Ageisme dan Politik Gaya Gerontokrasi Sebagai Penghambat Utama Kebebasan Berpolitik Generasi Muda ?

    193

    Ageisme, Stigma yang Sengaja Ditempelkan Pada Kaum Muda ?

    Beberapa tahun silam, tepatnya pada tahun 2018, sebelum pandemi Covid-19 menyerang hampir ke seluruh dunia, jagat dunia maya sempat dihebohkan dengan wawancara yang dilakukan oleh Rosi pada acaranya yang disiarkan oleh salah satu media ternama di Indonesia,  yang kemudian mengundang netizen untuk mengkritisi proses wawancara yang disiarkantersebut. Pasalnya, terdapat beberapa hal yang menjadi polemik dalam prosesi wawancaranyayangsifatnyamerendahkannarasumbernyayangkebetulanmerupakandarikalanganmilenial.Gustika Jusuf Hatta sebagai narasumber pada saat itu terlihat sedang direndahkandengan pertanyaan-pertanyaan yang sengaja dilontarkan oleh Rosi selaku pembawa acaradengan menanyakan kepadanya hal-halyang tidak sehubungan dengan topikpembahasan.

    Hal yang dirasa sudah ganjil dapat dirasakan pada awal-awal pembahasan di mana Rosi menanyakan perihal umur Gustika. Dilansir dari Kumparan.com, Rosi selepas menanyakan terkait umur dan ia kemudian menambahkan pernyataanya dengan berkata, “Oh, dua empat, masih dibilang milenial, dong?”. Tak hanya itu, Rosi melanjutkan setiap pertanyaannya dengan diakhiri kata “sayang”. Kemudian, selama 10 menit mewawancarai Gustika ia tercatat sebanyak 5 kali mengatakan kata “milenial”. Hal yang sangat kentara lagi di mana Rosi dengan gamblang menanggapi jawaban narasumbernya sendiri dengan mengatakan, “Itu murni buah pikiran kamu? Udah dimarahin Mama belum?”

    Selama berjalanya acara tersebut, kesan yang dapat dilihat dan ditangkap oleh kebanyakan pemirsa seakan-akan Rosi sedang menggurui dan merendahkan dengan nada suara seakan mengejek yang sangat terlihat jelas bahwa Gustika dianggap remeh. Kasus lain yang serupa mungkin dapat ditemui pada acara diskusi pada  salah satu stasiun televisi berita di Indonesia yang dipandu oleh Karni Ilyas. Pada kesempatan diskusi tersebut, terdapat ucapan yang membawa sentimen umur dari yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) kepada  salah seorang mahasiswa yang telah menyampaikan pendapatnya. Pada kesempatan itu, Menkumham terlihat dengan jelas memasang wajah sinis dan seperti mengejek saat mahasiswa itu berpendapat. Kemudian, pada giliran ia menanggapi dengan menyinggung bahwa mereka yang demo tidak memahami isi undang-undang yang didemo. Lanjutnya, ia membawa topik pembicaraan pada masa mudanya yang juga pernah menjadi “aktivis” mahasiswa dan melontarkan perkataan kalau mau berargumen harus baca dulu dengan jelas baru berdebat.

    Sekilas hal ini terlihat biasa pada masyarakat kita di mana banyak diantaranya yang menganggap anak muda atau milenial sering dikatakan lemah, ingin hasil selalu instan, anak kemarin sore, pemalas, dan beberapa anggapan lainnya yang tentunya sangat tidak menguntungkan salah satu pihak. Dalam konteks seperti kasus di atas, hal tersebut sudah masuk pada tataran permasalahan ageisme. Ageisme ini dapat berdampak pada berbagai bidang kehidupan manusia, mulai dari pekerjaan, pendidikan di mana hubungan antara guru dan murid yang sering dibatasi oleh batasan umur, sehingga tidak timbul diskusi dua arah antara pengajar dan yang diajar, serta pada ranah kebebasan berpendapat dan politik yang sering dijumpai kalau anak-anak muda milenial dianggap “tahu apa anak muda tentang kehidupan politik, minim pengalaman politik, suaranya tidak akan didengarkan kalangan luas, suka cari eksistensi, dan berbagai pandangan-pandangan lainnya”.

    Lantas, apa itu ageisme ? Mengapa ageisme sangat lumrah dan banyak ditemui di masyarakat kita? Bagaimana hal itu dapat terjadi ? Mengapa anak muda dianggap tidak berpengalaman dan kurang berkompeten ketika mereka menyuarakan pendapat dalam kebebasan berpolitik?

    Ageisme dan Kesalahan Pola Pendidikan Pada Anak
     Istilah ageisme dicetuskan oleh Robert Neil Butler pada tahun 1969, pada tulisannya dengan judul “Age-ism: Another form of bogotry”. Pada intinya, ageisme menurut Butler merupakan sebuah prasangka dan upaya rasisme yang muncul akibat perbedaan usia seseorang atau kelompok. Dengan demikian, ageisme ini dapat menyerang kelompok umur siapa saja tanpa terkecuali dengan maksud untuk melecehkan, merendahkan, mengucilkan, dan membedakan.

