Junta Militer dan Proses Demokrasi di Myanmar

    400
    Sumber gambar: https://www.reuters.com/article/us-myanmar-politics-idUSKBN29Z09L

    Myanmar adalah negara ASEAN yang terletak diujung paling utara dan berbatasan langsung dengan China, Bangladesh, dan India. Luas daratan dan perairan yang bila digabung seluas 676,578 km2 dan populasi sebanyak 54 juta orang, Myanmar dilalui oleh banyak sungai panjang dan pegunungan sehingga memiliki keragaman hayati yang amat kaya (CIA Gov, 2022).

    Myanmar memiliki aspek politik cukup kelam, karena dipenuhi oleh konflik sipil dan hanya pernah dipimpin oleh pemimpin sipil kurang dari 20 tahun setelah merdeka. Kudeta militer yang dilancarkarkan oleh Jendral Ne Win pada 1962 mengubah lanskap dan iklim politik Myanmar, di mana militer terus memiliki pengaruh besar hingga saat ini.

    Setelah mengalami “reformasi cacat” pada tahun 2011, Tatmadaw atau angkatan bersenjata yang sebenarnya tetap memiliki pengaruh besar dalam ekosistem politik Myanmar kembali melakukan kudeta dibawah pimpinan Jendral Min Aung Hlaing dengan alasan pemerintah telah mencurangi hasil pemilu dan gagal dalam menangani pandemi COVID-19 (1/2/2021). Pengumuman perebutan kekuasaan ini disusul oleh penangkapan Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan pemberlakuan darurat militer selama setahun (Kuncahyono, 2021). Namun, tindakan ini dijawab oleh pembangkangan sipil dan demonstrasi besar oleh masyarakat. Sampai saat ini, demonstrasi masih terus berlanjut walaupun pemerintah telah menutup akses internet, membunuh ratusan orang, dan memenjarakan ribuan demonstran (BBC, 2022).

    Proses demokratisasi Myanmar dimulai oleh Junta pada tahun 2008 untuk menenangkan tuntutan massa dan tekanan berbagai pemimpin internasional dengan mengadakan referendum konstitusi tahun 2008 yang bertujuan untuk “menciptakan demokrasi yang didasarkan pada ketertiban” dan pemilihan umum 2010. Pemilu ini bukanlah tanpa cela, karena partai politik yang didukung oleh militer, Union Solidarity and Development Party meraih 80% suara dan menghasilkan kecaman dari berbagai kelompok oposisi dan pengamat internasiona (Transnasional Institute, 2010). Walaupun mendapat banyak kritik, reformasi politik ini juga menghasilkan beberapa kemajuan seperti pembebasan tahanan politik dan pembukaan hubungan luar negeri yang meningkatkan kesejahteraan ekonomi (Apriyanti, 2014).

    Reformasi politik ini sendiri sebenarnya sangat cacat dan terkesan hanya sekedar mengubah sampulnya saja untuk menenangkan tekanan internasional yang menguat. Hal ini terjadi karena reformasi hanya menghapuskan junta, namun tidak mengurangi kekuatan militer dalam kancah perpolitikan. Salah satu bukti yang menunjukkan betapa masih absolutnya kekuatan militer dalam politik Myanmar adalah keberadaan Pasal 417 Konstitusi 2008 yang menyatakan bahwa ketika pemerintah dianggap gagal dalam menjalankan pemerintahan, maka panglima angkatan bersenjata akan diberikan kewenangan pembuatan undang-undang negara, pemerintahan dan yurisdiksi. Pasal ini juga yang digunakan sebagai dasar Jendral Min Aung Hlaing untuk memimpin kudeta sejak bulan Februari 2021 lalu. Militer menganggap kepemimpinan sipil telah melakukan kecurangan pada Pemilu 2020 yang mengakibatkan berbagai unjuk rasa dan provokasi yang dapat mengancam keamanan nasional (Ariyanti, 2021).

    Militer yang berkuasa selama puluhan tahun jelas akan meninggalkan jejak memar pada sendi-sendi kehidupan masyarakat. Pada pemilu tahun 1990 junta mengadakan pemilu pertama setelah 30 tahun berkuasa dan dimenangkan oleh partai oposisi besutan Aung San Suu Kyi, National League for Democracy (NLD) dengan cukup telak yang hasilnya ditolak oleh junta berkuasa (Aung, 2020). Kondisi ini berlanjut dengan runtutan penangkapan terhadap aktivis oposisi dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap penduduk sipil. Junta juga melakukan represi dan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok etnis minoritas seperti Rohingya, Karen, Kachin, dan lain-lain yang akhirnya menjadi bom waktu yang meledak menjadi pemberontakan bersenjata oleh banyak kelompok separatis berbasis etnis seperti Tentara Kemerdekaan Kachin, Tentara Pembebasan Nasional Etnis Karen, Tentara Karenni, separatis Rohingya, dan beberapa kelompok bersenjata lainnya. Perang sipil ini akhirnya menimbulkan krisis baru berupa gelombang pengungsi ke negara-negara tetangga seperti Bangladesh dan Thailand, tak terhitung jumlahnya pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh junta terhadap kelompok etnis minoritas (Irewati, 2016).

