Apakah Kapitalisme Biang Keladi Kerusakan Lingkungan?

    451

    Apakah kapitalisme merupakan biang keladi dari kerusakan lingkungan?

    Bila Anda menanyakan pertanyaan ini kepada aktivis lingkungan dan mereka yang memiliki haluan politik kiri, besar kemungkinan Anda akan mendapatkan jawaban “iya”. Kapitalisme tidak jarang dianggap sebagai biang keladi dari berbagai kerusakan lingkungan dan kehancuran ekosistem yang terjadi di muka bumi.

    Mulai dari polusi udara, pencemaran lingkungan, hingga rusaknya kelestarian alam semua dianggap sebagai hasil nyata dari kapitalisme pasar bebas yang menjunjung tinggi kebebasan ekonomi. Profit motive dan kelestarian lingkungan dianggap sebagai hal yang tidak bisa berjalah beriringan.

    Untuk itu, tidak mengherankan bahwa tak sedikit aktivis lingkungan yang memiliki posisi politik yang keras untuk menentang kapitalisme. Mereka menganggap bahwa bila kapitalisme dihancurkan, maka lingkungan akan semakin terjaga, dan kerusakan alam bisa kita hentikan.

    Namun, apakah pandangan tersebut merupakan sesuatu yang tepat? Apakah kapitalisme pasar bebas yang menjunjung tinggi kebebasan ekonomi dan kelestarian lingkungan merupakan dua hal yang dapat berjalan beriringan?

    *****

    Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita melihat dulu apakah yang dimaksud dari kapitalisme di dalam artikel ini. Kapitalisme, ditulis oleh ekonom asal Britania Raya, Eamonn Butler, dalam bukunya yang berjudul “Kapitalisme: Modal, Kepemilikan, dan Pasar yang Menciptakan Kesejahteraan Dunia” yang diterjemahkan oleh Suara Kebebasan, menulis bahwa kapitalisme adalah “sebuah cara kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia untuk menciptakan atau menggunakan modal untuk memproduksi barang serta jasa yang diinginkan oleh orang lain dengan cara yang seproduktif mungkin” (Butler, 2019).

    Butler dalam bukunya juga menambahkan bahwa ada berbagai elemen yang harus hadir agar kapitalisme dapat berjalan dengan baik. Salah satunya adalah perlindungan hak kepemilikan yang kuat, institusi pasar yang bebas, serta pertukaran sukarela antar sesama pelaku ekonomi. Dengan kata lain, kapitalisme bertumpu pada peran pemerintah yang seminim mungkin untuk mengatur perekonomian, agar setiap pelaku ekonomi bisa menggunakan modal yang mereka miliki dengan seproduktif mungkin.

    Kapitalisme tidak sama dengan sistem kronisme, di mana para pelaku usaha hanya bisa tumbuh dan berkembang bila mereka memiliki kedekatan dengan penguasa. Di dalam sistem kronisme, mereka yang memiliki kedekatan dengan para pembuat kebijakan bisa menghancurkan bisnis saingannya bukan dengan menawarkan produk yang lebih baik dan dapat membawa banyak manfaat bagi masyakat.

    Kembali ke bahasan awal, untuk melihat apakah kapitalisme merupakan biang keladi dari kerusakan lingkungan, maka kita harus membandingkan antara kebebasan ekonomi yang diterapkan di suatu negara dengan performa lingkungan di negara tersebut. Hanya dengan cara ini kita bisa mengkaji apakah jargon tersebut merupakan sesuatu yang benar atau tidak melalui cara-cara yang objektif.

    Salah satu indeks yang kerap digunakan untuk mengukur tingkat kebebasan ekonomi di suatu negara adalah apa yang kita kenal dengan Index of Economic Freedom atau Indeks Kebebasan Ekonomi yang dikeluarkan oleh lembaga think tank asal Amerika Serikat, The Heritage Foundation. Indeks tersebut merupakan indeks tahunan yang dikeluarkan oleh The Heritage Foundation setiap tahun untuk mengukur kebebasan ekonomi negara-negara di dunia.

