Seperti yang dilansir oleh sejumlah media cetak beberapa hari yang lalu, KPU telah menetapkan Anies Rasyid Baswedan sebagi Gubernur Terpilih DKI Jakarta . Selama masa kampanye, Anies Baswedan menjanjikan penutupan tempat-tempat prostitusi di DKI Jakarta, seperti Alexis dan sebagainya.
Beberapa alasan yang disertakan oleh orang-orang yang menyatakan kontra terhadap prostitusi adalah, penyakit menular seksual, seperti HIV/AIDS, eksploitasi seksual, kekerasan seksual, human trafficking yang angkanya dianggap menanjak drastis karena adanya prostitusi. Atau yang lebih umumnya lagi, karena dalih agama. Intinya, prostitusi masih dianggap tabu dan amoral oleh beberapa lapisan masyarakat di Indonesia, walau sebagian besarnya lebih bertendensi ke hipokrit. Istilahnya, ogah ogah mau.
Prostitusi, dengan segala stigma-stigma negatifnya, menurut perspektif saya sendiri, akan mendatangkan keuntungan yang sangat besar untuk ekonomi lokal. Dari pajak, tingginya permintaan, mematikan prostitusi atau komoditas gelap lainnya, membuka lapangan kerja. Hmm, tentu mendatangkan prospek yang baik, bukan? Dan tentunya, dibarengi dengan regulasi dan pengawasan badan pemerintah yang baik, terorganisir dan terstruktur pula.
Sebagai profesi tertua yang diketahui dalam sejarah manusia, prostitusi tidak akan hilang dan malah terus bertumbuh. Ilegalisasi prostitusi tidak akan menyelesaikan masalah pemerkosaan, penyakit menular seksual, persebaran brothel-brothel, dan sebagainya, salah satu caranya adalah melalui lokalisasi.
Pada tahun 1970, Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin menuai kontroversi yang menimbulkan kelompok-kelompok oposisi politiknya dengan meresmikan Lokalisasi Kramat Tunggak, yang kemudian hal serupa dinyatakan dalam wacana yang dikemukakan oleh Gubernur ke-17 DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama pada bulan April 2015. Dalam penanggulangan masalah itu, diarahkan kepada tiga sasaran pokok, yaitu: pertama, agar masyarakat, terutama anak-anak dan remaja terhindar dari pengaruh pelacuran. Kedua, agar tuna susila tidak menjadi korban pemerasan oleh para germo sendiri. Ketiga, mengawasi tunasusila untuk dicegah agar tidak menjadi sumber penyakit menular (Bang Ali, Demi Jakarta 1966-1977)
Menurut Menteri Kesehatan ke-18 RI, Endang R. Sedyaningsih dan Laksamana Madya TNI Dr. Desi Albert Mamahit, M.Sc dalam Perempuan-perempuan Kramat Tunggak, dengan SK Gubernur No. Ca.7/1/39/71, pejabat-pejabat lokal diinstruksikan untuk menutup dan memindahkan praktik-praktik pelacuran di wilayah Jakarta Utara, Angke dan Jelambar di Jakarta Barat, Rawa Bangke di Jakarta Timur; ke Kramat Tunggak di Jalan Kramat Raya Kelurahan Tugu Kecamatan Koja Jakarta Utara.
Kramat Tunggak telah menjadi tempat pelacuran sejak 1950-an, yang ketika itu masih bercampur dengan rumah-rumah penduduk. Selain itu, tempat pelacuran di Jakarta Utara berada di Cilincing, Kalibaru, Koja Utara, Pejagalan, Pademangan, dan Penjaringan. Di wilayah kota Jakarta lain juga terdapat lokasi semacam itu.
Dengan dekriminalisasi prostitusi, pemerintah diharapkan bisa meregulasi para pekerja seks komersial, dengan sosialisasi safe-sex, maupun dengan akses medis secara rutin untuk mencegah adanya penyakit menular seksual. Di Nevada, dimana prostitusi dilegalkan, para pekerja seks komersial melakukan tes darah per bulannya untuk HIV, Syphilis dan juga pengecekan secara berkala untuk Gonorrhea dan Chlamydia trachomatis.