    Walaupun telah mengalami demokratisasi, Myanmar sebenarnya tidak mengalami reformasi dan demokratisasi dalam arti yang sesungguhnya, karena militer tetap memiliki pengaruh besar dalam perpolitikan Myanmar. Panglima militer memiliki hak untuk menunjuk 33% anggota parlemen atau Pyithu Hluttaw dan 25% anggota Dewan Nasional atau Amyotha Hluttaw. Lebih jauh lagi, militer juga memiliki kewenangan untuk merebut kekuasaan dari pemimpin sipil dengan alasan gagal menjalankan pemerintahan yang diatur dalam Pasal 417 Konstitusi 2008 Myanmar, parameter kegagalan ini sendiri tidak memiliki batasan yang pasti sehingga pasal ini sebenarnya merupakan mekanisme kudeta yang sedang menunggu dan bisa diaktifkan kapan saja.

    ***

    Militer yang masih memiliki cengkraman kuat dalam perpolitikan Myanmar jelas menunjukkan kegagalan demokratisasi yang telah diperjuangkan dengan berdarah-darah oleh rakyat Myanmar. Ada banyak aspek mengapa proses demokratisasi dan reformasi ini gagal. Mengutip Marston (2021) dalam “Analysis: Why is Myanmar’s military so powerful?” yang diterbitkan oleh Aljazeera, bahwa militer telah dipandang oleh rakyat sebagai “pembebas” bangsa dari penjajahan sehingga terus dihormati, militer juga menikmati citra sebagai pembela kedaulatan nasional dan pelindung masyarakat dari serangan terorisme etnis Rohingya, militer juga terus memoles citranya dengan memberikan berbagai sumbangan besar kepada sangha dan komunitas Buddha, agama mayoritas di Myanmar.

    Demokrasi di Myanmar masih jauh dari harapan, ditambah lagi dengan militer yang kini kembali memegang pucuk kekuasaan tertinggi setelah kudeta bulan Februari lalu, represi terhadap demonstrasi penentang kudeta masih terus berlanjut dan mengakibatkan kematian ribuan orang. Militer menjanjikan akan mengadakan pemilihan umum yang jujur di akhir tahun. Namun, seperti yang sudah kita lihat dalam sejarah Myanmar dan banyak negara lainnya, tidak akan ada demokrasi yang benar-benar adil dibawah kekuasaan senjata. Kini harapannya adalah tinggal rakyat Myanmar yang kini terus melawan pemerintahan junta militer dan juga solidaritas internasional baik sebagai rakyat biasa maupun sebagai pemerintah/organisasi/pembuat kebijakan.

     

    Daftar Pustaka

    Internet

    Ariyanti, H. (2021). “Pernyataan Lengkap Militer Myanmar Soal Keadaan Darurat Nasional Selama Setahun.” Merdeka.Com. https://www.merdeka.com/dunia/pernyataan-lengkap-militer-myanmar-soal-keadaan-darurat-nasional-selama-setahun.html?page=all. Diakses pada 2 Maret 2022, pukul 16.23 WIB.

    Aung, W.Y.. (2020). “Myanmar’s 1990 Election: Born of a Democratic Uprising, Ignored by the Military”. The Irrawaddy. https://www.irrawaddy.com/elections-in-history/myanmars-1990-election-born-democratic-uprising-ignored-military.html. Diakses pada 2 Maret 2022, pukul 18.00 WIB.

    BBC. (2022). “Myanmar: What has been happening since the 2021 coup?” BBC News. https://www.bbc.com/news/world-asia-55902070. Diakses pada 2 Maret 2022, pukul 15.00 WIB.

    CIA Gov. (2022). “The World Factbook.” https://www.cia.gov/the-world-factbook/countries/burma/. Diakses pada 1 Maret 2022, pukul 21.30 WIB

    Kuncahyono, T. (2021). “Coup d’état” Atau “Self-Coup.” Rmol Jabar. https://www.rmoljabar.id/coup-detat-atau-self-coup. Diakses pada 1 Maret 2022, pukul 21.35 WIB.

    Marston, H. (2021). “Analysis: Why is Myanmar’s military so powerful?” Aljazeera. https://www.aljazeera.com/features/2021/2/2/analysis-why-is-myanmar-military-so-powerful. Diakses pada 3 Maret 2022, pukul 09.00 WIB.

    Jurnal

    Apriyani, D. (2014). “Reformasi Politik dan Ekonomi di Myanmar Pada Masa Pemerintahan Presiden U Thein Sein (2011-2013)”. Jom Fisip, 1 (No. 2 – Oktober 2014). https://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/viewFile/2677/2609

    Irewati, A. (2016). “Myanmar dan Matinya Penegakan Demokrasi.” Jurnal Penelitian Politik, 4 (No 1, 2007). https://ejournal.politik.lipi.go.id/index.php/jpp/article/view/430/243

    Transnasional Institute. (2010). “A Changing Ethnic Landscape: Analysis of Burma’s 2010 Polls”. Transnational Institute – Burma Project, #4(Myanmar Policy Briefing Series). https://www.tni.org/en/publication/a-changing-ethnic-landscape-analysis-of-burmas-2010-polls.