Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan terbesar di Afrika. Fenomena tersebut telah menyebabkan berbagai permasalahan ekonomi dan sosial, seperti malnutrisi, kelaparan, dan sebagainya.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh komunitas internasional untuk membantu pengentasan kemiskinan di Afrika, umumnya melalui bantuan dana dan ekonomi. Akan tetapi, meskipun hal tersebut telah dilakukan selama berdekade-dekade, kemiskinan saat ini tetap dirasakan oleh jutaan masyarakat yang tinggal di Afrika. Lantas, mengapa hal tersebut terus terjadi di Afrika?
Topik inilah yag menjadi bahasan dari diskusi yang dilaksanakan oleh organisasi mitra Suara Kebebasan, Atlas Network, pada hari Senin, tanggal 10 Agustus lalu. Menjadi pembicara dalam diskusi ini adalah Executive Vice President dari Atlas Network, Dr. Tom G. Palmer, dan Direktur dari lembaga mitra Atlas dari negara Senegal di Afrika Barat, Center for African Prosperity, Magatte Wade.
Dr. Palmer yang memandu diskusi mengawali diskusinya dengan menanyakan kepada Wade mengenai kondisi kebebasan berusaha di negara asalnya, Senegal. Wade mengatakan bahawa membangun usaha di Senegal merupakan sesuatu yang sangat sulit karena ada berbagai regulasi yang berbelit yang sangat menyulitkan para pelaku usaha.
Wade memberi contoh pengalamannya membangun usaha bahwa, ada banyak persyaratan yang sebenarnya sangat tidak dibutuhkan bila ingin membangun usaha. Misalnya, pemerintah Senegal menerapkan bila seseorang ingin membangun usaha, maka harus ada dana deposit minimum yang ditaruh. Hal ini tentu sangat menyulitkan untuk mereka yang berasal dari kalangan yang tidak mampu untuk membangun usaha.
Selain itu, berbagai kesulitan dan pembatasan yang dikenakan oleh pemerintah Senegal terhadap terhadap para pelaku usaha juga bukan hanya dalam bentuk minimum dana deposit. Para pelaku usaha bila ingin membangun usaha juga harus memiliki berbagai aset, salah satunya berdasarkan pengalaman dari Wade, mereka yang ingin membangun usaha diwajibkan untuk memiliki truk untuk distribusi.
Namun, di wilayah atau kota tersebut, seluruh usaha truk misalnya dimiliki oleh keluarga dari walikota dan para pejabat. Akhirnya, orang-orang yang ingin membangun usaha harus berkolusi dengan para pejabat dan keluarganya agar mereka bisa mendirikan usaha secara legal. Berbagai aturan yang menyulitkan tersebut semakin melanggengkan praktik korupsi yang terjadi.
Dr. Palmer mengatakan bahwa cerita yang disampaikan oleh Wade tersebut merupakan cerita yang umum yang terjadi di banyak negara-negara Afrika. Tidak hanya di Senegal, fenomena korupsi yang disebabkan oleh ketatnya regulasi yang tidak penting untuk membangun usaha juga terjadi di negara-negara lain, misalnya di Kongo dan juga Burundi.
Diskusi dilanjutkan dengan bagaimana peran Atlas Network membantu berbagai organisasi pegiat kebebasan ekonomi di Afrika, salah satunya adalah organisasi Wade, Center for African Prosperity. Wade mengatakan bahwa ia sangat bersyukur karena Atlas Network memberikan kebebasan yang besar bagi organisasi-organisasi mitranya di seluruh dunia, termasuk di Afrika.
Setiap negara di seluruh dunia memiliki masalahnya masing-masing yang menyebabkan terhambatnya kebebasan ekonomi. Dan oleh karena itu, pihak yang paling mengetahui cara yang paling efisien untuk mempopulerkan gagasan kebebasan ekonomi di Afrika adalah organisasi-organisasi yang berada di benua tersebut.
Wade mengatakan bahwa permasalahan kebebasan ekonomi di Afrika bukan hanya dari sisi pemerintah yang menerapkan serangkaian regulasi yang memberatkan para pengusaha yang akan menimbulkan korupsi. Masalah lainnya yang tidak kalah serius adalah isu-isu kebebasan ekonomi adalah isu yang kurang populer dan dipedulikan oleh banyak penduduk di Afrika.
