Apakah Aturan Sanksi Menolak Vaksinasi Melanggar Hak Asasi Manusia?

    461

    Beberapa minggu belakangan ini, pemerintah dan berbagai pihak sangat gencar mengusahakan proses vaksinasi, mulai dari uji klinis hingga pendistribusian dan penyuntikkan vaksin ke masyarakat. Vaksinasi merupakan salah satu harapan besar bagi masyarakat untuk dapat segera mengakhiri pandemi COVID-19. Berbagai jenis vaksin pun mulai ditemukan dan diuji efikasinya, mulai dari Sinovac, Pfizer, Moderna, AstraZeneca, dan berbagai jenis vaksin lainnya.

    Dari beberapa vaksin yang telah dibuat di beberapa negara, Pemerintah Indonesia akan menyiapkan sekitar 429 juta dosis vaksin untuk 181 juta penduduk, dan per tanggal 31 Desember 2020 lalu 3 juta dosis vaksin Sinovac yang berasal dari China telah tiba di Indonesia (Kompas.com, 2020).

    Pemerintah juga telah menyiapkan sarana vaksinasi, seperti fasilitas kesehatan dan aturan mengenai vaksinasi. Berbagai aturan tersebut disiapkan, mulai dari pihak-pihak yang berhak mendapatkan vaksin terlebih dahulu, hingga pidana dan denda bagi pihak yang menolak untuk divaksinasi.

    Namun, pidana dan denda bagi pihak yang menolak untuk divaksinasi menimbulkan pro & kontra di masyarakat. Sebab, banyak pihak yang meragukan keamanan dari vaksin-vaksin yang akan didistribusikan tersebut, terutama vaksin Sinovac. Terlebih lagi, BPOM baru saja mengeluarkan hasil efikasi dari vaksin Sinovac yang memiliki tingkat efikasi 65,3 persen (Detik.com, 2020).

    Dengan efek samping berat terjadi pada 0,1-1 persen penerima vaksin. Artinya, dari 100 orang yang disuntik akan ada sekitar 35 orang yang masih bisa terkena COVID-19 dan dari 181 juta penduduk yang akan divaksinasi, terdapat sekitar 63 juta orang yang masih bisa terkena COVID-19. Meskipun hasil efikasi tersebut telah berada di atas ambang 50 persen yang ditetapkan oleh WHO (CNBCIndonesia.com, 2020). Hal ini tetap menjadi kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat.

    Lantas, apakah aturan pidana dan denda tersebut telah mencederai hak individu dalam memperoleh kepastian akan keselamatan dan keamanan layanan kesehatan?

    Salah satu aturan yang menerapkan sanksi pidana denda atas penolakan vaksinasi adalah Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Corona Virus Disease 2019, tepatnya pada Pasal 30 yang berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja menolak untuk dilakukan pengobatan dan/atau vaksinasi COVID-19, dipidana dengan pidana denda paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah)” (Perda Pemprov DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2020 tentnag Penanggulangan Corona Virus Disease).

    Di dalam konsep Hak Asasi Manusia (HAM) sendiri, terdapat hak yang disebut hak individu. Hak tersebut merupakan hak di mana setiap individu terbebas dari paksaan entitas baik itu oleh pemerintah, intitusi, keluarga, maupun mayoritas masyarakat (Suara Kebebasan, 2019).

    Kemudian, berdasarkan Pasal 5 ayat (3) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, disebutkan bahwa “Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya” (UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan). Pasal tersebut menegaskan bahwasanya layanan kesehatan merupakan hak masing-masing orang dan setiap orang berhak atas tubuhnya sendiri.

    Perda Provinsi DKI Jakarta tersebut tentu bertentangan dengan UU Kesehatan dan hak individu dalam konsep HAM yang memberikan hak kepada setiap individu untuk menentukan layanan kesehatan bagi dirinya sendiri tanpa paksaan.

    Dilansir dari CNN Indonesia, WHO juga menganggap memaksa orang untuk divaksinasi adalah cara yang kurang tepat untuk mempromosikan vaksinasi COVID-19. “Akan lebih baik untuk mendorong dan memfasilitasi vaksinasi tanpa persyaratan semacam itu. Saya tidak berpikir kami ingin melihat ada negara yang mewajibkan vaksinasi,” ujar Direktur Departemen Imunisasi WHO, Kate O’Brien (CNNIndonesia.com, 2021).

    Seharusnya, tingkat efikasi vaksin yang masih rendah tersebut dijadikan pertimbangan oleh pemerintah untuk meningkatkan efikasi dari vaksin tersebut atau memilih vaksin yang tingkat efikasinya lebih tinggi. Pemerintah juga perlu meningkatkan kepercayaan masyarakat atas vaksinasi, serta memberikan rasa aman dan nyaman terhadap masyarakat, ketimbang menghadapkan masyarakat dengan dua pilihan, yaitu vaksinasi dengan tingkat efikasi rendah atau membayar denda di tengah situasi ekonomi yang sedang sulit.

     

    Referensi

    Buku

    Suara Kebebasan. 2019. Libertarianisme: Perspektif Kebebasan atas Kekuasaan dan Kesejahteraan. Jakarta: Suara Kebebasan.

     

    Internet

    https://www.cnbcindonesia.com/tech/20210112063752-37-215186/khasiat-vaksinsinovac-653-di-indonesia-apa-maksudnya, Diakses pada 12 Januari 2021, pukul 21.38.

    https://www.cnnindonesia.com/internasional/20210113111735-134-593040/who-sebut-tak-setuju-negara-wajibkan-vaksinasi-covid, Diakses pada 13 Januari 2021, pukul 20.30.

    https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-5329717/bpom-sebut-efikasi-vaksin-sinovac-653-persen-ini-artinya, Diakses pada 12 Januari 2021, pukul 21.40.

    https://regional.kompas.com/read/2020/12/31/12531121/amankan-pasokan-vaksin-covid-19-ini-daftar-vaksin-yang-dibeli-indonesia?page=all, Diakses pada 12 Januari 2021, pukul 21.30.

     

    Dokumen Hukum

    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Peraturan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Corona Virus Disease.