Melihat fenomena hari ini di Indonesia, kita tidak sekedar melihat dan mendapati isu-isu sampah yang bertebaran di media sosial, melainkan juga isu-isu berbahaya yang sangat mungkin mengancam kebebasan kita. Selain Pilkada Ibukota yang menunjukan kepada kita bagaimana para kelompok bigot berusaha mencari posisi politis untuk memaksakan kehendak mereka, muncul juga organisasi, yang konon ingin merevisi atau mengganti ideologi negara Indonesia dengan prinsip-prinsip ekslusif mereka: negara berbasis syariah. Mereka adalah Hizbut Tahrir Indonesia atau HTI.
Saya tidak ingin berbicara isu di sini. Apalagi isu politik. Isu sudah mendangkalkan sebagian besar cara berpikir orang Indonesia. Isu sudah membuat orang-orang di pelosok negeri ini ikut menjadi gila. Saya menyaksikan langsung bagaiana isu-isu sektarian maupun rasis sampai ke daerah saya, yang ujungnya menimbulkan rasa sentimen mereka terhadap kelompok yang berbeda lewat layar televisi dan handphone mereka. Sial.
Bagaimana ini bisa terjadi? Pertama, isu yang menguap adalah isu agama. Kedua, kebodohan. Tapi kebodohan tak lebih menakutkan ketimbang kebodohan yang dicampur dengan panasnya isu agama. Dua poin ini setidaknya yang menjadi ksimpulan saya terhadap kondisi kita hari ini di Indonesia.
Namun, terlepas dari isu-isu yang saya sebutkan di atas, saya sebenarnya memiliki kekhawatiran terhadap suatu kekuatan lama—yang muncul secara hampir bersamaan—dengan isu-isu agama di Pilkada Jakarta kurun masa kampanye lalu. Kekuatan itu mulai terang-terangan menampakan dirinya dalam kehidupan berdemokrasi kita. Kekuatan itu adalah ideologi dengan basis agama dan menyebar layaknya virus. Jelas, apa yang saya maksudkan di sini adalah HTI dengan sistem pemerintahan Khilafah-nya.
Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, ideologi ini pada akhirnya berkecenderungan mereduksi kebebasan lewat wacana negara agama. Untuk itu, saya menyebut upaya ideologis ini sebagai “teror ideologi totaliter”.
Pertanyaannya kemudian, siapa yang diteror? Saya, dan barangkali juga anda, ketika melihat pengaruh ideologi ini sampai ke pelosok negeri ini. Bagi mereka yang percaya pada kebebasan dan masa depan kebebasan tidak akan rela dengan jenis ideologi politik yang mengancam kebebasan. Dan inilah alasan mengapa saya meneyebut kekuatan ini semacam teror bagi kita.
Para penganut ideologi ini muncul sebagai resistensi terhadap ideologi pancasila. Yang katanya produk kaum liberal, kafir, kapitalis dan tuduhan-tuduhan aneh lainnya yang tak berdasar. Dengan begitu, mereka merasa perlu mengambil bagian dalam politik dan berusaha mengkampanyekan prinsip-prinsip pemerintahan agama mereka. Basis ideologis ini secara umum adalah romantisisme pemerintahan agama ratusan tahun yang lalu sebelum lahir konsep negara moderen. Mereka ingin mengulangi masa itu dengan gerakan seperti HTI ini. Mayoritas sarjana menyebut gerakan semacam ini sebagai respon terhadap kemajuan teknologi dan derasnya arus globalisasi, sama halnya dengan kelompok fundamentalisme dan radikalisme agama.
Hari ini pemerintah Indonesia memutuskan untuk membubarkan HTI karena terindikasi merusak keutuhan NKRI. Sebagian orang mengkritik pemerintah karena tidak demokratis karena membatasi kebebasan berekspresi. Benarkan tuduhan ini? Jika kita peduli pada kebebasan, tak ada ruang bagi gerakan yang anti kebebasan.
Jika anda bilang saya tidak demokratis, saya hanya akan menjawab, saya humanis. Demokrasi bukan ideologi, begitu kira-kira yang dikatakan Amato dalam satu diskusi lepas di kedai kopi. Ia hanya alat untuk menjaga dan menjamin kebebasan lewat negara. Jika demokrasi mengizinkan kelompok yang mengganggu kebebasan, bukankah demokrasi merusak dirinya sendiri? Ya. Kita bisa menunda para teoritisi demokrasi di sini, tapi pikiran tidak.
Teror Lewat Demokrasi
Jika pandangan saya benar, ideologi ini berarti teror bagi kebebasan kita. Kepercayaan moral mereka akan menjadi semacam “panoptikon” terhadap hal-ihwal tindakan bebas manusia. Kita akan selalu tampak jahat dan tak bermoral di hadapan mereka. Dan sulit dibayangkan, bagaimana jika mereka berjaya dan didiamkan dalam kehidupan demokrasi, bukankah ini adalah suatu kemunduran?
Kita bisa melihat bagaimana mereka selama ini menggunakan kekuatan massa untuk memaksakan kehendak mereka. Demokrasi seakan menjadi ruang dimana segala sesuatu menjadi mungkin. Dan jelas, kita sedang menyaksikan suatu kekuatan mayoritas yang dimungkinkan oleh demokrasi mencuat ke permukaan; semacam kondisi politik dalam paradoks. Plato dan Hans Herman Hoppe mengingatkan kita akan bahaya ini. “Lewat para demagog,” kata Hoppe. “mereka eksis”.
Di sini, apakah saya mengandaikan suatu pemerintahan yang non-demokratis? Tidak. Kita hanya perlu akal sehat untuk menimbang sikap pragmatis. Demokrasi. Sekali lagi, hanya alat untuk tujuan moral, bukan ideologi. Sebagian libertarian selalu skeptik terhadap demokrasi, sebab, demokrasi selalu mengandaikan kekuatan dan ketentuan mayoritas. Dan kerap berujung pada tirani mayoritas. Saya percaya, suatu masa demokrasi akan berdiri dengan kaki individualisme.
Kebebasan terlalu berharaga untuk dibiarkan dalam kendali mayoritas. Socrates dan Yesus menderita karena ulah kebebalan mayoritas. Kita mesti mengingat pengalaman itu dalam sejarah peradaban umat manusia. Memang kita tidak melihat langsung bagaimana kekuatan mayoritas bekerja saat ini, tapi kekuasaannya ada dan tetap ada dalam tubuh demokrasi. Pada kenyataanya, kita selalu terancam di bawah demokrasi. Tapi, kita perlu mendefinisikan kata “kita” dulu di sini. Jika “kita” dalam pengertian kumpulan individu-individu, maka itulah maksud saya.

Hendra Mangopa adalah anggota yang aktif di lingkaran Mises Club Indonesia dan penggiat di Amagi Indonesia, Organisasi Non Pemerintah yang didasarkan pada prinsip Libertarianisme, ingin membawa tradisi pemikiran Mazhab Austria ke dalam perbincangan ekonomi kita saat ini. Upaya Amagi diawali dengan pembukaan lingkaran studi bernama Mises Club Indonesia yang berpusat di Manado, Sulawesi Utara.