Salah satu tokoh politik Indonesia kembali mengeluarkan komentar yang kontroversial, yaitu mengenai anak muda Indonesia yang disekolahkan tetapi malah menjadi tukang ojek. Dilansir dari situs Tribunnews.com (wow.tribunnews.com, 22/11/2018), pernyataan “Tukang Ojek” yang sekarang menjadi pembicaraan berawal ketika Prabowo Subianto menjadi pembicara dalam Event Indonesia Economic Forum 2018 di Hotel Shangrila, Jakarta Pusat pada Rabu (21/11/2018).
Dalam pidatonya Prabowo berkata:“Saya ingin mengakhiri presentasi ini dengan realita yang sedih namun juga kejam. Ini adalah meme yang sedang tersebar di internet. Jalur karier seorang anak muda Indonesia. Yang paling kanan adalah topi Sekolah Dasar, topi Sekolah Menengah Pertama dan setelah dia lulus dari Sekolah Menengah Atas, dia menjadi supir ojek, ini adalah realita yang kejam,” kata Prabowo,
Sontak pidato dari salah satu capres pasangan nomor urut 2 ini menjadi viral dan menuai pro an kontra. Sebagian netizen membenarkan ucapan Prabowo, namun sebagian yang lain mengkritik pidato tersebut karena dianggap melecehkan profesi tukang ojek motor.
Ungkapan Prabowo ini kemudian ditimpali oleh Ketua Timses Prabowo-Sandi, Djoko Santoso yang berkomentar: “Memangnya ojol profesi yang bagus? Saya enggak memimpikan pemuda-pemuda kita (menjadi ojek online). Lebih bagus pemuda kita jadi dokter, jadi insinyur,” kata Djoko saat ditemui di Gedung Joang 45, Jakarta Pusat, Jumat (23/11/2018). Komentar dari Djoko Santoso bak menyiram api dalam minyak yang membuat perbincangan di media sosial semakin ramai (nasional.kompas.com, 23/11/2018).
Pernyataan Prabowo dalam Event Indonesia Economic Forum sebenarnya tidak terlalu kontroversial, namun hal ini menjadi viral karena posisinya sebagai seorang elit politik, public figure, dan salah satu calon presidendi Pemilu Presiden 2019. Tentu saja setiap pernyataannya akan selalu diperhatikan dan dijadikan referensi oleh masyarakat, termasuk ucapan mengenai “tukang ojek” ini juga direspon cepat oleh masyarakat yang tak lepas dari pro dan kontranya.
Memang di mata orang-orang, kadang profesi seperti ojek, pelayan, petugas kebersihan, kerap dipandang sebelah mata. Seolah jenis pekerjaan itu tidak berguna dan tidak pantas. Jelas dan sangat sangat jelas, pandangan ini sangat keliru. Yang harus diubah dan dikritik sebenarnya bukan pidato Pak Prabowo dan Timnya, tetapi wa bil chusus mindset masyarakat awam yang terlalu negatif dalam memandang profesi manusia.
Apa yang salah?
Tom G. Palmer pernah mengkritik isi pidato Calon Presiden Amerika Serikat tahun 1992, H. Ross Perot. Ross membuat pernyataan bahwa Amerika membeli Chips komputer dari Taiwan, dan menjual Chips (keripik kentang) kepada orang-orang Taiwan. Pernyataan yang bernada merendahkan ini hampir sama (dengan konteks berbeda) dengan pidato paslon nomor 2 di atas.
Dalam kata pengantar buku Moral Kapitalisme, Tom menerangkan ada masalah apa dengan chips komputer dengan chips kentang? Jika kita membahas mengenai nilai dollar dalam kedua chips, tersebut maka mereka sama-sama membahas suatu nilai dollar (keuntungan). Menanam kentang dan mencetak silikon (untuk komputer) adalah sebuah nilai tambah. Keuntungan komparatif adalah kunci untuk spesialisasi dan perdagangan. Tidak ada salahnya memproduksi barang demi mendapat nilai tertentu.
Contoh lain, misalkan Jika Indonesia unggul dan efisien memproduksi kopi berkualitas tinggi sedangkan tidak unggul dalam memproduksi kapas, sebaliknya Malaysia unggul dan efisien dalam memproduksi minyak sedangkan tidak dalam memproduksi kopi, maka akan sangat menguntungkan jika Indonesia menjual kopi dan Malaysia menjual minyaknya.
