Apakah Demokrasi Sistem Politik Terbaik?

    1146

    Apakah demokrasi sistem politik yang terbaik?

    Pertanyaan ini adalah salah satu pertanyaan tertua dalam sejarah filsafat dan pemikiran politik. Berbagai filsuf-filsuf besar dunia sejak ribuan tahun yang lalu sudah membahas mengenai pertanyaan besar tersebut, dan pembahasan mengenai demokrasi sendiri bisa kita tarik hingga ke Yunani Kuno.

    Kota Athena di Yunani Kuno misalnya, sering dianggap oleh banyak pihak sebagai nenek moyang dari seluruh sistem demokrasi. Meskipun demikian, tidak semua filsuf-filsuf besar Yunani kuno menyetujui dan mengapresisasi demokrasi sebagaimana yang diterapkan di negara kota mereka.

    Salah satu bapak pendiri filsafat Yunani Kuno, Socrates, misalnya, merupakan salah satu tokoh yang memiliki pandangan sangat kritis terhadap demokrasi. Dalam buku The Republic, Plato mencatat debat antara Socrates dengan kawannya bernama Adeimantus mengenai negara yang iedal.

    Socrates bertanya kepada Adeimantus, bila ia menaiki sebuah kapal, siapa yang ia pilih sebagai kapten untuk mengkomandani kapal tersebut. Apakah ia akan memilih semua orang di kapal tersebut secara acak, terlepas dari kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki oleh orang tersebut mengenai navigasi, atau posisi tersebut lebih baik diberikan kepada seseorang yang memang paling mengerti dan memiliki pengetahuan? (bigthink.com, 7/9/2017).

    Adeimantus menjawab bahwa pilihan terbaik adalah kapal tersbeut dikomandani oleh seseorang yang paling mampu dan memiliki pengetahuan. Lantas, Socrates mengembangkan ilustrasi tersebut menjadi aspek kenegaraan. Bila sebuah kapal akan lebih baik dipimpin oleh seseorang yang memiliki kemampuan dan pengetahuan bukankah juga berarti kepemimpinan di sebuah negara lebih baik diberikan kepada seseorang yang memiliki kemampuan dan pengetahuan, membiarkan setiap orang untuk menjadi pemimpin negara terlepas dari pengetahuan dan kemampuannya (bigthink.com, 7/9/2017).

    Lantas, apakah pandangan tersebut merupakan sesuatu yang tepat? Apakah demokrasi hanya niscaya akan membawa pada kemunduran dan kehancuran suatu negara, karena lantas posisi pemimpin negara berpotensi akan didapatkan oleh seseorang yang tidak memiliki kualifikasi?

    *****

    Presiden ke-4 Amerika Serikat, James Madison, dalam The Federalist Papers menulis “Bila manusia adalah malaikat, maka pemerintah merupakan sesuatu yang tidak dibutuhkan. Dan bila malaikat yang menjadi pemerintah, maka kontrol internal dan eksternal terhadap pemerintah merupakan sesuatu yang tidak perlu.” (The Washington Post, 20/4/2015).

    Madison mengakui, bahwa pemerintah adalah institusi yang sangat penting untuk hadir di dalam masyarakat. Tanpa adanya pemerintah, maka tidak akan ada institusi yang dapat memaksakan hukum, dan setiap orang dapat dengan bebas melanggar hak individu lainnya.

    Namun, justifikasi adanya pemerintah bukan berarti lantas memberikan wewenang yang tidak terbatas kepada institusi tesebut. Pemerintah juga merupakan institusi yang dijalankan oleh manusia, yang tidak berbeda dengan anggota masyarakat lainnya, yang juga berpotensi untuk menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya. Oleh karena itu, kekuasaan yang dimiliki pemerintah juga harus dibatasi dan dikontrol agar tidak mudah disalahgunakan.

    Hal inilah yang menjadi isu sentral yang harus diperhatikan ketika kita ingin membangun institusi pemerintahan. Sejarah manusia dipenuhi oleh berbagai penguasa yang gila kekuasaan, yang memanfaatkan kekuasaan yang mereka miliki untuk merepresi warganya dan mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya untuk dirinya sendiri.

    Peringatan dari Socrates bahwa mengangkat pemimpin yang tidak memiliki kemampuan dan pengetahuan adalah sesuatu yang berbahaya tentu merupakan hal yang harus kita perhatikan. Bila sebuah negara dipimpin oleh seseorang yang tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan, tentu besar kemungkinan negara tersebut akan mengalami kemunduran, hingga kehancuran.