Penggunaan kondom juga merupakan keharusan untuk para pekerja seks komersial di negara bagian Nevada di Amerika Serikat. STD, HIV, AIDS dapat berkurang angka penderitanya dengan regulasi pemerintah dan partisipasi masyarakat yang baik.
Selain karena alasan medis, legalisasi prostitusi juga akan mengurangi angka kekerasan seksual dan pemerkosaan. Orang akan lebih ‘leluasa’ (tanpa takut labeling ini-itu dari lingkungan sosialnya) ‘menyewa’ seseorang untuk memenuhi hasrat seksualnya, dibandingkan melampiaskannya kepada orang lain secara paksa. Seperti yang dikatakan Khushwant Singh, “The more you try to put down prostitution, the higher will be the incidence of crime against innocent women.”
Para pekerja seks komersial juga mendapatkan kekuatan di mata hukum saat mendapatkan kekerasan seksual dari kliennya, tanpa perlu takut mengadu karena berpikir mereka juga akan tertangkap melanggar hukum, dengan menempatkan lembaga hukum di sekitar daerah lokalisasi untuk membantu sistematika regulasi pemerintah.
Membuka pintu legalitas prostitusi sama saja dengan membuka kusen untuk kegiatan “gelap” lainnya, seperti kartel-kartel narkoba, black market, dan sebagainya. Selain itu, pemerintah dapat mengontrol kelahiran, yang tentu akan mendatangkan keuntungan, terlebih lagi Indonesia khususnya Pulau Jawa yang sangat padat penduduk.
Tidak mudah memang. Setiap kebijakan akan menimbulkan pro dan kontra, namun inilah kenyataan yang harus dihadapi. Perubahan ini akan terjadi, hanya soal siapa yang memulainya. Akan terjadi pergeseran nilai moral, dan akan terjadi mass-shock pada beberapa lapisan masyarakat dalam masa transisi. Nilai dan norma akan terus berganti seiring berjalannya waktu, akan ada beberapa stigma dan statement konservatif yang tidak lagi relevan.
Amerika Serikat sendiri yang melarang prostitusi (kecuali Nevada), menghabiskan setidaknya 2.000 USD untuk penangkapan pekerja seks komersial, sedangkan negara bagiannya yang melegalkan prostitusi yaitu Nevada, justru meraih 3.000 USD per minggunya. Sisi menguntungkan prostitusi untuk pemerintah lokal dapat diperoleh dari bayaran untuk lisensi yang mereka sediakan untuk pekerja seks, pemilik brothel, dan klien sehingga mereka dapat menjalankan bisnisnya secara legal.
Keuntungan ekonomis lagi datang dari segi pariwisata, turis yang datang untuk mendapatkan pelayanan seksual dan menambah devisa negara, serta mempromosikan tempat-tempat wisata di Indonesia.
Bagaimanapun, pekerjaan yang diakui hukum akan mendapatkan hak-haknya yang sah, seperti hak keselamatan, upah minimum, jaminan kesehatan, dan yang terpenting, perlindungan terhadap kekerasan.
Tapi kembali lagi, mungkin kebijakan ini nantinya bertujuan untuk menimbulkan respon penolakan keras kaum mayoritas bukan hanya soal mengeskalasi erekonomian lokal dan tujuan-tujuan strategis lagi, menghindari pertentangan-pertentangan yang terjadi beberapa waktu lalu (atau mungkin, yang berlangsung hingga saat ini?). Ya, mungkin lebih baik cari aman saja. Majority rules, they said.
Saya sangat menghormati Pak Anies serta keputusan-keputusan Beliau sebagai Gubernur DKI Jakarta yang akan disahkan 15 Oktober 2017 mendatang. Tulisan ini hanyalah curahan perspektif saya pribadi. Jika ada perbedaan pendapat mohon maklum, karena saya hanya mengutarakan apa yang ingin saya bicarakan tanpa memusingkan orang yang akan pro atau kontra dengan pernyataan-pernyataan saya. Jadi, mohon maaf sekali. Saya dengan segenap kesadaran paham isu ini sangat sensitif. Dan tulisan ini murni terlepas dari dogma agama apapun. Sekali lagi, apapun.