    Terdapat tiga elemen ageisme: elemen pertama merupakan prasangka terhadap orang yang berusia lanjut; elemen kedua adalah beragam praktik diskriminasi pada usia tua, dan elemen ketiga terkait dengan tindak praktik suatu lembaga dan kebijakannya yang terus melanggengkan streotip pada orang yang lebih tua. Pada awalnya, ageisme yang dicetuskan Butler ini lebih merujuk pada diskriminasi anak muda pada golongan tua. Namun, dalam hal ini bisa sebaliknya yakni diskriminasi golongan tua pada anak muda. Apakah ini ada hubungannya dengan pola pendidikan anak pada usia dini?

    Dalam tulisan Fitria yang mengutip pernyataan John Locke yang mengatakan bahwa setiap anak manusia yang lahir selayaknya kertas putih (tabularasa), lingkunganlah yang akan memberikan dia coretan-coretan di atasnya (Fitria, 2003). Pola asuh anak sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang merupakan salah satu pondasi pendidikan pada anak. Pada konteks pengasuhan anak bidang kebudayaan merupakan bagian integral dari anak untuk menakar baik dan buruk berdasarkan pada kebudayaan yang ada di lingkungannya (Fitria, 2016). Dari pernyataan-pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa adanya contoh-contoh permasalahan seperti di atas merupakan sebuah produk budaya dari lingkungan hidup dirinya tempat tinggal, sehingga memunculkan output perendahan, diskriminasi, pembedaan, dan pengunggulan pada sebuah kelompok yang dalam hal ini digolongkan dalam status umur seseorang. Adanya nilai-nilai budaya sebagai konstruksi sosial masyarakat telah mendorong untuk penanaman nilai pada seorang anak hingga tumbuh dewasa.

    Sebagai contoh, nilai balas budi terhadap orang tua yang telah membesarkan anak-anaknya yang membuat anak harus menghormati segala perkataan dan perintah orang tua, dan terdapat beban moral tersendiri jika si anak tidak menghormati atau melawan perintahnya, maka akan dianggap durhaka. Nilai ini di satu sisi sangat baik agar menciptakan kepatuhan pada orang tua, namun di sisi lain, nilai ini dapat membawa dampak pada si anak tersebut di mana anak tidak memiliki kuasa untuk menentang ataupun mengkritisi ungkapan dari orang tua tersebut. Maka, tak jarang kita temui banyak anak-anak yang kesehatan mentalnya tertekan. Ini merupakan bibit-bibit pelanggengan gerontokrasi pada golongan tua yang memiliki kuasa lebih terhadap anak ataupun jika ditarik pada skala luas generasi muda tidak memiliki kebebasan berpendapat pada konteks kebebasan berpendapat.

    Politik Gerontokrasi dan Efek Samping Pada Generasi Muda Terhadap Kebebasan Berpendapat

    “Seseorang itu kerap kali mengambil apa yang tidak dia miliki. Terkadang kedewasaan, kebijaksanaan, tidak dapat diukur dari seberapa tua dan mudanya umur, tak juga seberapa tinggi atau rendahnya jenjang pendidikan. Keberanian, keikhlasan, serta keyakinan utuh terhadap sebuah nilai yang diperjuangkan tanpa saling merendahkan adalah pembedanya” (Mahatma Gandhi).

    Perpolitikan di Indonesia pada masa kini telah menjadi rahasia umum bahwa lembaga- lembaga pemerintahan banyak dikuasai oleh golongan elit yang berusia tua. Politik gerontokrasi di Indonesia memainkan peranan penting dan fundamental pada proses pengekangan kebebasan berpendapat generasi muda. Dalam diskusi publik kerap kali dapat dilihat para politisi memberikan respon pada gestur yang aneh ketika mahasiswa menyampaikan pendapatnya.

    Berkaca pada beberapa dekade silam terkait dengan kanca politik nasional yang statis pada orang itu-itu saja sebagai contohnya seperti dua kali jabatan presiden setelah era Reformasi, seperti SBY (2004-2009 dan 2009-2014), Joko Widodo selama dua periode jabatan (2014-2019 dan 2019-2024), kemudian Megawati yang pernah menjabat presiden (2001-2004) dan dipilih secara aklamasi berturut- turut menjadi Ketua Umum PDI-P (2015-2020), pertengkaran pada tampuk kekuasaan partai Golkar antara Aburizal Bakrie dengan Agung Laksono, tokoh-tokoh PAN yang masih dikuasai Zulkifli Hasan dan beberapa elit lainnya, seperti Hatta Rajasa dan Amin Rais (pada dekade silam), serta berbagai tokoh politik lain baik eksekutif maupun legislatif yang masih memainkan peran gerontokrasinya. Lantas, bagaimana tanggapan dan prespektif dari salah satu anggota dewan memandang kehadiran generasi muda ikut terjun pada percaturan perpolitikan di Indonesia ?