Berdasarkan Indeks Kebebasan Ekonomi (Index of Economic Freedom) terbaru yang dikeluarkan oleh lembaga think tankasal Amerika Serikat, The Heritage Foundation, misalnya, hanya ada 6 negara Afrika yang berada di peringkat 50% teratas dalam indeks tersebut. Hal tersebut menurut Wade sesuatu yang sangat tidak bisa diterima dan harus diperbaiki.
Dr. Palmer melanjutkan diskusi dengan menanyakan pandangan Wade mengenai perjanjian perdagangan bebas yang disepakati dan ditandatangai oleh 54 negara-negara Afrika. Wade mengatakan bahwa, meskipun kebijakan dan kesepakatan tersebut terlihat baik dan terlihat dapat membantu meningkatkan kebebasan ekonomi, akan tetapi kita jagan terlalu optimis bahwa perjanjian tersebut akan menyelesaikan berbagai permasalahan ekonomi yang melanda Afrika.
Wade memberi contoh bahwa tidak semua barang-barang yang dibutuhkan oleh Afrika ada di benua tersebut. Bila perdagangan bebas dilakukan hanya antar negara-negara Afrika saja, tapi perdagangan dengan negara-negara di luar Afrika direstriksi, maka tidak akan membawa perubahan yang besar. Perdagangan bebas harus dilaksanakan dengan negara-negara lain di luar Afrika.
Selanjutnya, Dr. Palmer menceritakan mengenai pengalamannya ketika mengunjungi negara Tanzania untuk memberi kuliah umum mengenai kapitalisme dan pasar bebas di salah satu universitas di negara tersebut. Ia menceritakan pada saat diskusi ada perwakilan dari pemerintah yang mendatangi acara tersebut, dan mengatakan bahwa kapitalisme dan pasar bebas merupakan gagasan yang bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat Afrika. Masyarakat Afrika, dikatakan oleh perwakilan Pemerintah Tanzania tersebut, adalah masyarakat yang sosialis.
Wade mengatakan bahwa anggapan tersebut adalah sesuatu yang sangat tidak tepat. Sebelum kolonialisme, masyarakat Afrika adalah masyarakat pedagang. Setiap suku-suku dan komunitas saling berdagang dan sembari ide dan gagasan, dan sosialisme justru gagasan yang dibawa oleh banyak para pemimpin Afrika pasca kolonialisme di abad ke-20 yang belajar di berbagai universitas di Eropa dan Amerika.
Sebagai penutup, Wade mengatakan bahwa sangat penting bagi pegiat kebebasan ekonomi dan pasar bebas untuk dapat mengadvokasi gagasan tersebut secara efektif. Wade memberi contoh mengenai bagaimana ia mencoba mengubah pikiran masyarakat Afrika mengenai pentingnya kapitalisme dan pasar bebas bagi kesejahteraan dengan menggunakan contoh yang dapat mereka temui sehari-hari.
Misalnya, perlindungan hak kepemilikan merupakan salah satu pilar yang penting bagi kapitalisme dan kebebasan ekonomi. Tanpa adanya perlindungan hak kepemilikan, maka pemerintah dapat merampas properti yang dimiliki oleh warganya secara semena-mena dan setiap orang tidak akan memiliki insentif untuk melakukan kegiatan ekonomi.
Wade mengatakan kepada rekan-rekan dan teman-temannya, bila mereka tinggal di negara di mana pemerintah dapat mengambil tanah dan properti mereka secara semena-mena, akankah mereka membeli tanah dan melakukan investasi di negara tersebut? Semua orang pasti akan menjawab tidak. Dan oleh karena itu hak kepemilikan properti merupakan sesuatu yang sangat penting.
Penyebab utama kemiskinan di Afrika adalah banyaknya praktik korupsi yang dilakukan para pejabat negara yang disebabkan oleh aturan ketat untuk berusaha yang pemerintah terapkan. Sebanyak apapun dana bantuan internasional yang diberikan, pengentasan kemiskinan dan kesejahteraan akan sangat sulit untuk dicapai tanpa adanya kebebasan ekonomi. Untuk itu, kebebasan ekonomi merupakan sesuatu yang harus terus diperjuangkan di Afrika, untuk mengurangi kemiskinan, melawan korupsi, meningkatkan kesejahteraan, dan memperbaiki masa depan bagi masyarakat di benua tersebut.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.