Isu agama, kebebasan dan demokrasi memang selalu hangat, renyah, dan asyik untuk dibahas. Di media sosial, video ceramah para ustadz kerap ditonton oleh pengguna media sosial. Grup-grup kajian agama di Facebook dan WhatsApp juga kerap memiliki banyak pengikut. Ini menunjukkan seolah tren keagamaan di Indonesia terus tumbuh dan menarik minat masyarakat luas.
Namun, belakangan ini, muncul berbagai rancangan undang-undang yang seolah mengatur kebebasan sipil. Perda-perda Syariah juga muncul dan dianggap membatasi kebebasan perempuan dan kelompok minoritas.
Seperti larangan menggunakan celana pendek di Aceh, larangan duduk “ngangkang” bagi perempuan yang membonceng kendaraan bermotor, kewajiban menutup warung saat adzan, dan lain sebagainya, yang sebenarnya tidak diatur dalam agama Islam itu sendiri. Hal ini mencitrakan bahwa agama Islam bertentangan secara langsung dengan ide-ide kebebasan. Slogan-slogan negatif kaum fundamentalis tentang liberalisme, kapitalisme, sekularisme dan pluralisme membuat publik merasa bahwa Islam mustahil dapat dipertemukan dengan gagasan kebebasan, yang kerap “dicap” sebagai produk Barat.
Namun, beberapa sarjana dan intelektual Muslim kontemporer justru memiliki pendapat yang 180 derajat. Bagi kalangan intelektual Muslim, seperti Nasr Hamid Abu Zayd, Syhahrour, dan Dr. Salman al-Audah, menganggap bahwa Islam itu sendiri menjaga kebebasan manusia dan memberikan kebebasan pada manusia, tentunya dengan batasan hak dan kebebasan orang lain.
Untuk mendiskusikan perihal kebebasan dalam Islam, pada 19 Desember 2020 lalu, Suara Kebebasan, bekerja sama dengan FRESH, menyelenggarakan diskusi online Bedah Buku “Islam dan Kebebasan” yang diterjemahkan oleh Suara Kebebasan. Diskusi buku kali ini mengundang pendiri Qureta dan Dosen Universitas Paramadina, Luthfi Assyaukanie, Ph.D.
*****
Mas Luthfi sebagai pembicara membuka diskusi ini dengan menjelaskan garis besar mengenai buku Islam dan Kebebasan. Buku ini adalah buku kumpulan tulisan dari beberapa tokoh Muslim kontemporer. Karena buku ini berbentuk bunga rampai, maka sisi kelemahan buku ini adalah pembahasan yang tidak utuh mengenai satu topik yang konsisten. Namun, karena ini tulisan menghimpun dari berbagai tulisan para tokoh Muslim, maka kelebihannya, pembaca akan mendapat berbagai isu-isu menarik yang beragam dalam buku ini.
Secara garis besar, buku ini dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, membahas masalah Islam dan kebebasan dari perspektif sosial-politik. Kedua, membahas masalah Islam dan kebebasan dari sudut pandang teologis yang tercantum dalam kitab suci. Ketiga, membahas isu Islam dan kebebasan dari aspek ekonomi.
Secara garis besar, yang menjadi pertanyaan utama dalam buku ini adalah, apakah Islam bisa sejalan dengan ide kebebasan?
Menjawab pertanyaan ini, Mas Luthfi sebagai pemateri menarik kembali pembahasan ini melalui sejarah Islam, di mana pada abad ke-9 Masehi, kekhilafahan Islam sangat menjunjung nilai-nilai kebebasan. Dengan demikian, sejarah membuktikan bahwa masyarakat Islam pernah mengadopsi nilai-nilai kebebasan dan sangat menghargai perbedaan pendapat.
Namun, situasi ini berubah pada ketika keluarga Umawi berkuasa pada masa Kekhilafahan Umayyah. Keluarga Umawi pada saat itu banyak melakukan tindakan yang bertentangan dengan kebebasan, seperti menghukum orang-orang yang dianggap berbahaya bagi kedudukan mereka, memenjarakan para ulama, menghukum orang-orang yang menganut aliran yang tak disetujui oleh pemerintah, serta melakukan diskriminasi terhadap orang-orang non-Arab.
Secara teologis, Dinasti Umayyah menganut paham predestinasi atau Jabariyyah, yakni manusia tidak memiliki kebebasan berkehendak dan tak memiliki kebebasan. Hal ini melegitimasi penguasa politik untuk berbuat sewenang-wenang pada rakyat. Kemudian, muncul tokoh oposisi seperti Washil ibn Atha, Amr ibn Ubaid, dan Ghilan ad-Dimasqy, yang menentang paham predestinasi dengan mengajukan gagasan freewill sebagai fondasi dogma Islam.
Gagasan freewill menegaskan bahwa perbuatan manusia adalah kebebasan kehendak manusia, bukan Tuhan, sehingga setiap dosa manusia menjadi tanggung jawab manusia. Manusia bisa memilih untuk berbuat jahat atau baik, menentang atau diam. Gagasan ini disebut sebagai Qadariyah. Ghilan ad-Dimasqy tidak hanya menerangkan mengenai kebebasan kehendak manusia, tetapi manusia itu sendiri tidak berhak menghukum orang lain kafir atau bukan, sebab itu menjadi urusan Tuhan bukan urusan manusia.
Pemahamannya yang terkesan liberal ini membuat Ghilan dihukum mati oleh penguasa. Meskipun demikian, ajaran Ghilan terus berkembang secara luas. Setelah keluarga Umawi dilengserkan oleh keluarga Abbasi dari kalangan Bani Hasyim (keluarga Nabi Muhammad), Khalifah Abbasiyah menerapkan teologi kebebasan sebagai mazhab resmi negara. Akhirnya berbagai aliran tumbuh, intelektual masyarakat berkembang, terjadi banyak penerjemahan buku-buku Yunani dan Persia ke dalam bahasa Arab, dan serta kebebasan beragama dilindungi (bahkan, Perdana Menteri Khalifah boleh beragama Buddha dan Kristen).