    Ada 4 indikator yang dijadikan sebagai alat pengukuran oleh The Heritage Foundation, yakni kedaulatan hukum, seperti perlindungan atas hak kepemilikan dan efektifitas lembaga peradilan, besarnya pemerintah seperti pengeluaran pemerintah dan tingkat pajak, efisiesi regulasi seperti kebebasan melakukan usaha, dan keterbukaan pasar seperti kebebasan untuk berdagang dan berinvestasi. Setelah dilakukan pengukuran, maka negara-negara tersebut dikelompokkan menjadi 5 kelompok, yakni negara dengan ekonomi bebas (free), sebagian besar bebas (mostly free), cukup bebas (moderately free), sebagian besar tidak bebas (mostly unfree), dan yang ekonominya ditindas oleh pemerintah (repressed) (The Heritage Foundation, 2020).

    Pada tahun 2019, Hong Kong menduduki peringkat pertama sebagai negara/wilayah dengan tingkat kebebasan ekonomi tertinggi di dunia, disusul oleh Singapura, Selandia Baru, Swiss, dan Australia. Indonesia sendiri menduduki peringkat ke-56 dari 180 negara yang disurvei, dan mendapatkan peringkat moderately free (The Heritage Foundation, 2019).

    Terkait dengan indeks performa lingkungan, salah satu indeks yang umum digunakan adalah Indeks Performa Lingkungan, atau Environmental Performance Index yang dikeluarkan secara berkala. Setidaknya ada dua komponen besar yang dijadikan sebagai indikator dalam pengukuran indeks tersebut, yakni Vitalitas Ekosistem (Ecosystem Vitality) dan Kesehatan Lingkungan (Environmental Health).

    Ecosystem Vitality mencakup diantaranya adalah keanekaragaman habitat, penanganan perubahan iklim, emisi dari polusi, dan sumber daya air bersih. Sementara itu, Environmental Health mencakup diantaranya kebersihan sanitasi dan air minum, manajemen sampah, dan kualitas udara (Environmental Performance Index, 2018).

    Setelah itu, negara-negara tersebut dikuantifikasi dan diberi nilai dari nol sampai 100, dengan 100 adalah angka terbaik. Pada tahun 2018, Swiss menduduki peringkat pertama, yang disusul dengan Prancis, Denmark, Malta, dan Swedia. Indonesia sendiri menduduki peringkat 133 dari 180 negara (Environmental Performance Index, 2018).

    Setelah itu, kedua dari indeks tersebut dihubungkan, dan hasilnya ternyata dapat membantah tesis yang kerap digaungkan oleh kelompok-kelompok kiri. Negara-negara yang berada di kategori ekonomi bebas dalam Indeks Kebebasan Ekonomi The Heritage Foundation, ternyata memiliki skor yang paling tinggi terkait dengan performa lingkungan mereka.

    Negara-negara yang ekonominya bebas, memiliki tingkat pajak rendah, regulasi yang efisien, perlindungan terhadap hak kepemilikan yang kuat, dan kebebasan untuk berdagang dan berinvestasi yang tinggi, mendapatkan rata-rata skor 76,1 untuk indeks performa lingkungan mereka. Hal tersebut disusul oleh negara-negara yang masuk kategori ekonomi yang sebagian besar bebas (moderately free) memiliki skor performa lingkungan rata-rata 69,5. Negara-negara yang masuk kategori ekonomi yang ditindas oleh pemerintah (repressed) hanya mendapatkan skor 49,5 (The Heritage Foundations 2020).

    Kebebasan ekonomi terbukti berjalan beriringan dengan performa lingkungan di suatu negara. Semakin tinggi kebebasan ekonomi yang diterapkan di suatu negara, maka negara tersebut kemungkinan besar akan memiliki performa ekonomi yang baik, sebagaimana yang ditunjukkan oleh indeks tersebut.

