Kapitalisme dan kerakusan tak jarang dianggap sebagai sesuatu yang berjalan saling beriringan. Kapitalisme dianggap sebagai sistem ekonomi yang mendorong individu untuk mengejar keuntungan dan kekayaan sebanyak-banyaknya dengan cara apapun, meskipun cara tersebut mengambil hak orang lain.
Pandangan ini bukanlah pandangan yang tak umum. Bila Anda gemar berdiskusi politik dan ekonomi dengan mereka yang memiliki pandangan politik kiri misalnya, niscaya Anda akan mendengar tuduhan bahwa kapitalisme merupakan sistem ekonomi yang bertumpu dan mendorong seseorang untuk bersikap rakus dan tidak memperdulikan manusia lainnya.
Oleh karena itu, untuk mengurung sifat rakus yang ditumbuhkan oleh kapitalisme, mulai dari melalui regulasi yang ketat, hingga menghapuskan kapitalisme secara seutuhnya. Mereka berpandangan bahwa, bila kapitalisme dihancurkan, dan seluruh properti dimiliki secara kolektif dan bersama-sama, maka tendensi bagi seseorang untuk bertindak rakus dan tidak peduli terhadap orang lain akan dapat diminimalisir hingga dihilangkan sama sekali.
Namun, apakah anggapan tersebut merupakan sesuatu yang tepat? Apakah kapitalisme merupakan sistem yang mendorong kerakusan? Dan apakah bila kapitalisme dihapuskan, maka tendensi manusia untuk menjadi rakus dapat dikurangi dan dihilangkan?
*****
Sebelum menjawab pertanyaan diatas, ada baiknya kita melihat terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kapitalisme. Kapitalisme merupakan istilah yang kerap kita dengan dalam berbagai diskursus publik. Lantas, apakah yang dimaksud dengan kapitalisme itu sendiri?
Salah satu akademisi dan ekonom yang membahas mengenai pengenalan kapitalisme adalah ekonom asal Britania, Eamonn Butler, dalam bukunya “An Introduction to Capitalism”, yang diterjemahkan oleh Suara Kebebasan pada tahun 2019 lalu. Di bagian awal bukunya, Butler mencoba menjabarkan apakah yang dimaksud dari terminologi ‘kapitalisme’.
Kapitalisme sendiri berasal dari bahasan latin, “capitale”, yang berarti kepala pada abad ke-12. Kata tersebut digunakan untuk mendeskripsikan jumlah hewan ternak yang dimiliki oleh seseorang. Lima abad kemudian, di abad ke-17, kata tersebut digunakan untuk mendeskripsikan barang dan uang yang dimiliki oleh seseorang, dan kata “kapitalis” sendiri berarti “seseorang yang memiliki modal” (Butler, 2019).
Butler dalam bukunya mendeskripsikan bahwa kapitalisme adalah sebuah cara kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia untuk menciptakan atau menggunakan modal untuk memproduksi barang serta jasa yang diinginkan oleh orang lain dengan cara yang seproduktif mungkin. Ekonom asal Britania Raya tersebut juga menjabarkan elemen-elemen penting yang wajib hadir agar sistem kapitalisme bisa berjalan dengan baik, yakni adanya perlindungan terhadap hak kepemilikan, institusi pasar yang bebas, dan adanya pertukaran secara sukarela antar sesama ekonomi (Butler, 2019).
Jaminan hak kepemilikan merupakan hal yang sangat penting agar kapitalisme bisa berjalan dengan baik. Tanpa adanya perlindungan terhadap hak kepemilikan, maka tidak akan ada institusi pasar dan pertukaran sukarela. Setiap orang dapat paksa merampas hak kepemilikan orang lain secara paksa, dan dalam situasi tersebut kegiatan ekonomi yang produktif tentu akan mustahil dapat dilakukan.
Oleh karena itu, dalam sistem kapitalisme, setiap individu dan pelaku usaha “dipaksa” oleh pasar untuk selalu berinovasi dan memperbaiki produk yang mereka buat. Seseorang hanya bisa mendapatkan uang dan kekayaan apabila ia bisa memproduksi sesuatu yang orang lain bersedia membayar untuk mendapatkan produk tersebut. Bila produk yang ia produksi tidak lagi relevan dan inovatif, maka konsumen akan beralih ke pelaku usaha lainnya yang lebih kreatif dan mampu untuk berinovasi.
Namun, bagaimana dengan kerakusan? Bukankah bila dengan demikian, setiap pelaku usaha akan memiliki insentif untuk mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya yang ia bisa?
Ekonom tersohor asal Amerika Serikat peraih hadiah Nobel Ekonomi tahun 1976, Milton Friedman, dalam salah satu wawancaranya di acara televisi Phil Donahue pernah dihadapkan dengan pertanyaan tersebut. Dengan tersenyum ia menjawab, “Apakah ada masyarakat yang tidak dikelola berdasarkan kerakusan? Apakah Uni Soviet dan China tidak dikelola berdasarkan kerakusan?” (American Enterprise Institute, 2015).