    Sistem demokrasi memang tidak menjamin bahwa pemimpin yang terpilih adalah putra terbaik bangsa yang memiliki kemampuan yang tinggi dan pengetahuan yang luas. Bila kita membaca buku-buku sejarah hingga surat kabar terbaru, dengan mudah kita bisa menemukan berbagai kepala negara dan kepala pemerintahan, yang dipilih secara demokratis, namun tidak memiliki kemampuan yang layak sehingga membawa kemunduran bagi negara yang ia pimpin.

    Namun, bukan berarti lantas sistem politik lain yang menjadi antitesis demokrasi menjadi jawabannya. Sistem otoritarian yang tertutup juga tidak menjamin akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang memumpuni, dan mampu membawa negaranya pada kemajuan, kemakmuran dan kesejahteraan.

    Kelebihan demokrasi dibandingkan dengan sistem-sistem lain yang tertutup dan otoritarian adalah, demokrasi menyediakan cara bagi warga negara untuk menurunkan pemimpin yang tidak memiliki kemampuan tersebut secara prosedural dan damai, yakni melalui pemilu. Bila seorang pemimpin negara tidak lagi dapat membawa kebaikan bagi negerinya, maka rakyat di negara tersebut dapat memilih kandidat lain yang dianggap memiliki kualifikasi.

    Hal ini hampir tidak dimungkinkan di negara-negara dengan sistem non-demokratik. Bila seorang pemimpin terbukti gagal dalam mengurus negaranya, maka tidak ada jalan damai bagi masyarakat untuk menurunkan pemimpin tersebut. Masyarakat harus melakukan protes dan demonstrasi besar-besaran yang tak jarang berujung pada kerusuhan hingga perang sipil.

    Selain itu, sekalipun sebuah negara mampu mendapatkan pemimpin yang berkualitas di sistem yang non-demokratis, tidak ada yang bisa memastikan bahwa pemimpin tersebut tidak menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya. Tanpa adanya check and balances dari lembaga negara lainnya, institusi media yang independen, dan organisasi sipil yang kuat, maka kesempatan bagi pemimpin tersebut untuk menyalahgunakan kekuasaannya akan semakin besar.

    Hal lain yang sangat penting untuk diperhatikan adalah, berdasarkan indeks internasional yang mencakup berbagai indikator, secara umum, negara-negara demokratis terbukti lebih berhasil dibandingkan dengan negara-negara non-demokratis. Hal ini termasuk diantaranya adalah kesejahteraan dan tingkat korupsi yang rendah.

    Berdasarkan Indeks Kesejahteraan Legatum (Legatum Prosperity Index) tahun 2020 misalnya, dari 167 negara, 10 negara-negara paling sejahtera di dunia adalah negara-negara demokrat. Negara-negara tersebut diantaranya adalah Denmark, Norwegia, Swiss, Swedia, Finlandia, Belanda, Selandia Baru, Jerman, Luxemburg, dan Austria (Legatum Prosperity Index, 2020).

    Hal yang sama juga berlaku terkait dengan tingkat korupsi di sebuah negara. Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index) tahun 2019 yang dikeluarkan oleh organisasi pegiat anti korupsi internasional, Transparency International, negara-negara yang paling bersih dari korupsi didominasi oleh negara-negara demokratis (Corruption Perception Index, 2019).

    Dari 15 negara yang menduduki peringkat teratas, hanya ada 1 negara yang tergolong negara illiberal democracy atau flawed democracy yang masuk, yakni Singapura. 14 negara lainnya adalah negara demokrasi liberal, seperti Selandia Baru, Denmark, Finlandia, Swedia, Norwegia, Belanda, Luxemburg, Jerman, Islandia, Inggirs, Kanada, Austria, dan Australia (Corruption Perception Index, 2019).

    Sebagai penutup, demokrasi memang bukan sistem yang sempurna. Demokrasi merupakan sistem yang memiliki banyak kekurangan dan kelemahan. Namun, demokrasi tetap merupakan sistem terbaik yang kita miliki, karena di negara demokratis, kita dapat membatasi kekuasaan dan mekanisme check and balances dimungkinkan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang oleh penguasa.

     

    Referensi

    https://bigthink.com/popular/social-determinants-of-health Diakses pada 2 Februari 2021, pukul 21.15 WIB.

    https://www.washingtonpost.com/news/volokh-conspiracy/wp/2015/04/20/what-is-government-itself-but-the-greatest-of-all-reflections-of-human-nature/ Diakses pada 2 Februari 2021, pukul 23.30 WIB.

    https://www.prosperity.com/rankings Diakses pada 3 Februari 2021, pukul 02.45 WIB.

    https://www.transparency.org/en/cpi/2019/results/table Diakses pada 3 Februari 2021, pukul 03.25 WIB.