Bagi sebagian orang, dunia sepertinya terlihat semakin memburuk. Perang, kekerasan dan kemiskinan merupakan beberapa hal yang saat ini bisa kita saksikan dengan mudah terjadi di berbagai tempat di dunia.
Media-media di besar di seluruh dunia juga setiap hari memperlihatkan kepada kita mengenai jutaan korban yang jatuh karena konflik bersenjata, dan banyaknya orang-orang yang tidak bisa mengakses fasilitas dasar, seperti tempat tinggal dan sanitasi yang bersih karena kemiskinan. Tidak sedikit pula mereka yang menjadi korban berbagai tindakan kekerasan seperti pembunuhan dan penganiayaan.
Arus informasi yang berkembang sangat pesat juga semakin memberi kemudahan kepada kita untuk mengakses berita-berita mengerikan tersebut. Melalui telepon pintar yang bisa kita bawa kemanapun kita pergi, dengan hanya satu klik kita dapat menyaksikan berbagai berita mengenai peristiwa mengerikan yang menimpa banyak penduduk dunia di berbagai penjuru bumi.
Oleh karena itu, tidak mengherankan banyak orang yang terlena dengan romantisme masa lalu. Tidak sedikit yang beranggapan bahwa, di masa lalu, kehidupan manusia jauh lebih baik. Mereka menganggap, orang-orang yang hidup di masa lalu bisa menikmati perdamaian dan kebahagiaan, yang dianggap sulit didapatkan oleh kita yang hidup saat ini.
Namun, apakah pandangan tersebut merupakan sesuatu yang tepat? Apakah memang benar bahwa masa lalu lebih baik daripada masa kini?
*****
Salah satu akademisi yang membahas mengenai topik tersebut adalah ilmuwan kognitif ternama asal Kanada, Steven Pinker, dalam bukunya yang monumental, “The Better Angels of Our Nature: Why Violence Has Declined” yang terbit pada tahun 2011 lalu. Filantropi dan pendiri Microsoft, Bill Gates, bahkan mengatakan bahwa buku ini merupakan salah satu buku yang paling menginspirasi dirinya (Business Insider, 2017).
Pinker dalam bukunya persis mencoba menjawab pertanyaan besar tersebut. Apakah benar bahwa dunia semakin membaik, atau justru semakin memburuk?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Pinker menggunakan serangkaian data statistik untuk membandingkan misalnya, tingkat kekerasan yang dialami oleh mereka yang dialami di masa lalu dengan di masa modern sekarang. Hasil dari penelitian tesebut nyatanya akan mengejutkan sebagian orang.
Dalam bukunya, Pinker menunjukkan bahwa, relatif terhadap populasi, probabilitas kita untuk meninggal karena korban perang dan kekerasan jauh lebih kecil pada saat ini dibandingkan dengan di masa lalu. Berdasarkan bukti arkeologis, pada masa pemburu-pengumpul ribuan tahun lalu misalnya, 15% dari mereka yang hidup di era tersebut meninggal karena perang antar suku. Jumlah tersebut sangat besar dibandingkan dengan masa-masa perang saudara di Eropa pada abad ke-17, yang meskipun brutal, mereka yang meninggal karena perang adalah 3% dari jumlah penduduk (Pinker, 2011).
Hal yang sama juga terjadi di abad ke-20. Kita ambil contoh Perang Dunia II misalnya, yang merupakan perang paling besar dan brutal yang terjadi di abad ke-20. Pinker menulis bila dikomparasikan dengan perang masa lalu, Perang Dunia II telah menyebabkan sekitar 55 juta kehilangan nyawa atau 2,2% dari populasi dunia pada masa itu. Sementara itu, perang penaklukan yang dilakukan oleh Bangsa Mongol di abad ke-13, menyebabkan 40 juta jiwa melayang, atau sekitar 11% dari jumlah penduduk dunia di abad ke-13 (Pinker, 2011).
Pasca Perang Dunia II kita juga relatif memasuki masa apa yang disebut Pinker perdamaian yang panjang (long peace) karena tidak ada konflik bersenjata secara langsung antar sesama negara-negara besar, tidak seperti abad-abad sebelumnya. Jumlah penduduk dunia yang meninggal karena perang di awal abad ke-21 relatif di bawah 0,01%, dan hal tersebut tidak pernah terjadi dalam sejarah umat manusia (Pinker, 2011).
Kesetaraan gender misalnya, juga merupakan aspek yang kian membaik dari waktu ke waktu. Menurut catatan Bank Dunia misalnya, pada tahun 1970, hanya 64% perempuan yang mendapatkan pendidikan dasar. Angka tersebut meningkat pesat menjadi 88% di tahun 2019 dalam waktu kurang dari setengah abad (World Bank, 2019).
Perbudakan juga merupakan salah satu praktik umum yang dilakukan oleh berbagai masyarakat di seluruh dunia pada masa lalu. Manusia, diperlakukan seperti binatang, diperjualbelikan dengan bebas dan tanpa memiliki hak apapun. Namun, pada masa ini, untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, kita hidup di era tidak ada lagi satu tempat pun di dunia yang secara legal mengizinkan praktik jual beli manusia. Mauritania menjadi negara terakhir di dunia yang menghapuskan praktik perbudakan pada tahun 1981 (Reuters, 26/02/2020).