Friedman dalam hal ini memberi jawaban yang membahas kondisi alamiah manusia (human nature) secara fundamental. Greed atau kerakusan bukanlah produk dari kapitalisme. Kerakusan adalah sifat yang menjadi bagian dari nature manusia. Ia sudah hadir di dalam diri setiap manusia hingga ribuan tahun yang lalu, jauh sebelum pendiri ilmu ekonomi modern, Adam Smith, menulis magnum opus-nya, “The Wealth of Nations”, pada tahun 1776.
Kita bisa melihat dari sejarah, bagaimana kaisar-kaisar dan raja-raja di masa lalu menyalurkan kerakusannya untuk memiliki kekuasaan atas teritori yang luas dan kekayaan yang berlimpah melalui invasi terhadap negeri-negeri lain. Mereka mengeruk sumber daya di tanah-tanah jajahannya secara paksa dan memperbudak penduduk-penduduk di negara-negara koloninya.
Tanpa ada sistem kapitalisme-pun, sifat rakus akan selalu hadir dalam diri manusia. Keinginan untuk mendapatkan uang dan kekayaan sebesar-besarnya merupakan hal yang mustahil untuk dapat dihilangkan sama sekali.
Namun, yang sangat revolusioner dari sistem kapitalisme adalah, kapitalisme justru memberi channel bagi setiap individu, untuk menyalurkan “kerakusannya” kepada kegiatan yang produktif dan dapat membawa manfaat besar bagi sesama. Dalam sistem kapitalisme, seseorang hanya bisa mendapatkan uang dan kekayaan sebesar-besarnya apabila ia bisa membuat dan menjual sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat.
Seorang pengusaha rumah makan yang “rakus” misalnya, yang ingin mendapatkan uang sebanyak-banyaknya, dalam sistem kapitalisme hanya bisa menyalurkan “kerakusannya” tersebut melalui cara menyediakan makanan yang lezat dengan harga terjangkau dan rumah makan yang nyaman bagi konsumen. Bila ia tidak bisa menyediakan hal tersebut, niscaya tidak akan ada orang yang bersedia untuk melakukan transaksi ekonomi terhadap pengusaha tersebut.
Dalam sistem kapitalisme, pelaku ekonomi yang sebesar dan sekuat apapun niscaya akan jatuh apabila ia tidak bisa berinovasi dan menawarkan produk yang terbaik kepada masyarakat. Bisa kita saksikan misalnya, perusahaan telepon genggam Nokia, yang pada dekade 1990-an merupakan perusahaan telepon genggam terbesar di dunia, saat ini harus rela dikalahkan oleh perusahaan elektronik lain yang mampu berinovasi, seperti Apple dan Samsung.
Hal ini berbanding terbalik di negara-negara yang tidak menerapkan kapitalisme, seperti negara-negara komunis atau negara-negara yang menerapkan kronisme, yang umumya terjadi di negara-negara otoriter. Di dalam negara-negara komunis misalnya, seseorang hanya bisa menyalurkan “kerakusannya” akan uang dan kekuasaan melalui tindakan kekerasan dan perampasan hak milik orang lain.
Kerakusan pemimpin Uni Soviet, Joseph Stalin, untuk mendapatkan kekuasaan absolut misalnya, pada dekade awal 1930-an, disalurkan melalui kebijakan persekusi politik dan pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang yang dituduh melawan dirinya, yang dikenal dengan nama Great Purge. Setidaknya 750,000 warga Soviet kehilangan nyawanya atas persekusi Stalin tersebut (History Channel, 2020).
Begitu pula dengan negara-negara otoritarianisme yang menerapkan sistem kronisme, seperti Indonesia pada masa Orde Baru dan di negara-negara otoritarian lainnya. Seseorang hanya bisa menyalurkan keinginannya untuk mendapatkan kekayaan bila ia memiliki kedekatan dengan pemerintah. Mereka yang memiliki kedekatan dengan penguasa juga bahkan bisa mendapatkan kekayaan melalui perampasan hak milik yang dimiliki oleh masyarakat. Jadi, jangan samakan kronisme dengan kapitalisme.
Negara-negara yang tidak menerapkan kapitalisme yang bertumpu pada transaksi sukarela, perlindungan hak milik, dan institusi pasar yang bebas sudah terbukti tidak bisa mendesain manusia baru yang terbebas dari sifat rakus. Justru, di negara-negara tersebut, sifat rakus yang dimiliki manusia disalurkan ke arah yang sangat berbahaya, yang merampas hak kepemilikan hingga hak hidup orang lain, dan bukan ke kegiatan produktif.
Karena, sekali lagi, kerakusan bukanlah sifat manusia yang dibentuk oleh kapitalisme. Ia adalah sifat yang merupakan bagian dari nature manusia. Sudah seharusnya kita membangun sistem yang justru dapat menyalurkan sifat tersebut ke kegiatan yang produktif dan bukan pada sesuatu yang merusak dan menghancurkan hidup jutaan orang.
Referensi
Buku
Butler, Eamonn. 2019. Kapitalisme: Modal, Kepemilikan, dan Pasar yang Menciptakan Kesejahteraan Dunia. Jakarta: Suara Kebebasan.
Internet
https://www.aei.org/carpe-diem/ten-classic-milton-friedman-quotes/ Diakses pada 8 Agustus 2020, pukul 01.45 WIB.
https://www.history.com/topics/russia/great-purge#section_7 Diakses pada 8 Agustus 2020, pukul 21.20 WIB.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.