Apa yang salah? Kedua negara sama-sama memiliki keunggulan koparatif, yang satu minyak yang satu kopi. Yang salah adalah orang yang berpikir bahwa minyak lebih penting ketimbang kopi, sehingga menganggap remeh keunggulan komparatif Indonesia. Dalam hal bisnis dan konsumsi kita, sebenarnya tidak ada yang lebih unggul antara minyak dengan kopi, keduanya sama-sama kita butuhkan dalam kehidupan kita.
Dalam dunia modern ini (bahkan di masa lampau), setiap pekerjaan yang memberi nilai tambah atau keuntungan, pasti bermanfaat dan mempunyai peran dalam komunitas masyarakat. Termasuk petugas kebersihan yang memberikan kita kenyamanan kita saat ini. Bayangkan jika saat ini orang “gengsian” menjadi petugas kebersihan dan mencari-cari kerja yang “enak”, dapat dipastikan kita bakal mendapat masalah besar tentang sampah yang menumpuk sebanyak 151.921 ton per hari (ini baru sekala nasional, lho!).
Dalam sudut pandang free market semua orang pada dasarnya setara. Kita semua pada hakikatnya berkompetisi tanpa menjatuhkan untuk melengkapi kebutuhan hidup kita. Kompetisi dilakukan dengan memanfaatkan potensi yang ada dalam diri kita. Menjadi petani, nelayan, tentara, wirausaha, atau pedagang adalah pemanfaatan potensi kita untuk mendapat keuntungan dalam bentuk kerja.
Dan pekerjaan yang berbeda-beda itu menciptakan keharmonisan dalam hidup kita. Ya tentu saja, untuk mencuci motor anda tidak mungkin ke tempat servis motor, tetapi ke tempat steam kendaraan. Ini berarti untuk merawat satu motor membutuhkan banyak profesi, dan bagi kita si penikmat jasa, kita sama membutuhkan tukang servis dan tukang cuci kendaraan, berarti hakikatnya kedudukan mereka sama.
Mungkin ada benarnya juga ungkapan moral bahwa “manusia tidak dinilai dari pakaian dan hartanya”. Tentu saja tidak ada penilaian yang mutlak apakah si politisi itu terhormat dan si pedagang itu tidak. Jika si politisi itu korupsi dan si pedagang itu jujur, apakah kita bisa menyimpulkan si politisi nilainya lebih tinggi dari si pedagang? Jawabnya sekali lagi TIDAK!
Begitu juga dengan tukang ojek dan ojek online, banyaknya orang yang memilih untuk beralih menjadi driver ojek tentu karena mereka tergiur dengan apa yang dihasilkan jika mereka mengojek. Dan tidak bisa kita pungkiri saat ini kita benar-benar sangat butuh pada jasa mereka.
Lalu bagaimana kita bisa menganggap bahwa ojek bukan pekerjaan yang tidak layak seperti ucapan Djoko Santoso? Penulis sendiri pernah mengojek untuk mengisi waktu luang sekaligus mengisi dompet, kurang dari seminggu penulis sudah mendapat uang 800 ribu plus mendapat hiburan dari “jalan-jalannya”. Tentu saja 800.000 itu cukup besar untuk ukuran mahasiswa, (tinggal Anda kali perbulan dan jumlah nominal ini mungkin bisa lebih!).
***
Pekerjaan impian itu relatif. Setiap orang berhak menjadi dan bekerja apapun. Kita yang pernah menikmati jasa mereka akan lebih baik jika kita menghargainya. Apa yang salah dengan sopir? Jadi, apa yang membedakan sopir bis, kereta api, angkot, atau motor? Apa karena uang? Seragam? Atau cara kerja? Semua didasarkan penilaian yang RELATIF.
Tuhan berfirman “Mungkin kamu sangat tidak menyukai sesuatu, Namun bisa jadi ia amat baik bagimu” (Quran 2:216)
Kesimpulannya, hargai semua profesi apapun di dunia ini. Kita bebas menjadi diri kita dan bebas melakukan apapun untuk pekerjaan kita. Era global yang merupakan era baru manusia, justru di era terhubungnya manusia saat ini.
Hilangkan mindset diskriminasi terhadap profesi tertentu, sebab kita semakin sadar bahwa satu tetes keringat tukang es krim dan keringat seorang artis sama sama bermanfaat dan memberi nilai tambah bagi dirinya. Bagaimana dengan kita? Ya, tentunya baik tukang es krim dan artis sama-sama bermanfaat, terutama ketika kita memang membutuhkan es krim dan hiburan. Jadi, berterimakasihlah pada tukang es krim dan para artis.
Referensi

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com