“Apakah batas tindakan kekerasan yang dapat dilakukan oleh negara?”
Pertanyaan tersebut merupakan salah satu pertanyaan tertua dalam sejarah pemikiran politik dan filsafat politik. Selama berabad-abad, berbagai filsuf, teoretikus politik, ilmuwan sosial, pakar hukum, dan akademisi saling berdiskusi dan berdebat untuk menemukan jawaban atas pertanyaan besar tersebut.
Jawaban yang dikemukakan seseorang untuk menjawab pertanyaan tersebut, besar kemungkinan juga dapat dijadikan ukuran untuk memprediksi ideologi politik yang orang tersebut anut. Seluruh perbedaan ideologi politik yang pernah diciptakan oleh umat manusia, isu sentral yang selalu menjadi karakteristik dan ciri dari ideologi tersebut dan menimbulkan perdebatan adalah, selain mengenai kondisi alamiah manusia (human nature), adalah mengenai batas tindakan kekerasan yang dapat dilakukan oleh negara.
Salah satu definisi mengenai negara yang hampir selalu dikutip adalah definisi yang dituliskan oleh sosiolog besar kelahiran Jerman, Max Weber, dalam karyanya yang berjudul “Politics as a Vacation.” Weber memberi definisi negara sebagai “komunitas manusia (Gemeinschaft) yang memiliki legitimasi untuk memonopoli penggunaan kekerasan secara sah dalam suatu wilayah tertentu (Weber, 1919).
Seseorang yang memiliki ideologi politik kiri, seperti sosialisme misalnya, akan berpandangan negara memiliki wewenang untuk menggunakan kekerasan untuk mencapai kesetaraan di masyarakat, dan mencegah ketimpangan sosial. Penggunaan kekerasan tersebut dalam diimplementasikan dalam berbagai bentuk, seperti memaksa orang-orang yang memiliki uang lebih untuk membayar pajak lebih tinggi, mengambil paksa badan usaha dan properti yang dimiliki oleh individu, hingga memaksa anggota masyarakat untuk bekerja di tempat-tempat tertentu yang sudah ditentukan oleh negara.
Lain halnya dengan mereka yang memiliki ideologi politik berbasis agama atau percaya pada sistem teokrasi. Mereka umumnya percaya bahwa negara memiliki wewenang untuk menggunakan kekerasan demi menegakkan ajaran agama yang mereka yakini sesuai dengan yang dicantumkan di dalam kitab suci. Negara misalnya dapat menggunakan kekerasan untuk menutup paksa toko yang menjual minuman beralkohol misalnya, atau memberlakukan hukuman fisik terhadap orang-orang yang melakukan kegiatan yang dianggap bertentangan keras dengan ajaran-ajaran agama, seperti melakukan hubungan seks di luar ikatan pernikahan yang sah.
Sementara itu, kelompok-kelompok liberal klasik dan libertarian yang menginginkan negara minimal akan menyatakan, satu-satunya legitimasi penggunaan kekerasan yang sah oleh negara adalah untuk melindungi seseorang dari agresi pihak lain. Ketika ada seseorang yang menodongkan senjata api ke orang lain misalnya, aparat penegak hukum sebagai perwakilan negara memiliki wewenang untuk menembak orang yang menodongkan senjata tersebut untuk menyelamatkan nyawa orang lain.
Lantas, apakah pandangan yang tepat mengenai batas kekerasan yang dapat dilakukan oleh negara?
*****
Harus diakui, mustahil menemukan jawaban ideal dan tepat untuk menjawab pertanyaan di atas yang dapat memuaskan dan disetujui oleh semua pihak. Manusia adalah spesies yang sangat kompleks, yang memiliki perbedaan latar belakang keluarga, agama, tradisi, budaya, cara berpikir, filsafat hidup, serta pengalaman yang sangat beragam. Hal tersebut jelas akan memiliki pengaruh yang sangat besar untuk membentuk ideologi politik seseorang, entah disadari atau tidak.