Kebebasan berpikir, dukungan terhadap ilmu pengetahuan, kebebasan beragama, serta penghilangan diskriminasi Arab dan Non Arab, membuat masyarakat hidup rukun dan masing-masing orang fokus untuk membangun dirinya. Sejarawan seperti Ibn Katsir, dalam Kitab Bidayah wan Nihayah, dan Khatib Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, menulis bahwa kekayaan negara melimpah ruah, kota Baghdad dibangun megah, dan orang-orang fokus untuk bekerja. Kebebasan telah membuat perekonomian berkembang dan ilmu pengetahuan tumbuh subur.
Hingga kemudian pada suatu masa Khalifah Abbasiyah mengganti mazhab mereka, beralih ke mazhab tradisional atau literalis. Kaum Qadariyah dianggap sesat, para filsuf dianggap menyimpang, dan bantuan-bantuan pada para ilmuwan terus dipotong. Akhirnya, secara perlahan-lahan, kejayaan Islam mundur dan puncaknya adalah penutupan pintu ijtihad (inovasi dalam intelektual).
Kebebasan yang hilang dari masyarakat Arab Islam inilah yang membuat secara drastis peradaban Islam mengalami kemerosotan dan tidak melahirkan kontribusi yang nyata sebagaimana pada abad ke-9 dan 12 Masehi. Ide kebebasan kemudian malah diambil oleh orang Barat, sehingga Barat justru menikmati kemajuan intelektual, politik, dan ekonomi.
*****
Setelah pemaparan materi oleh pembicara, beberapa peserta diskusi mengajukan pertanyaan dalam sesi tanya jawab. Salah satu pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana pengaruh kaum Qadariyah bisa memajukan peradaban Islam dan kenapa kaum tekstualis membuat Islam menjadi mundur?
Pemateri menjawab bahwa, dalam teologi Qadariyah, mereka mempunyai pendapat penting bahwa wahyu dan agama bukan hanya urusan Tuhan dan Nabi. Sebaliknya, manusia dan umat Islam mempunyai peran penting dalam urusan ini, sehingga setelah Nabi Saw wafat, bukan berarti urusan agama terhenti. Manusia yang memiliki akal, harus terus berinovasi (berijtihad) untuk menafsirkan secara kontekstual. Implikasi penghargaan akal budi manusia membuat manusia terus terdorong untuk maju, sehingga peradaban dan pengetahuan umat Islam pada masa kekhalifahan Abbasiyah (awal) mengalami lompatan yang cukup menakjubkan ketimbang di zaman Umayyah yang cenderung mengekang akal budi.
Ketika kaum tradisional dan tekstualis berhasil mendominasi kekhalifahan Abbasiyah (akhir), maka akal budi manusia harus tunduk kepada wahyu, dan manusia tidak boleh berinovasi (ijtiha) terlalu jauh dari wahyu. Implikasinya, banyak penafsiran-penafsiran Al-Qur’an yang cukup modern dan maju (karena menafsirkan Al-Qur’an dengan rasionalitas) dianggap sebagai penafsiran menyimpang dan heterodoks. Kurangnya antusiasme terhadap kemampuan rasional manusia inilah yang membuat peradaban Islam perlahan-lahan mengalami kemunduran.
Pertanyaan selanjutnya, apakah Islam menghargai kebebasan ekonomi? Dan bagaimana persoalan tentang riba?
Mas Luthfi menjawab, Islam sebenarnya sangat liberal dalam konteks ekonomi. Misalnya, Islam pada masa lalu tidak menetapkan regulasi yang ketat pada pasar, setiap pedagang dari luar kota dan negeri dibebaskan untuk masuk dan berdagang, begitu juga sebaliknya, kemudian dalam Islam tidak dikenal sistem pajak, dan yang terpenting, Islam tidak mengatur masalah penetapan harga, semua diserahkan pada pasar. Ini yang membuat Islam sebenarnya sangat dekat dengan pasar bebas.
Masalah riba sebenarnya juga menjadi perdebatan di kalangan Islam kontemporer. Islam memang mengharamkan riba, tetapi Islam juga menetapkan mekanisme mudarabah atau bagi hasil yang sebenarnya hanya inovasi dari mekanisme bunga tersebut. Riba juga tidak bisa diasosiasikan dengan bunga bank, karena zaman Nabi mekanisme bunga bank tidak ada. Dengan demikian, para intelektual Muslim kontemprer menganggap bahwa riba adalah akad muamalah (transaksi) yang merugikan satu pihak atau pihak A dalam bertransaksi memaksa pihak B demi keuntungannya sehingga tidak terjalin bisnis yang sehat.
Pertanyaan selanjutnya, apakah peran pemimpin suatu bangsa dan politik sangat berpengaruh bagi kemajuan dan kebebasan? Pemateri menjawab hal tersebut adalah sesuatu yang tepat. Politik memainkan posisi penting karena lewat politik dan pemimpin atau Sultan, ide-ide kebebasan bisa berkembang dan bertahan.
Misalnya, pada masa Abbasiyah awal, ketika Khalifah mendukung penuh ide kebebasan, pertumbuhan ekonomi, politik dan sains cenderung bergerak maju. Sebaliknya, ketika masa Abbasiyah akhir, ketika Khalifah mengekang kebebasan, maka kebijakan tersebut memiliki dampak pada terhambatnya kemajuan dan menyusutnya perkembangan ilmu pengetahuan.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com