    Selain itu, tidak bisa kita ingkari juga bahwa kapitalisme telah mendorong berbagai entrepreneur dan inovator untuk berlomba-lomba bersaing membuat produk yang sustainable dan tidak merusak lingkungan. Inovasi yang didorong oleh semangat kompetisi dalam kapitalisme misalnya, telah melahirkan para inovator seperti Elon Musk yang membuat mobil listrik Tesla dan perusahaan panel surya SolarCity, yang tentunya akan berdampak besar pada pengurangan emisi karbon yang naik ke atmosfer bumi.

    Hancurnya kapitalisme juga tidak menjamin akan membawa lingkungan yang lebih baik dan alam yang lebih lestari. Tragedi bencana nuklir Chernobyl di Ukraina pada tahun 1986 misalnya, yang pada saat itu masih menjadi bagian dari Uni Soviet, merupakan salah satu contoh yang paling terlihat nyata. Bencana nuklir tesebut merupakan bencana nuklir terbesar di dunia yang disebabkan oleh struktur reaktor yang tidak memadai. Bencana tersebut telah menyebabkan tersebarnya radiasi nuklir hingga 150.000 KM persegi hingga ke wilayah Rusia dan Belarus (IAEA, 2005).

    Pemerintahan Uni Soviet juga bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan terbesar di wilayah Asia Tengah, salah satunya adalah semakin terkikisnya Danau Aral (atau yang dikenal sebagai Laut Aral) yang terletak di antara Uzbekistan dan Kazakhstan. Hal tersebut diakibatkan oleh program irigasi Soviet yang sangat berlebihan dan tidak mementingkan kelestarian lingkungan (The Diplomat, 2014).

    Sebagai penutup, kapitalisme yang menjunjung tinggi kebebasan sudah terbukti merupakan sistem ekonomi yang dapat berjalan beriringan dengan kelestrian lingkungan. Hal tersebut ditunjukkan dari perbandingan antara indeks kebebasan ekonomi dengan indeks performa lingkungan yang selaras.

    Sebaliknya, negara-negara yang memberlakukan sistem ekonomi yang tidak menjunjung tinggi kebebasan justru memiliki performa lingkungan yang sangat buruk. Hal tersebut kian diperparah dengan adanya sistem politik yang totaitarian sebagaimana yang diberlakukan di negara-negara sosialis seperti Uni Soviet, di mana tidak ada transparansi dan akuntabilitas yang dapat dipertanggungjawabkan oleh pemerintah kepada rakyatnya.

     

    Referensi

    Buku

    Butler, Eamonn. 2019. Kapitalisme: Modal, Kepemilikan, dan Pasar yang Menciptakan Kesejahteraan Dunia. Jakarta: Suara Kebebasan.

     

    Internet

    https://www.heritage.org/index/about Diakses pada 9 Maret 2021, pukul 22.05 WIB.

    https://www.heritage.org/index/book/chapter-3#:~:text=The%20Global%20Economy%3A%20Moderately%20Free&text=The%20global%20average%20economic%20freedom,year%20history%20of%20the%20Index. Diakses pada 9 Maret 2021, pukul 22.55 WIB.

    https://epi.yale.edu/downloads/epi2018reportv06191901.pdf Diakses pada 9 Maret 2021, pukul 23.50 WIB.

    https://www.heritage.org/index/book/chapter-4 Diakses pada 10 Maret 2021, pukul 00.40 WIB.

    https://www.iaea.org/newscenter/focus/chernobyl/faqs#:~:text=There%20were%20over%20100%20radioactive,reduced%20in%20radioactivity)%20very%20quickly. Diakses pada 10 Maret 2021, pukul 01.35 WIB.

    https://thediplomat.com/2014/10/how-the-soviet-union-created-central-asias-worst-environmental-disaster/ Diakses pada 10 Maret 2021, pukul 02.15 WIB.