Namun, izinkan saya mencoba menjawab pertanyaan besar di atas melalui ilustrasi sederhana. Di dalam negara demokrasi yang ideal, mereka duduk di pemerintahan merupakan orang-orang yang dipilih oleh rakyat, atau ditunjuk oleh mereka yang dipilih oleh rakyat, untuk mengelola negara. Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan batas kekerasan yang dapat dilakukan oleh negara, saya mencoba untuk mengembalikannya ke diri saya sendiri.
Apakah batas-batas tindakan kekerasan yang akan saya lakukan, atau yang saya ingin orang lain lakukan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, jawaban saya tentu sangat jelas. Batas tindakan kekerasan yang akan saya lakukan, atau yang saya ingin orang lain lakukan, adalah untuk mencegah dan melindungi orang lain yang hak dan kebebasannya terancam untuk dicederai oleh orang lain.
Tindakan membunuh misalnya, jelas merupakan tindakan yang sangat melanggar hak dan kebebasan orang lain. Bila ada seseorang yang melihat orang lain yang hendak dibunuh oleh orang lain, maka tentu saya ingin agar orang tersebut mencegah terjadinya tindak pembunuhan tersebut, tentunya dengan cara yang ia mampu, meskipun dengan cara kekerasan sekalipun, seperti menghilangkan nyawa sosok yang hendak membunuh orang lain tersebut.
Hal yang sama juga berlaku bagi berbagai tindakan kejahatan lain seperti penculikan, pencurian, dan lain sebagainya. Bila ada seseorang yang melihat orang lain yang hendak diculik, tentu saya ingin agar orang tersebut juga mencegah agar tindakan penculikan tersebut tidak terjadi, termasuk dengan menggunakan tindakan kekerasan terhadap penculik tersebut.
Oleh karena itu, saya menaruh harapan kepada pemerintah, sebagai pihak yang saya pilih untuk mengelola negara, untuk juga melakukan tindakan kekerasan yang diperlukan untuk mencegah terjadinya pembunuhan, penculikan, dan pencurian. Hal ini tentu termasuk juga untuk memproses mereka yang melakukan tindakan kriminal tersebut untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Namun, bila saya ingin membangun perpusatakaan misalnya, saya tidak akan menggunakan tindakan kekerasan, seperti memaksa orang lain, atau merampas uang milik orang lain, demi membangun tempat untuk membaca yang ingin saya dirikan. Hal yang sama tentu juga berlaku bagi orang lain. Bila ada orang lain yang ingin membangun perpusatakaan, saya tidak ingin orang tersebut bertindak kekerasan, seperti mengambil paksa uang orang lain untuk membangunnya.
Bila saya tidak ingin melakukan tindakan kekerasan dalam bentuk mengambil paksa uang orang lain untuk membangun perpustakaan, maka pemerintah yang telah saya pilih untuk mengelola negara juga saya harapkan tidak memiliki wewenang untuk mengambil paksa uang orang lain, seperti dalam bentuk pajak, untuk membangun perpustakaan. Hal ini tentu juga berlaku bagi hal-hal lainnya.
Lantas, bagaimana bila ada orang yang memiliki batas-batas tindakan kekerasan yang akan mereka lakukan, yang berbeda dengan yang saya miliki? Misalnya, mereka yang bersedia melakukan tindakan kekerasan terhadap orang lain yang dianggap melakukan perbuatan yang melanggar ajaran agama yang mereka yakini, seperti minum minuman beralkohol atau melakukan hubungan seks di luar ikatan pernikahan yang sah? Bukankah berarti lantas wewenang untuk melakukan tindakan kekerasan oleh negara dengan tujuan untuk menegakkan ajaran agama tertentu menjadi bisa dijustifikasi?
Kembali ke pembahasan awal, harus saya akui, mustahil untuk menemukan jawaban mengenai batas-batas tindakan kekerasan yang dapat dilakukan oleh negara yang dapat memuaskan semua pihak. Bila ada seseorang yang bersedia melakukan tindakan kekerasan terhadap orang lain yang melakukan perbuatan yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama yang ia yakini misalnya, dan ia menjadikan hal tersebut sebagai justifikasi untuk memberikan wewenang untuk melakukan tindakan kekerasan demi menegakkan ajaran agama yang ia yakini kepada pemerintah, maka hampir mustahil saya dapat memberikan jawaban yang dapat memuaskan orang tersebut.
