Ancaman Kebebasan Akademik di Kampus

    373

    Dari Aceh, para petinggi di jajaran Kementerian Agama khususnya para pimpinan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) pada 26 April 2017 mengumandangkan Deklarasi Aceh yang salah satunya berisi tentang perlunya mengembangkan Islam inklusif dan moderat serta menghargai kemajemukan. Mahasiswa dan civitas akademika pada umumnya juga diminta menjadi garda depan dalam menjaga keutuhan NKRI. Dalam konteks perguruan tinggi, anjuran ini diaktualisasikan dalam tri darma perguruan tinggi dengan pondasi kebebasan akademik.

    Namun, dalam hitungan hari, Deklarasi Aceh ini langsung menjalani ujian pertama di IAIN Surakarta tatkala sekelompok orang yang mengatasnamakan umat Islam se-Solo Raya menolak kehadiran Haidar Bagir dalam acara bedah buku pada 9 Mei mendatang dan meminta acara bedah buku berjudul “Islam Tuhan-Islam Manusia” tersebut dibatalkan atau diganti nara sumbernya. Tapi dengan catatan bahwa nara sumber yang dihadirkan harus “se-akidah” dengan para penolak tersebut.

    Pasalnya, Haidar Bagir dianggap tokoh Syiah di Indonesia dan dikhawatirkan akan “meracuni” akidah umat Islam di Solo. Bukan bukunya yang ditolak, tapi individu Haidar Bagir yang menjadi sasaran tembak. Padahal, acara juga diadakan di kampus, dimana nalar dan nilai akademik menjadi payung utama. Justru, dengan membedah bukunya, civitas akademika IAIN Surakarta hendak menilai dan “menghakimi” isi buku tersebut.

    Tak pelak, kebebasan akademik dimana pemikiran maupun gagasan individu hendak diuji dengan nalar akademik di dunia kampus menjadi terancam karena adanya ancaman dari suatu kelompok.

    Ancaman pelarangan kegiatan akademik di kampus oleh masyarakat luar kampus adalah lonceng kematian bagi civitas akademika dan sekaligus “menantang” Deklarasi Aceh. Jika di jaman Orde Baru dulu, larangan kegiatan kampus dilakukan oleh aparatur negara, kini justru dilanjutkan oleh masyarakat sipil. Ibaratnya, keluar dari mulut harimau masuk ke mulut singa.

    Dunia akademik tidak hanya mati pelan-pelan karena banyaknya peraturan yang membelenggu seperti soal finger print dan sebagainya, termasuk tantangan dari oknum masyarakat sipil melalui ancaman larangan kegiatan. Apakah sebuah perguruan tinggi harus melaporkan ke kelompok tertentu ketika hendak melakukan kegiatan akademik?

    Dalam dunia kampus, nalar akademik dan kebebasan berpendapat menjadi nafas. Jika nafasnya sudah mulai disumbat, maka pengembangan dunia akademik segera menemui ajalnya. Dalam kebebasan berpendapat di dunia kampus, pendapat apapun dipelajari secara akademik. Ibaratnya, dalam mata kuliah ilmu Kalam, dosen dan mahasiwa mengkaji berbagai aliran mulai dari murjiah, mu’tazilah dan sebagainya tentu tidak dalam rangka mengindoktrinasi agar mahasiswa menjadi seorang murjiah. Tetapi, jelas dalam rangka memperdalam bagaimana dan seperti apa corak aliran murjiah tersebut.

    Dalam bayangan saya, pihak kampus juga akan menghormati kebebasan berpendapat para penolak kehadiran Haidar Bagir tersebut. Tentu, kebebasan berpendapatnya disampaikan secara proporsional dan saling menghormati. Jika mau ikut dalam acara diskusi, pihak kampus tentu menyambut dengan tangan terbuka. Tetapi, jika sudah mengarah pada tindakan pemaksaan pemikiran apalagi mendekati pada tindakan kekerasan, maka pihak keamanan punya tugas untuk menindaknya.

    Lebih jauh, ancaman kebebasan akademik dari sekelompok orang juga kabar buruk bagi Nawa Cita yang dikumandangkan Presiden Jokowi terutama yang terkait dengan aspek pendidikan. Kebijakan “Indonesia Pintar” tidak akan berjalan optimal jikalau model ancaman dan pemaksaan sebagaimana yang terjadi di IAIN Surakarta akan diadopsi seantero negeri.

    Bagaimana mau pintar jika belajar pun harus seragam dan “diawasi” orang yang tidak pada kompetensinya. Poin “Memperteguh Kebhinnekaan dan Memperkuat Restorasi Sosial Indonesia” hanya akan menjadi macan ompong jika aparat keamanan justru tidak mampu menjaga institusi kampus ketika mendapat ancaman.

    Soal aparat keamanan, perlu ada literasi kebebasan akademik. Sebagai bagian dari aparatur negara, sepantasnya pihak keamanan ikut berkontribusi bagi terlaksananya kegiatan akademik apalagi jika diselenggarakan di perguruan tinggi. Tidak malah sebaliknya, karena ada usulan dari sekelompok orang agar suatu kegiatan akademik ditiadakan karena berpotensi mengganggu suasana yang dianggap sudah kondusif, maka aparat keamanan memilih untuk mendukung pembatalan kegiatan akademik.

    Seharusnya, aparat keamanan ikut memastikan bahwa kegiatan akademik bisa berjalan tanpa ada gangguan. Jika kelompok yang menolak berargumen tentang kebebasan berpendapat, maka aparat keamanan bisa memfasilitasi penyampaian kebebasan berpendapat di luar kampus.

    Tanpa kebebasan akademik, kampus tidak mungkin berkembang dan memacu civitas akademika menjadi manusia yang susila dan demokratis dengan penekanan pada pendidikan karakter yang mencintai kebenaran dan menghargai perbedaan pendapat (Hatta, 1957). Jika sebuah kampus terus mengalami ancaman dalam mengembangkan dunia akademik serta tidak terbiasa dengan perbedaan pendapat, maka kehendak untuk menjalankan dokumen Nawa Cita di bidang pendidikan lagi-lagi berpotensi tidak berjalan optimal.

    Apabila kampus semacam IAIN Surakarta yang notabene adalah institusi perguruan tinggi negeri atau perguruan tinggi lainnya bisa dengan mudahnya didikte oleh sekelompok orang yang cenderung abai dengan nalar akademik, apa kata dunia? Yang jelas, Deklarasi Aceh bahkan dokumen Nawa Cita akan dianggap angin lalu dan hanya selebrasi semata.