suka menggeneralisir “kapitalisme sebagai sumber kemiskinan” ketimbang memahami secara komprehensif persoalan yang sebenarnya terjadi.

    *****

    Persoalan mengenai kemiskinan menjadi diskursus yang nampaknya tak akan pernah habis untuk dibicarakan. Jika kita kembali ke pemikiran kaum sosialis dan Marxisme, akar kemiskinan akan bertumpu pada ketidakadilan dalam masyarakat mengenai pengelolaan alat produksi dan penindasan terhadap individu lain (hal ini bisa dilihat buku Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia karangan D.N. Aidit, hlm. 12).

    Namun, dalam diskursus liberalisme klasik dan pasar bebas, masalah kemiskinan tidak sesederhana itu. Ada sekian banyak faktor yang menjadi faktor kemiskinan. Libertarianisme percaya ada faktor individu juga menjadi salah satu faktor penting yang menentukan seseorang menjadi kaya atau miskin. Jadi, alih-alih menyalahkan pihak lain atas nasib yang menimpa diri, libertarianisme mendorong inovasi dan semangat setiap orang untuk mengejar kebahagiaan dan kesejahteraan.

    Jika kaum sosialis dan Marxis melihat kemiskinan sebagai sebuah korban kejahatan, Libertarian lebih memandang arif bahwa kemiskinan adalah realitas dan dinamika kehidupan. Namun, kaum libertarian tidak hanya diam saja. Tentu dalam prinsip ekonomi dan politik, libertarianisme berusaha untuk “merekayasa” agar masyarakat terangkat dari kemiskinan ekstrim dan minimal mempersempit “kesenjangan” sosial (Norberg, 2018).

    Prinsip ekonomi pasar bebas adalah memperjuangkan hak ekonomi semua orang, dan membuat si miskin tetap mendapatkan fasilitas kehidupan, seperti pendidikan, makanan, berlibur, dan juga dengan mudah mendapat pekerjaan. Jika aktivis Marxis percaya bahwa subsidi dan penguasaan negara pada alat produksi dapat memeratakan kesejahteraan, libertarianisme justru menitikberatkan pada perdagangan dan kerja keras yang mampu mengangkat kemiskinan.

    Mari kita lihat yang terjadi di negara-negara sosialis seperti Venezuela dan Korea Utara yang menjadikan negara sebagai akumulasi tertinggi kekayaan serta pengontrol pasar. Hasilnya, inovasi individu menjadi mati, usaha individu berjalan di tempat (karena tidak boleh menyaingi perusahaan negara), serta ketergantungan rakyat pada bantuan dan subsidi pemerintah yang justru menguras anggaran belanja kedua negara tersebut.

    Stagnasi negara-negara sosialis dan pesatnya negara-negara yang mengadopsi ekonomi pasar adalah bukti bahwa pengentasan kemiskinan lewat pasar bebas dan penghargaan pada karya individu lebih efektif ketimbang menunggu instruksi negara untuk memeratakan kesejahteraan.

    Ya, memang di negara-negara bebas seperti Amerika bahkan Singapura yang berpendapatan tinggi masih terdapat orang miskin. Namun, fasilitas yang didapat orang miskin di Amerika dan Singapura jauh lebih baik ketimbang di Venezuela dan Korea Utara. Mereka masih bisa makan (bahkan kaum miskin di sana juga mengalami obesitas), memiliki kendaraan, dan tempat tinggal untuk bernaung, air selama 24 jam mengalir, bebas buta huruf, dan mampu mengakses media sosial (Mallarangeng, 2020)

    Libertarianisme tidak menafikkan bahwa kemiskinan adalah sebuah kodrat kehidupan. Lantas, yang harus kita lakukan adalah, kita harus berusaha mencari jalan untuk mendekatkan kesenjangan kaya dan, miskin serta berusaha agar si miskin setidaknya mendapat kesempatan yang sama untuk memperbaiki hidup.

    Mungkin akan ada pembaca yang berpikir, “Ah, pemikiran tersebut terlalu abstrak dan halusinasi, kita membutuhkan langkah-langkah yang tepat!”

    Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah memberi bantuan sosial akan menjawab persoalan? Ya, mungkin mereka akan semakin mudah hidupnya.

    Namun, hal tersebut tidak mengatasi persoalan dan mengentaskan kemiskinan secara permanen. Libertarianisme tidak menolak bantuan sosial yang lebih tepat sasaran, seperti memberi kredit berbunga rendah bagi mereka yang ingin berusaha atau memberikan bantuan pendidikan bagi mereka yang kurang mampu, dalam bentuk voucher pendidikan misalnya.

    Sebaliknya, sistem ekonomi pasar bebas adalah sistem yang demokratis, ia justru berpihak pada rakyat dan efektif untuk meningkatkan kesejahteraan dan memangkas kemiskinan. Sifat ekonomi pasar bebas dan kapitalisme yang demokratis tersebut tercermin dari penolakan kapitalisme pada monopoli, oligarki, dan kontrol harga, ekonomi kapitalisme berbasis pada pemuasan konsumen atau orang banyak dan mendorong untuk meminimalisir pajak (Suara Kebebasan, 2019).

    Sebagai penutup, sudah terbutkti bahwa kompetisi yang sehat akan membuat harga barang menjadi lebih terjangkau, peluang usaha yang bebas akan membuat gairah wirausaha tumbuh. Pajak yang rendah akan membuat biaya hidup jadi lebih ringan dan ini jelas menguntungkan untuk orang yang berada dalam garis kemiskinan.

     

    Referensi

    Aidit, D N.  1961. Masyarakat Indonesia Revolusi Indonesia. Jakarta: Yayasan Pembangunan.

    Mallarangeng, Rizal. 2020. Dari Jokowi ke Harari: Kumpulan Esai tentang Politik, Ilmu dan Masa Depan. Jakarta: KPG.

    Njoto. 1964. Marxisme: Ilmu dan Amalnja. Jakarta: Harian Rakjat.

    Norberg, Johan. 2018. Membela Kapitalisme Global. Jakarta: Freedom Institute.

    Proudhon, Pierre Joseph. 1890. What is Property: An Inquiry into the Principle of Right and of Government, terj. Benjamin R. Tucker. Virginia: Humboldt Publishing Company.

    Suara Kebebasan. 2019. Libertarianisme: Perspektif kebebasan atas kekuasaan dan kesejahteraan. Jakarta: Suarakebebasan.id.