Satu-satunya jawaban yang bisa saya berikan adalah, bila Anda percaya pemerintah sebagai pihak yang kita wakilkan untuk mengelola negara, memiliki hak untuk melakukan tindakan kekerasan demi menegakkan ajaran agama yang Anda yakini, maka Anda harus bersikap konsisten. Bila ada pemerintahan di wilayah atau negara lain yang ingin menggunakan kekerasan untuk menegakkan agama yang diyakini oleh mayoritas warga di wilayah atau negara tersebut, namun agama yang diyakini mereka berbeda dengan agama yang Anda anut, Anda juga harus menerima dan tidak bisa memprotes kebijakan tersebut.
Misalnya, bila Anda menginginkan agar Pemerintah Indonesia menegakkan ajaran agama Islam yang Anda yakini, maka bila ada Pemerintah India ingin memberlakukan kebijakan yang serupa, yakni menegakkan ajaran agama Hindu yang merupakan agama mayoritas di negara tersebut, Anda harus menerimanya dengan lapang dada. Anda tidak memiliki justifikasi moral untuk melakukan protes, seperti menggelar demonstrasi besar di depan kedutaan India atas nama memprotes diskriminasi dan lain sebagainya, seperti yang pernah dilakukan oleh beberapa kelompok pada bulan Maret lalu (Kompas.com, 06/03/2020).
Hal yang sama juga berlaku bagi mereka yang memiliki ideologi politik kiri, tidak menolak, bahkan mendukung, bila negara mengambil alih properti dan badan usaha yang dimiliki oleh orang-orang yang dianggap memiliki uang lebih, maka ia juga harus konsisten. Bila negara suatu saat nanti juga akan mengambil usaha yang dimiliki oleh orang tersebut, atau properti yang dimilikinya, maka ia juga tidak memiliki justifikasi moral untuk memprotes kebijakan tersebut.
Sebagai penutup, negara minimum dengan pemerintahan yang sangat terbatas untuk melindungi hak individu bagi saya merupakan gagasan dan sistem yang paling merefleksikan manusia. Manusia merupakan spesies yang sangat beragam, dan setiap individu memilik keunikannya masing-masing.
Untuk itu, adanya pemerintah yang memiliki wewenang yang sangat terbatas merupakan hal yang sangat penting untuk memastikan setiap individu tetap menjaga keunikan pada diri mereka masing-masing dan dapat menentukan jalan hidup sesuai dengan yang mereka inginkan. Hal ini sangat penting, bukan hanya untuk menjaga dari totalitarianisme dan otoritarianisme pemerintah terhadap individu, namun juga tirani dari mayoritas untuk memaksakan kehendaknya kepada kelompok minoritas.
Di sisi lain, manusia juga merupakan spesies yang selalu ingin maju dan berkembang. Sejarah umat manusia merupakan perjalanan panjang yang bergerak ke arah kemajuan teknologi dan kesejahteraan. Saat ini. kita tinggal di masa dengan teknologi dan kesejahteraan yang hampir di luar bayangan para leluhur kita yang tinggal 1 – 2 abad lalu (ourworldindata.org, 2019).
Untuk itu, tidak cukup untuk membangun sistem bernegara yang melindungi keberagaman. Diperlukan juga untuk membangun sistem yang memungkinkan terjadinya persaingan untuk berinovasi dan kesempatan untuk trial and error agar kemajuan peradaban tidak menjadi terhenti atau bahkan mundur ke belakang.
Referensi
Weber, Max. 1919. Politics as A Vacation. Dikutip dari http://fs2.american.edu/dfagel/www/class%20readings/weber/politicsasavocation.pdf Diakses pada 3 Oktober 2020, pukul 23.15 WIB.
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/03/06/18502961/pa-212-minta- bertemu-dubes-india-sampaikan-protes-kekerasan-di-india Diakses pada 4 Oktober 2020, pukul 16.30 WIB.
https://ourworldindata.org/a-history-of-global-living-conditions-in-5-charts# Diakses pada 4 Oktober 2020, pukul 17.15 WIB.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.