    Menurut Bramantyo Suwondo yang merupakan salah satu anggota DPR RI Komisi X,  kehadiran generasi muda dapat memberikan perspektif, pandangan, dan juga representasi generasi milenial terhadap pembahasan di parlemen. Tambahnya, pada periode 2019-2024, banyak sekali anak muda berusia dua puluhan yang menjadi anggota DPR dan tentu memberikan warna tersendiri dengan kehadiran mereka yang memiliki pandangan holistik pada berbagai isu yang berlangsung, dikutip dari dpr.go.id (29/10/2021). Berdasarkan data dari laman mediaindonesia.com (24/7/2021) melalui keterangan Roro Esti mengatakan kalau kehadiran anggota DPR yang berusia di bawah 40 tahun itu hanya 10% pada periode 2019-2024. Artinya, keterwakilan   dari suara generasi muda di parlemen tergolong sangat minoritas,  sehingga pendapat dan keluh kesah yang dialami oleh generasi muda agaknya susah untuk diaspirasikan. Mengingat dunia sekarang memasuki era digitalisasi ditambah lagi dengan adanya bonus demografi yang  sedang dialami Indonesia, maka seharusnya suara generasi muda lebih diberikan ruang lagi.

    Sedikitnya ruang kebebasan untuk beraspirasi oleh generasi muda pada konteks ini terlihat permasalahannya terhalang oleh dinding streotip umur. Dibuktikan dengan minimnya kursi yang diduduki oleh generasi muda di parlemen, peranan politik nasional selalu dipegang oleh elit itu-itu saja, sehingga mengaburkan pandangan objektif yang disampaikan oleh generasi muda dengan tercermin melalui sikap para politisi dan pembawa acara berita seperti pada awal pembahasan. Hal ini selaras dengan pernyataan Haris Azhar pada sesi diskusi Student for Liberty Indonesia: Manusia dan Masa Depan Kebebasan dalam Perspektif Objektivisme, di mana ia mengatakan bahwa objektivisme tidak teruji dan sering dipakai untuk saling menyerang. Objektivisme terpengaruh oleh kekuasaan, sehingga tidak benar-benar bebas nilai. Jika diarahkan pada konteks pembahasan gerontokrasi seperti permasalahan yang sudah disinggung di atas, pernyataan ini sangat                          relevan pada generasi muda, di mana mereka dengan sengaja dipersempit ruang untuk menyampaikan pendapatnya oleh yang memiliki tampuk kekuasaan yakni elit-elit generasi tua tersebut. Akhirnya, pendapat para kaum muda dijegal pada awal mengungkapkan pendapatnya dengan menanyakan umur yang kemudian setelah itu akan dianggap tidak memiliki kompetensi dan pengalaman yang mempuni terkait dunia perpolitikan, sehingga suara mereka menjadi bias untuk didengar. Maka dari itu, diperlukan sebuah gebrakan pembaruan politik yang melibatkan generasi muda untuk dapat menyeimbangkan sebuah aspirasi agar relevan dengan perkembangan zaman.

    Referensi

    Fitria, Y. (2021). “Ageisme: Diskriminasi Usia, Harga Diri,  dan  Kesejahteraan Psikologi Lansia”. Healthy, 10(1), 22-31.

    Fitria, N. (2016). “Pola Asuh Orang Tua Dalam Mendidik Anak Usia Prasekolah Ditinjau Dari Aspek Budaya Lampung”.  Jurnal Fokus Konseling, 2(2).

    https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/420673/tingkat-keterwakilan-pemuda-d parlemen-belum-optimal. Diakses pada 26 Agustus 2022.

    https://suarakebebasan.id/cerita-diskusi-students-for-liberty-indonesia-manusia-dan-masa- depan-kebebasan-dalam-perspektif-objektivisme/. Diakses pada 25 Agustus 2022.

    https://nasional.kompas.com/read/2015/04/28/1500003/Politik.Gerontokrasi?page=all. Diakses 25 Agustus 2022.

    https://kumparan.com/lia-dominica/ageisme-diskriminasi-karena-faktor-u-di-indonesia- 1wrIN9cLqab. Diaksus pada Agustus 25, 2022.

    https://kumparan.com/michelle-khorin/kelompok-milenial-yang-terpojokkan-karena- ageisme-1xG0pVBA3kn/2. Diakses pada 25 Agustus 2022.

    https://www.kompasiana.com/ihzaer0885/61936fc6c26b774268567172/paradoks-ageisme- dalam-demokrasi Diakses pada 25 Agustus 2022.

    https://www.kompasiana.com/syahriiaan/5d8d14c20d823055f56ddb62/ageisme-cara- pandang-stereotip-pemerintah-kepada-mahasiswa. Diakses pada 25 Agustus 2022.