Lantas mengapa hal tersebut bisa terjadi? Mengapa probabilitas seseorang untuk meninggal karena perang dan kekerasan di masa modern jauh lebih kecil dengan di masa lalu? Mengapa pula perempuan kini dapat memiliki akses pendidikan dan kesetaraan yang tidak bisa didapatkan oleh perempuan yang hidup pada masa-masa sebelumnya?
Dalam bukunya, Pinker mengidentifikasi 5 faktor penting yang mendorong kekerasan dan perang semakin berkurang, dan hak-hak perempuan semakin meningkat. Faktor pertama adalah munculnya institusi negara-bangsa dan lembaga peradilan modern yang memonopoli kekerasan dan memiliki wewenang untuk memutuskan perselisihan. Hal ini membuat insentif seseorang untuk berbuat kekerasan dan membalas dendam kepada orang lain menjadi berkurang (Pinker, 2011).
Faktor kedua adalah meningkatnya perdagangan antar wilayah dan negara. Dengan semakin meningkatnya perdagangan, maka insentif seseorang untuk bekerjasama dengan orang lain dari wilayah atau negara lain menjadi lebih tinggi dan mengurangi insentif perang dan kekerasan. Faktor ketiga adalah apa yang disebut Pinker sebagai feminisasi, di mana terdapat peningkatan penghormatan terhadap kepentingan perempuan (Pinker, 2011).
Faktor keempat adalah kosmopolitanisme, di mana dengan meningkatnya media massa, literasi, dan perpindahan (mobilitas) dari satu tempat ke tempat lain telah mengubah perspektif jutaan orang terhadap orang lain yang berbeda dengan diri mereka. Hal ini juga meningkatkan simpati terhadap mereka yang berasal dari komunitas, masyarakat, dan negara lain. Sementara itu, faktor terakhir yang ditulis Pinker adalah meningkatnya penggunaan akal budi (reason) yang membuat seseorang membingkai ulang pandangan mereka mengenai kekerasan, bahwa kekerasan merupakan suatu masalah yang harus diselesaikan dan bukan kontestasi yang harus dimenangkan (Pinker, 2011).
Tingkat kekerasan dan pendidikan bagi perempuan tentu bukan hanya hal yang bergerak semakin positif dari masa ke masa. Kemiskinan misalnya, merupakan hal yang terus turun secara pesat seiring berjalannya waktu.
Berdasarkan laporan Bank Dunia, pada tahun 2015 misalnya, pada tahun 1990, terdapat 5,2 miliar penduduk dunia, dan penduduk yang hidup di dalam kemiskinan ekstrim (memiliki penghasilan di bawah USD1,9 per hari) adalah 1,9 miliar jiwa, atau 36% dari penduduk dunia, yang sebagian besar berada di wilayah Asia Timur dan Asia Selatan. Pada tahun 2015, terdapat 7,3 miliar penduduk dunia, dan jumlah mereka yang hidup di dalam kemiskinan ekstrim berkurang drastis menjadi 730 juta jiwa, atau 9,9% dari jumlah penduduk dunia (Our World in Data, 2019).
Sebagai penutup, data yang ditampilkan oleh Steven Pinker dan laporan Bank Dunia tersebut tentu bukan menjadi pembenaran bahwa tidak ada masalah lagi di dunia yang harus kita selesaikan. Kemiskinan ekstrim masih dialami oleh jutaan penduduk di seluruh dunia. Selain itu, perang juga masih terjadi di berbagai tempat, seperti Syria dan Afghanistan, yang telah menimbulkan banyak korban jiwa.
Namun, buku Pinker dan laporan Bank Dunia tersebut merupakan literatur yang sangat penting untuk neningkatkan optimisme kita akan masa depan, bahwa kita tinggal di dunia yang relatif semakin membaik dari masa ke masa, di mana kemiskinan semakin menurun, perang semakin jarang terjadi, perbudakan secara legal sudah dihapuskan, dan hak-hak perempuan semakin meningkat. Capaian tersebut merupakan salah satu capaian terbesar dari umat manusia yang harus kita apresiasi, dan jangan sampai kita terlena dengan kehidupan di masa lalu dan kelak kita akan membawa dunia ke arah yang lebih kelam seperti dunia yang ditinggali oleh para leluhur kita.
Referensi
Buku
Pinker, Steven. 2011. The Better Angels of Our Nature: Why Violence Has Declined. New York: Penguin Books.
Internet
https://www.businessinsider.com/the-better-angels-of-our-nature-bill-gates-2017-5?r=US&IR=T Diakses pada 6 September 2020, pukul 21.30 WIB.
https://data.worldbank.org/indicator/SE.PRM.NENR.FE Diakses pada 6 September 2020, pukul 23.45 WIB.
https://www.reuters.com/article/us-mauritania-slavery-un/activists-warn-over-slavery-as-mauritania-joins-u-n-human-rights-council-idUSKCN20K2GS Diakses pada 7 September 2020, pukul 02.35 WIB.
https://ourworldindata.org/extreme-poverty Diakses pada 7 September 2020, pukul 16.15 WIB.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.